Sabtu, 31 Oktober 2015

PEMBANGUNAN KARAKTER DENGAN NILAI BUDAYA MERANTAU: SEBUAH REFLEKSI CERITA KLASIK MINANGKABAU

Oleh
 Dr. Abdurahman, M.Pd.
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang

ABSTRAK
          Tulisan ini memaparkan pembangunan karakter dengan nilai budaya yang direfleksikan dalam peristiwa merantau pada cerita klasik Minangkabau. Sebagai objek analisis digunakan cerita kaba “Sibuyuang Karuik” yang tokoh utamanya dikisahkan pergi ke rantau karena kekerasan dalam rumah tangga. Dari kisah itu diuraikan nilai budaya merantau di antaranya: berserah diri kepada Allah, berprilaku baik dan jujur, saling-tolong-menolong, mandiri, dan berbuat baik kepada orang lain. Pembahasan yang ringkas ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk membangun karakter peserta didik dalam apresiasi cerita klasik Minangkabau dalam pembelajaran sastra untuk menghadapi solusi kehidupan pada masa kini dan mendatang.

A.    Pendahuluan
      Karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat karena di dalamnya diceritakan realitas kehidupan masyarakat yang tidak jauh berbeda --bahkan persis sama-- dengan kehidupan dalam realitas yang sebenarnya. Kesamaan itu terlihat melalui latar cerita, nama tokoh-tokohnya, dan persoalan atau tema yang diangkat  dalam cerita. Gambaran seperti itu ada pada  cerita klasik “Kaba Si Buyuang Karuik” (KSBK), sebuah cerita yang berlatar tempat   Pariaman, Padang, Medan, Palembang, dan Betawi. Tokoh utamanya Bagindo Karuddin dan keluarganya sebagai tokoh sampingan dengan nama-nama orang Pariaman. Selain itu, persoalan utamanya, yaitu ‘peristiwa merantau’ merupakan budaya  yang khas Minangkabau khususnya Pariaman. Kiranya, tidaklah berlebihan kalau kisah KSBK ini disebut cerminan peristiwa  sesungguhnya yang terjadi dalam realita masyarakat pendukungnya.  
  KSBK yang merupakan ciplakan realitas nyata itu, mengisahkan suka duka perjalanan anak manusia yang berasal dari desa hingga sampai di rantau dan diakhiri  dengan tokoh utama sukses di rantau. Kesuksesan di rantau itu merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas karena banyak kisah nyata yang juga sama dengan kisah ini. Di samping itu, orang tentunya kagum dengan kesuksesan khususnya kesuksesan orang rantau dan cerita ini dapat menjadi kritik sosial. Tambahan lagi, yang lebih menarik dan bernilai  untuk dihayati adalah pesan tentang nilai-nilai budaya merantau yang setelah dinilai masih relevan untuk membangun karakter kehidupan pembaca. Kerelevanan nilai-nilai budaya itu dapat dijadikan pembangun karakter karena   latar budaya antara KSBK sama dengan budaya pembaca. Dengan latar budaya yang sama, tentunya pemahaman nilai budaya menjadi suatu yang bernilai lebih, yaitu merasakan persoalan budaya sendiri dan rasa memiliki keakraban nilai budaya.
  Pesan moral dan nilai budaya merantau KSBK itu tentunya perlu dipahami lalu dipresentasikan dan diamalkan jadi karakter dalam kehidupan.  Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah nilai-nilai budaya yang direfleksikan dalam cerita KSBK  tidak semuanya disampaikan secara eksplisit dan masih banyak yang tersembunyi dalam tindakan tokoh dan pesan pendek pengarang. Untuk dapat meraih nilai budaya KSBK perlu adanya eksplorasi berupa pemaknaan dan interpretasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pesan nilai-nilai budaya itu  diberikan ulasan berupa interpretasi makna budaya cerita klasik KSBK sehingga pembaca (peserta didik) akan lebih terbantu.  Alasan tersebut merupakan landasan dasar yang digunakan untuk mewujudkan tulisan ini.
  Tulisan ini  difokuskan  pada persoalan yang sama dengan tema cerita KSBK, yaitu persoalan merantau. Persoalan itu dipilih menjadi pembahasan didasarkan kepada beberapa alasan. Pertama, persoalan merantau merupakan peristiwa yang familiar dengan kita dan di zaman globalisasi  ini makin banyak masyarakat yang merantau. Oleh karena itu, analisis tentang merantau tentu menjadi suatu yang diperlukan sebagai penambah wawasan dan pengalaman. Kedua, dalam persoalan merantau tokoh (cerita) harus memegang nilai-nilai budaya baik supaya berhasil hidup di negeri orang. Nilai-nilai budaya itu tentu sangat perlu menjadi amanat tulisan ini sebagai pembangun karakter bangsa.  Ketiga, umumnya kita peserta seminar ini mungkin perantau, baik perantau jauh atau dekat.  Dengan kenyataan demikian, pembahasan nilai  budaya KSBK ini diharapkan dapat menjadi sebuah pertimbangan dalam  menghayati perantauan dan pembangunan karakter.
Metode pembahasan  yang digunakan adalah analisis deskriptif dan interpretasi cerita. KSBK yang dijadikan objek, yaitu “Kaba Si Buyuang Karuik” (edisi baru) versi penulis Syamsuddin St. Rajo Endah, terbitan Kristal Multi Media kota Bukittinggi, Cetakan ke-2 Januari tahun 2008, yang terdiri dari 85 halaman. Diterbitkan pertama kali oleh penerbit CV Pustaka Indonesia Bukittinggi 1960. Untuk mengetahui jalan cerita KSBK bersama ini dilampirkan sinopsis cerita.

B.     Pembangunan Karakter dengan Nilai Budaya Merantau
1.      Hakikat Nilai Budaya Merantau
Pada bagian ini dijelaskan pengertian merantau dan nilai budaya. Pertama konsep tentang merantau. Secara historis perkembangan pengertian ‘merantau’ telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan aspek sosial kemasyarakatan dan pemerintahan yang terjadi sejak dulu. Pada waktu daerah Minangkabau masih dalam sistem kerajaan, ‘merantau’ berarti berpindahnya masyarakat dalam kerangka medirikan pemukiman baru sebagai  pengembangan wilayah kerajaan. Daerah yang mejadi tujuan adalah daerah rantau yang merupakan daerah di luar daerah asal (darek). Dalam perpindah merantau yang demikian perantau membawa pola-pola budaya yang sama dengan daerah asal untuk disoasilisaikan dalam kehidupan bersama. Artinya, perantau tidak menyesuaikan nilai-nilai budaya hidupnya dengan dengan budaya di tempat yang baru.
    Pada pengertian yang sekarang merantau tidak  berkegiatan seperti waktu itu lagi. Merantau merupakan proses interaksi anggota masyarakat dengan dunia luar berupa petualangan pengalaman dan geografis dengan meninggalkan kampung  halaman untuk mengadu nasib  di negeri orang (Elfindri dkk, 2010:52).  Merantau sering diartikan sebagai kegiatan perpindahan meninggalkan negeri asal  dengan tujuan untuk mencari nafkah (Tsuyoshi Kato:2005:156).  Pada pengertian yang kedua  ini merantau berarti pergi dari kampung asal dengan kesadaran untuk mencari nafkah atau mendapatkan pengalaman hidup. Dalam arti yang demikian perantau dalam menjalankan hubungan  sosial lebih menyesuaikan nilai-nilai budaya dengan nilai budaya  dimana rantau mereka tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya sendiri.  Perantau juga menyiratkan  orang yang ta(h)u peran di mana mereka harus mensiasati kehidupan yang baru untuk  lebih membawa kemajuan dari keadaan sebelumnya.
        Kedua, pengertian tentang nilai-nilai budaya ialah  konsepsi, ide-ide, gagasan, norma-norma,  dan bentuk-bentuk lainnya (tersirat dan tersurat) yang sifatnya membedakan dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan tindakan, dan di pandang penting dalam hidup (Abdurahman:2011).  Nilai budaya juga mencakup  ide-ide atau gagasan yang menuntun untuk menentukan  tentang apa yang benar,  baik, dan indah yang mendasari pola-pola budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi unsur jasmaniah dan lingkungan sosial (Koentjaraningrat,2000).
      Dalam penelitian ini nilai budaya merantau adalah ide-ide atau konsepsi yang menonjol dalam kaba KSBK  yang menjadi identitas budaya merantau tokohnya  sehingga nilai-nilai itu menjadi kesamaan yang unik yang cenderung menjadi  nilai budaya. Nilai itu berupa konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dianggap  berharga dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arahan dan orientasi dalam kehidupan yang ada dalam karya sastra.  
Dengan mencermati pengertian nilai budaya merantau beberapa hal yang akan dipertanyakan dan dijelaskan, di antaranya mengapa tokoh cerita merantau, bagaimana nilai-nilai budaya merantau, apa yang didapatkan dengan merantau, dan apa kontribusi merantau bagi keluarga yang ditinggalkan, bagaimana membangun karakter dengan nilai budaya merantau. Untuk menjawab hal itu dibahas KSBK sebagai karya yang berisi nilai-nilai budaya merantau.

2.   Nilai Budaya Merantau dalam KSBK
Untuk menjelaskan nilai-nilai budaya merantau dalam KSBK ditampilkan abtraksi satuan peristiwa cerita untuk dimaknai dan dijelaskan kandungan nilai budayanya. Berikut abstraksinya:
I.        Cerita KSBK diawali gambaran keluarga nelayan yang sangat miskin di Pariaman. Suatu hari tokoh Buyuang Karudin (BK) berumur 10 tahun dan adiknya Siti Syamsiah 6 tahun memasak nasi di tungku  lalu seekor jago kesayangan bapaknya menabrak periuk sehingga beras yang dimasaknya tumpah ke abu. Ayam itu dipukulnya dan seketika itu mati. Menyadari kejadian itu Bagindo Karudin takut karena pasti kedua orang tuanya akan marah besar karena keduanya sudah sering menanganinya.
II.     Kedua adik kakak itu lari dari rumah untuk menghindari kekerasan ortunya dengan bertawakal kepada Allah.
III.   Dalam perjalanan, mereka mendapat pertolongan dari orang-orang yang bertemu dengannya, satu di antara penolong itu tukang pedati yang memberikan tumpangan kepadanya sehingga mereka sampai di Padang.
IV.  Di Padang keduanya menawarkan jasa kepada Sutan Pesisir pedagang nasi dan mereka bekerja apa yang bisa di sana dan kemudian menjadi orang tua angkatnya.
V.    Buyuang Karudin mencari kerja yang lebih baik dan dia diterima menjadi tukang kebun seorang jaksa.
VI.  Tuan Jaksa pindah ke Palembang dan BK ikut bersamanya. Sebelum pergi ia menemui Sutan Pesisir dan ia diberi nasehat merantau oleh Sutan pesisir.
VII.     Di rantau BK rajin bekerja dan menabung sehingga tabungannya mencukupi untuk berdagang.
VIII.   BK mohon izin kepada Tuannya untuk berdagang dan Tuannya membantu dengan tambahan modal.
IX.        BK mendapat tempat berdagang yang strategis dan dagangannya laris dan dia memperkejakan pelayan tetapi banyak yang curang.
X.          BK berteman dengan Zainuddin dan ia menganjurkan BK menikah supaya bisa membentunya dan saling bekerjasama.
XI.        Istri BK meninggal dan dia putus asa. Dalam kedaan begitu ia diajak Zainuddin ke Betawi untuk menghilangkan dukanya. Di sana ia jatuh cinta pada Sarinam anak angkat bu Sarijah dan mereka menikah.
XII.     BK makin sukses dalam berdagang dan dapat anak perempuan dari pernikahannya.
XIII.   BK dan keluarganya pulang kampung menemui orang tuanya dan ortunya menanyakan adiknya. Ternyata Sarinam adalah adiknya.
XIV.  Sarinam menyatakan dia adalah Siti Syamsiah adik BK. Ketika ditinggalkan BK di Padang, kedai nasi Sutan Pesisir terbakar dan mereka pindah ke Medan. Di Medan Sutan Pesisir meninggal sehingga ia bekerja sebagai pembantu keluarga Belanda. Tuannya pindah ke Betawi dan ia dibawa ke sana. Ketika istri Tuannya ke luarga kota, ia nyaris diperkosa tuannya dan ia sempat melarikan diri. Dalam pelarian itu ia ganti nama dan mengaku orang Jawa dan berbahasa Jawa, lalu kesasar ke runah nenek Sarijah dan ia menjadi anak angkatnya.
XV.    Semuanya jadi panik karena aib BK kawin dengan adik kandungnya. Lalu nenek Sarijah memberikan saran supaya aib ditutup saja dengan mengatakan Siti kematian suami dan BK mengantarnya pulang. Semua orang percaya.
XVI.  BK membangun rumah yang bagus untuk ortunya dan membeli sawah dan ladang sehingga ortunya menjadi orang berada.
XVII.  Adik BK menikah dengan kepala desa dan BK menikah dengan anak orang kaya di kampungnya.
XVIII.   BK kembali ke Palembang melanjutkan usaha perdagangannya yang sudah mengangkat tingkat ekonominya.  

Berdasarkan abstraksi satuan peristiwa KSBK di atas (I-XVIII) sudah tercermin nilai-nilai budaya dari kisah merantau BK dari awal  cerita hingga akhir. Untuk lebih konkritnya akan diuraikan satu per satu dan diberikan tafsiran dengan konteks budaya pendukungnya serta pentingnya nilai budaya itu dalam pembangunan karakter.
a)   Nilai Budaya Keterampilan Hidup
   Tokoh BK yang berumur sepuluh tahun dan adiknya berumur enam tahun diceritakan sedang memasak di tungku di rumahnya (I) sedangkan kedua orang tuanya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ini berarti BK dan adiknya sejak kecil sudah diajarkan oleh orang tuanya keterampilan hidup (life skill) yang salah satu keterampilan hidup itu adalah pandai memasak. Dalam budaya Minangkabau klasik ada banyak keterampilan dasar untuk hidup yang dapat dipelajari dalam rumah tangga atau dalam lingkungan sosial. Di antara keterampilan hidup itu dikenal dengan formulasi ‘pandai 4M’ (memasak, mengayam/menjahit, mengaji, membela diri/silat). Keterampilan itu sejak kecil sudah bisa diwarisi anak dengan belajar meniru atau dengan bimbingan orang tua.
     Dengan keterampilan dasar itu anak-anak cepat mandiri dan mulai melepas ketergantungannya dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Malah dengan kemandirian, anak dapat cepat dapat bekerjasama dan bahkan membantu orang tuanya seperti BK dan adiknya. Keterampilan dasar itu juga bisa berpotensi menjadi solusi hidup setelah dewasa dimana anak yang pandai memasak akan membuka rumah makan nantinya, yang pandai menjahit akan membuka konveksi, yang pandai mengaji menjadi guru, dan seterusnya.
Jadi, pesan KSBK adalah keterampilan hidup bagi anak adalah suatu yang penting untuk diwarisi oleh anak.  Oleh karena itu keterampilan dasar sudah seharusnya dikuasai sejak usia dini. Dengan refleksi cerita KSBK, bagaimanakah dengan anak sekarang? Apakah mereka yang seumur BK sudah bisa memasak? Pesan nilai budaya pembelajaran keterampilan dalam KSBK kiranya merupakan pesan pengarang yang perlu ditiru untuk pembangunan nilai budaya.
 
b)   Nilai Budaya Menghindari Konflik, Menyelamat Diri, dan Bertawakal
        Meskipun BK dan adiknya anak penurut dan baik tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka sering mendapat kekerasan fisik dan nonfisik (III). Hal ini disebabkan karena keluarga mereka hidup dalam serba kekurangan dan orang tuanya sering kalut memikirkan beban hidup. Kedua orang tua BK pemarah dan sering main tangan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat BK. Ketika BK bersalah tidak sengaja membunuh ayam bapaknya (I) mereka lari dari rumah untuk menyelamat diri  (II). Jadi, kepergian BK ke rantau disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor kesulitan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga.
          Ini berarti pengarang memberikan pesan nilai budaya, supaya orang yang terancam jiwanya  lebih baik menyelamatkan diri dan menghindari konflik dan pergi ketempat yang aman.  Pesan ini jelas sebuah agitasi edukatif yang menyarankan agar orang tidak tinggal dalam penderitaan dan harus berusaha keluar dari keadaan yang tidak meguntungkan sama sekali. Bumi Tuhan ini luas maka carilah kedamaian di atasnya dengan merantau. Tempat yang dipilihkan oleh pengarang adalah Kota (Padang), yaitu tempat orang berusaha dengan berbagai macam cara dan pusat perdagangan. Arahan pengarang, meyarankan orang lari ke kota tentu relevan dengan ajaran adat dan agama. Adat mengajarkan “mencari uang ke tempat yang ramai, mencari kerja ketempat yang tidak banyak saingan”, sedangkan dalam agama dinyatakan bahwa  90% uang beredar di pasar (Julius, 2007).  Jadi, kalau ingin keluar dari kesulitan ekonomi lebih baik berkiprah di kota terutama di pasar.
         Selain itu, dalam menyelamatkan diri pengarang memberikan pesan perlunya bertakwa kepada Allah. Pesan ini tentu sesuai dengan janji Allah Swt, dalam al-Quran, yaitu Allah bersama orang yang bertakwa (QS,2:194), orang yang bertawakal akan diberi jalan keluar dari masalah dihadapinya (QS,65:2). Jadi, bertakwa adalah solusi yang tepat untuk keluar dari masalah dan diberi kenudahan berurusan. Nilai budaya takwa adalah nilai yang tercantum dalam tujuan pendidikan kita yang harus diamalkan dalam hidup supaya selamat dunia dan akhirat. Nilai budaya di atas perlu dibangun dalam membina karakter bangsa.

c)   Nilai Budaya Mencari Induk Angkat
   Pada abstraksi  IV BK dan adik menawarkan jasa pada Sutan Pesisir bekerja di kedainya kemudian beliau jadi bapak angkatnya. Ini menunjukkan pengarang  KSBK mengarahkan tokoh BK dengan menerapkan nilai budaya perlunya induk angkat di rantau. Nilai budaya ini merupakan pesan adat yang terkenal dalam kehidupan masyarakat kita dan menjadi pantun sehari-hari, “Kalau anak pergi ke lepau hiu beli belanak beli- ikan panjang beli dahulu- kalau anak pergi merantau ibu cari sanak cari – induk semang cari dahulu” (bandingkan, Amir, 2007). 
      BK dalam mencari induk angkat kepada orang yang berkedai nasi dan hanya berdua saja suami istri. Artinya, BK dapat menyelaraskan keterampilan yang dimilikinya dengan pekerjaan bapak angkatnya, yaitu keterampilan memasak yang sudah dimilikinya sejak di kampung. BK juga penuh pertimbangan dalam mencari orang tua angkat sehingga mereka disenangi karena orang tua itu karena mereka tidak punya anak dan ditambah lagi beliau itu orang penyayang. Jadi, dalam mencari induk angkat disarankan juga supaya mengunakan nilai penuh pertimbangan, besikap baik, santun, dan jujur. Dengan adanya induk angkat itu BK dapat memenuhi kebutuhan makan karena mereka berdagang nasi dan mereka bekerja dan mendapat fasilitas tinggal bersama. Pesan dalam pantun adat itu ada benarnya dalam menganjurkan mencari induk angkat di perantauan. Induk angkat dalam wawasan ekonomi bisa juga berarti pemodal dan mentor yang ditiru dalam berusaha. Artinya, jika ingin sukses berteman dengan orang sukses dan belajar kepadanya.
        Bagaimana dengan pembangunan karakter anak-anak kita sekarang? Tentu nilai budaya mencari induk angkat semakin perlu bagi mereka karena tidak mungkin orang bisa maju jika tidak ada yang mau memajukan dan mau menfasilitasi mereka. Untuk bisa mendapat induk angkat kira seseorang perlu memiliki  sikap saling menolong dan jujur dalam berkehidupan. Kiranya, sikap masyarakat yang terlalu individualis perlu dikembalikan supaya menjadi masyarakat yang saling menolong dan saling menguntungkan.   

d)   Nilai Budaya Berkarya
Setelah berapa lama tinggal dengan Sutan Pesisir, BK  bekerja dengan seorang jaksa sebagai tukang kebun, di sana ia diberi gaji bulanan dan tinggal di rumah jaksa itu (V). Karena etika yang baik ia menjadi kesayangan tuannya itu. Ini berarti dalam berkarya selain membutuhkan keterampilan juga diperlukan pengamalan nilai-nilai etika. Orang yang jujur akan dipercaya dalam bekerja, yang suka ringan tangan juga disukai, dan dengan beretika itu semua orang sayang kepada BK.  Dalam KSBK dideskripsikan sifat BK di antaranya, “Adapun sifat kerjanya…tidak ada kerja yang dipantangkan, cepat kaki ringan tangan, tidak pandai bermalas-malas, bekerja rajin lagi sangat sungguh, belum disuruh sudah pergi, belum ditegah sudah berhenti (arif), kesayangan orang, tidak ada kena caci, apa pun kerja diselesaikan saja, anak muda tahu diuntung, tidak sombong, bicaranya yang benar-benar saja, sangat lurus dan hemat”(KSBK:2008).
Sifat yang dimiliki BK adalah sikap yang baik  dan sikap ini menjadikan BK mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan kesayangan orang.  Sikap BK itu tentu merupakan nilai-nilai budaya yang relevan bagi siapa yang ingin maju dalam pembangunan karakter kehidupan yang baik.  Dalam sikap BK itu juga tergambar beberapa nilai seperti kreatif, empatif, dan rendah hati yang semua perlu membentuk karakter  masyarakat yang berbudaya baik.
e)   Nilai Budaya Hijrah ke Kota
Pada abstraksi VI-VIII tuan BK pindak ke Palembang dan ikut bersamanya. Sebelum berangkat BK menemui Sutan Pesisir dan beliau menasehati BK. Bentuk nasehat beliau adalah sifat yang mesti dipakai kalau merantau sebagai berikut. “Tambahan pulo di ang Buyuang, himaiklah dalam babalanjo, simpan pitih tiok bulan, kok untuang pambarian Allah, dapeklah bapokok mangaleh, dapeklah kadaian nan elok, sabab mangko nan bak kian, tidak ado kayo mamakan gaji” (KBK:h. 29).
(Wahai Buyung, 
-hematlah dalam berbelanja,
-simpan uang  tiap bulan,
-kalau untung ada pemberian Allah, dapatkanlah pokok berdagang,
-dapatkanlah kedai yang strategis,
-sebab, tidak ada orang kaya hanya mamakan gaji).
 Pesan ini sengaja penulis penggal supaya lebih dicermati. Nilai budaya yang harus dimiliki perantau adalah: hemat dalam hidup dan jangan membelikan uang kepada yang tidak bernilai guna kalau dapat barang yang dibeli harus bernilai produktif. Ini artinya perlu kecerdasan finansial dan pandai berhemat untuk masa depan. Ini juga berarti jangan sampai “besar pasak dari tiang” atau besar pengeluaran daripada pendapatan. Selanjutnya, untuk bisa maju perlu menabung sedikit demi sedikit setiap  bulan. Artinya harus pandai mengelola keuangan dan memenejnya sehingga dari bulan ke bulan ada yang pertambahan kekayaan. Jika tabungan cukup jadikan pokok berdagang  dan ushakan mencari kedai atau toko yang strategis tempatnya. Ini tentu pesan yang budaya yang inspiratif terutama bagi orang yang berusaha di bidang ekonomi. Mereka perlu memilih tempat yang strategis dan perlu memahami konsumen dan pembeli.
Pesan yang terakhir, tidak ada orang kaya makan gaji adalah pesan yang luar biasa dan cerdas. Valentino Dinsi (2005) menerbit buku yang relevan dengan pesan itu “Jangan Mau Seumur Hidup jadi Orang Gajian”. Dalam buku itu beliau memotivasi supaya pembaca berbisnis sendiri kalau ingin lebih kaya. Orang yang hidup dengan gajian memang sudah bisa dihitung pendapatannya tetapi dengan berdagang pendapatan bisa berlipat ganda. Dan dimungkinkan orang bisa menjadi kaya raya. BK mengamalkan pesan nilai budaya itu sehingga ia sukses dalam berdagang. Dalam pembangunan karakter tentulah nilai budaya ini sangat penting karena kita memerlukan tokoh yang mau membuka lapangan kerja dapat menfaatkan pontensi yang melimpah di negara ini.

f)    Nilai Budaya Berkeluarga
     Meskipun sibuk berdagang BK tidak menyia-nyiakan waktu untuk  bekeluarga. BK menikah dengan perempuan yang baik akhlaknya dan juga baik orang tuanya. Hal itu diketahuinya dan diusakannya melalui temannya Zainuddin. Ini berarti nilai budaya membangun keluarga itu amat penting. Pentingnya bekeluarga dapat dipelajari dalam buku berkeluarga. Di antaranya bekeluarga itu penting membina keturunan yang sehat jasmani dan rohani, membentengi diri dari kejahatan seksual, mengikuti sunah Rasulullah Saw., dan lainnya.
       Pengarang KSBK  dalam hal ini seakan memnyampaikan pesan nilai budaya perlunya berkeluarga. Hendaknya anak muda menikahlah jika sudah mampu dan jangan menunda karena usia terbaik untuk menikah adalah di waktu muda. Dengan menikah lebih banyak yang dapat direncakan dan lebih fokus pada tujuan. Nilai budaya ini amat perlu dipahami agar karakter berkeluargan dan berhubungan dengan sesama yang sehat dan bermartabat dapat diwujudkan.

g)   Nilai Budaya Berteman
  BK berteman dengan Zainuddin. Zainuddin adalah anak yang baik suka menolong BK. Dia cenderung menyuruh yang baik dan melarang yang mungkar sebagai sifat baiknya. Dia lah menganjurkan BK supaya bekeluarga dan ketika istri BK meninggal dia pula yang membujuk agar BK tidak putus asa. Kemudian ia menemani BK ke Betawi  untuk menghilangkan duka BK. Dengannya BK menjadi orang selamat dalam pergaulan dan aman. 
Artinya dalam KSBK pengarang menyatakan bahwa seseorang perlu teman yang baik, yaitu teman yang mencegah dari kesesatan dan menganjurkan kebaikan. Teman sejati adalah teman yang mengajak ke surga dan memelihara kita supaya tidak terjerumus ke neraka.  Nilai budaya berteman dan memilih teman pada saat ini sangat urgen. Salah teman bisa salah pergaulan dan salah perilaku dan bisa terjerumus ke patologi budaya. Karena itu, pembangunan karakter dengan nilai budaya berteman amat perlu diperhatikan.

h)   Masih banyak nilai budaya merantau dalam KSBK yang belum dibahas di antaranya adalah:
-Nilai Budaya Berbakti kepada Keluarga
-Nilai Budaya Meningkatkan Status Sosial
-Nilai Budaya Menutup Aib
-Nilai Budaya Waspada
-Nilai Budaya Kemandirian
-Nilai Budaya Suka Menolong dan Saling Menolong
-Nilai Budaya Hubungan Sosial
  Semua nilai budaya KSBK yang sudah dibahas merupakan nilai budaya  yang penting dalam pembangunan karakter semoga uraian ini dapat membantu dalam memahaminya. Penutup bagian ini, penulis  kutip firman Allah Swt., yang artinya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS,4:9).

C.    Penutup
   Kepedulian kita sebagai pendidik kepada pembinaan dan pembangunan sumber daya manusia yang berkarakter baik semakin ditantang dalam kehidupan zaman globalisasi ini. Ada banyak indikasi yang menunjukkan keharusan hal itu, di antaranya, meskipun pendidikan karakter telah dicanangkan sejak lama sesuai dengan tujuan pedidikan dan beberapa tahun yang lalu sudah direlisasikan dalam kurikulum, namun realisasi sikap dan tindakan kehidupan yang berkarakter dari sebagian peserta didik masih belum menunjukkan kegembiraan dan malah semakin mengkawatirkan (Riwayat:2010). Nampaknya peserta didik seakan tidak pernah  absen (dalam pemberitaan media) terlibat dalam peristiwa patologi sosial, krisis moral, dan penyimpangan budaya. Indikasi itu semakin mengental  karena mereka yang terlibat dalam berbagai peristiwa itu seakan tidak menunjukkan sikap sudah mendapat sentuhan pendidikan karakter.
Kenyataan yang miris dari berita-berita itu tentu semakin menuntut kita untuk mengusahakan dan memperjuangkan pendidikan karakter agar peserta didik menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter baik yang kemudian sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa dan negara.  Tuntutan itu tentu juga terkait dengan keyakinan bahwa hanya dengan mereka yang berkarakter baik itulah tujuan negara yang berbunyi  menciptakan masyarakat yang adil makmur itu dapat diwujudkan. Sebaliknya, dengan sumber daya manusia yang berkarakter tidak baik negara ini makin dipenuhi oleh ketidaknyamanan sosial dan budaya serta krisis  nilai yang mencemaskan.
Untuk menjawab dan meminimalisasi tantangan itu peran pembelajaran sastra sungguh sangat diperlukan karena sudah sejak lama dipercaya bahwa dengan seni (sastra) manusia bisa menjadi halus budi dan bahasanya. Oleh karena itu,  peserta didik yang diharapkan berkarakter baik harus difasilitasi dengan apresiasi karya sastra sebagai piranti sumber pengetahuan dan kegiatan yang dapat mentranformasikan pendidikan karakter. Salah satu cara yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan mengarahkan perhatian akademis  mereka kepada analisis karya sastra yang sarat dengan nilai budaya pedagogis seperti KSBK. 
Melalui perhatian akademis berupa  sikap kreatif dan perilaku apresiasiatif  terhadap karya sastra siswa dapat diarahkan mencermati karakter tokoh cerita yang mungkin dan menjadi alat pengingat nilai dalam kehidupan. Dengan apresiasi karya sastra KSBK yang memuat nilai-nilai itu diharapkan siswa tertantang membangun kontribusi nilai-nilai budaya yang dapat menjadi pedoman dalam menentukan serangkaian sikap dan tindakan dalam menjalani kehidupan. Dalam kerangka seperti itulah analisis KSBK dengan nilai-nilai budaya ini dapat didayagunakan sebagai media atau sumber belajar bagi siswa. Semoga tulisan ini menginspirasi  pembaca.

DAFTAR RUJUKAN

Abdurahman.  Nilai-Nilai Budaya dalam Kaba Minangkabau: Suatu Interpretasi Semiotik. Padang: UNP Press, 2011.
Al-Quran dan Terjemahannya.  Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000.
Ahmad, Sabaruddin.  Kesusastraan Minang  Klasik. Jakarta: Depdikbud, 1979.
Amir.   Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau.  Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007.
At-Tubani, Riwayat. Erosi Moralitas di Minangkabau. Padang: Media Explorasi,  2010.
Dinsi, Valentino dkk. Jangan Mau Seumur Hidup jadi Orang Gajian. Jakarta: Let’s Go Indonesia, 2005
Elfindri, Desri Ayunda, Wiko Saputra. Minang  Entrepreneurship. Jakarta: Baduose Media, 2010.
Julius, H.  Mambangkik Batang Tarandam. Bandung: Citra Utama, 2007.
Kato, Tsuyoski. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perpekstif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.
Koentjaraningrat.  Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia,  2000
Endah, Sjamsudin St Radjo. Kaba Sibuyuang Karuik. Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2008.

 Bio Data Penulis
Abdurahman lahir di Batipuh Kab. Tanah Datar,  23 April 1965. Beliau adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNP Padang sejak 1990 sampai sekarang.  Alumnus IKIP Padang (S1) tahun 1989 pada jurusan yang sama dan tamat UNJ Jakarta S3 pada tahun 2011.
Berdomisili di Kota Padang Sumatera Barat. Email: abdurahman.padang@gmail.com


REFLEKSI KEARIFAN NILAI BUDAYA MINANGKABAU DAN GAMBARANNYA DALAM CERITA KLASIK

Abdurahman
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang

ABSTRAK
          Tulisan ini bertujuan memaparkan refleksi dinamika kearifan nilai budaya Minangkabau dan gambarannya dalam cerita klasik yang diambil   dari cerita rakyat yang sudah terkenal di antaranya, cerita Kaba Cinduo Mato, cerita Kaba Magek Manandin, cerita Kaba Sutan Lanjungan, dan Kaba Rancak Dilabuah. Data dianalisis dan interpretasi secara semiotik kemudian dijelaskan refleksi kearifan nilai budayanya. Dari analisis  ditemukan kearifan hidup bertakwa, kearifan hidup berusaha dan berdoa, kearifan menuntut ilmu, dan kearifan hidup bermanfaat sesuai dengan ajaran adat Minangkabau. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk memahami dan menganalisis eksistensi kearifan nilai budaya Minangkabau dalam naskah cerita di samping dapat pula diterapkan dalam pendidikan keluarga, serta dapat  dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.

         Key word: Kearifan, Nilai Budaya, Cerita Klasik Minangkabau

A.    Pendahuluan
Memelihara sastra berarti memelihara kebudayaan karena di satu pihak sastra merupakan bagian dari kebudayaan dan di pihak lain sastra merupakan sarana komunikasi antara pengarang, pembaca, dan masyarakat yang mempertahankan aspek-aspek kebudayaan. Negara besar yang tampil sebagai negara berbudaya biasanya  memelihara dan mengapresiasi sastra dan unsur-unsur masayarakatnya menjadikan sastra sebagai sumber pengalaman berestetika, sumber etika, sumber filsafat dan nasihat, sumber pendidikan dan pengajaran, dan bahkan ilmu pengetahuan. Ratna (2005:554) menyatakan bahwa memelihara sastra berarti memelihara kebudayaan dan memelihara nilai-nilai kehidupan. Sastra merupakan bagian sentral kebudayaan dalam sastra lama atau modern terkandung kearifan nilai-nilai peradaban suatu bangsa.
Oleh karena pentingnya sastra maka  pewarisan kearifan nilai-nilai budaya oleh masyarakat sudah dilakukan dengan cara bersastra. Masyarakat Minangkabau melalui  cerita klasik telah mewariskan nilai budayanya. Cerita rakyat yang disebut dengan kaba disampaikan dengan kegiatan yang disebut bercerita. Secara umum kaba  merupakan cerita rakyat berbahasa Minangkabau dalam bentuk fiksi yang disampaikan dalam bentuk prosa liris (Ahmad, 1979:27).  Sebagai cerita rakyat kaba telah dituturkan dan diwariskan secara turun-temurun dari dahulu hingga sekarang.  Penceritaan kaba berfungsi sebagai alat pendidikan budaya dalam rangka mewariskan kearifan nilai-nilai budaya tentang kehidupan di samping sebagai hiburan yang menyenangkan.
Pada  tiga dekade terakhir ini intensitas penceritaan cerita rakyat kaba tidak seintensif pada masa sebelumnya karena peminat cerita kaba yang sudah menurun.  Hal itu juga terjadi karena terkait dengan keberadaan cerita kaba yang khas  tradisi Minangkabau dengan medium bahasa daerah yang sudah tidak familiar dengan kaum muda. Di samping itu, kenyataan bahwa seni tradisi cenderung di kesampingkan karena menariknya seni modern semakin melesukan peminat cerita klasik. Dengan makin berkurangnya minat dan apresiasi generasi muda pada sastra kaba  telah pula menjadikan mereka makin jauh dari nilai-nilai budaya Minangkabau.
Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan terus-menerus karena suatu saat pewarisan nilai-nilai melalui cerita kaba  Minangkabau itu tidak dikenal lagi. Dengan demikian, berarti nilai-nilai berharga yang ada dalam sastra rakyat itu tidak dapat dikembangkan untuk dimanfaatkan bagi kehidupan mendatang Bakar dkk (1984:3). Sejatinya, keberadaan cerita kaba sebagai produk budaya Minangkabau merupakan objek yang sarat dengan pesan kearifan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya dalam kaba merefleksikan berbagai kearifan nilai-nilai kehidupan  dari aspek sosial, ekonomi, adat, dan budaya yang bersumber dari kenyataan hidup. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Samovar dan Porter (2001:38) yang mengatakan bahwa setiap cerita rakyat  bercerita tentang orang-orangnya yang digunakan untuk mentransfer nilai budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Dan setiap budaya memiliki banyak cerita yang masing-masing menekankan sebuah nilai yang fundamental.  
     Berdasarkan alasan di atas maka usaha untuk mengeksplorasi cerita klasik kaba dan meneliti kearifan nilai-nilai budaya yang direfleksikannya merupakan  suatu yang urgen dan mempunyai manfaat yang dapat membantu masyarakat dalam mengapresiasi kembali nilai budaya yang sudah hidup lama dalam masyarakat. Pengungkapan kearifan nilai-nilai budaya kaba dapat berguna  untuk peningkatan kualitas pemahaman nilai-nilai budaya. Penelitian nilai-nilai budaya Minangkabau dalam kaba dapat dipadang mempunyai keunikan karena terkait dengan filosofi dan pandangan hidup budaya Minangkabau yang khas. Kekhasan itu seperti yang diungkapkan  Naim (1996) bahwa filosofi adat budaya Minangkabau mengandung nilai-nilai universal  dan global yang langgeng seperti terdapat dalam pepatah petitih adat ”tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.
            Berhubung cakupan dan pengungkapan nilai budaya sangat umum, maka dalam tulisan ini nilai-nilai budaya yang akan diacu merupakan nilai-nilai budaya Minangkabau  yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdasarkan adat-istiadat, kebiasaan, perbuatan manusia atau tokoh yang secara sadar ditaati dan memberikan harapan membawa kebahagiaan (Djamaris, 1994:17). Nilai-nilai budaya yang dibahas secara garis besar difokuskan pada masalah kearifan nilai budaya dalam hakikat hidup. Untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya dalam cerita, Ratna (2008) mengemukakan sepuluh pendekatan dan tujuh metode yang dapat digunakan dalam penelitian sastra. Dalam penelitian yang telah dilakukan penulis menggunakan pendekatan semiotik sebagai alat pengungkap kearifan nilai-nilai budaya yang dianalisis dari teks kaba dan dinterpretasi secara semiotis. Tujuannya adalah mendeskripsikan dan menginterpretasi kearifan nilai-nilai  budaya Minangkabau dari cerita klasik sesuai dengan kajian semiotik. Hasil yang diharapkan adalah sebuah deskripsi, interpretasi, dan pembahasan nilai-nilai budaya tentang hakikat hidup yang bersumber dari kaba yang dapat memberikan informasi mengenai nilai-nilai budaya Minangkabau.
Hasil pembahasan ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat Indonesia terutama kelompok etnis Minangkabau dalam memahami  nilai-nilai budaya yang terdapat dalam  kaba Minangkabau. Deskripsi dan interpretasi nilai-nilai adat budaya dapat berkontribusi positif dalam berbagai kegiatan hidup, baik secara formal maupun informal. Secara teoretis  kajian ini dapat memperkaya teori-teori tentang nilai-nilai budaya khususnya budaya Minangkabau dan dapat dipakai oleh berbagai kalangan terutama kalangan akademis dan peneliti sebagai sumber dalam kajian budaya. Secara praktis dan akademis hasil penelitian dapat dijadikan sumber materi pembelajaran dalam pendidikan bahasa dan sastra daerah.
B.     Hakikat Kearifan Nilai-nilai Budaya Minangkabau dan Dinamikanya
Dalam bahasa Indonesia ‘kearifan’ merupakan kata yang dibentuk dari kata dasar ‘arif’ yang bermakna ‘bijaksana, cerdik dan pandai, berilmu’ yang menunjukkan sifat. Sedangkan kata kearifan
merupakan kata benda yang bermakna ‘kebijaksanaan atau kecendekiaan’ (KBBI: 2002: 65). Dengan demikian yang dimaksud dengan kearifan dapat berupa perkataan atau tindakan, perbuatan yang menunjukkan sifat arif, yaitu bijaksana, cerdik, pandai, berilmu serta cendikia. Rahyono (2009:7) menyatakan bahwa kearifan merupakan kecerdasan yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya. Bila dikaitkan dengan penelitian ini kearifan berarti kecerdasan dan kebijaksanaan yang dihasilkan masyarakat budaya yang direkam atau didokumentasikan  dalam cerita rakyat kaba berdasar pengalaman hidup yang dilaluinya.
Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia konsep budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari  buddhi yang berarti ”budi”  atau ”akal”(Koentjaraningrat:2000:9). Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut  culture  berasal dari bahasa Latin colere yang berarti ”mengolah” atau ”mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari pengertian itu dan perkembangan berikutnya kata budaya dapat dipahami sebagai segala daya dan upaya serta tindakan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat:2002:182).  Dalam hal ini pengertian budaya termasuk mengolah budi yang merupakan unsur batin manusia.
Dalam kajian ilmiah terutama dalam bidang antropologi konsep kebudayaan sudah didefenisikan oleh banyak pakar dalam pembahasan ilmiah dari berbagai disiplin ilmu. Sampai tahun 1952, Kroeber dan Kluckhohn, telah mencatat 164 definisi kebudayaan yang mereka temukan dalam literatur antropologi (Smith:2001:2).  Konsep kebudayaan dikemukakan oleh Tylor seorang antropolog yang lahir pada tahun 1871, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Harris dan Robert, 2006:56).   Dari pengertian kebudayaan tersebut dinyatakan bahwa seluruh bidang yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat adalah kebudayaan.  Selanjutnya Peursen (1988:11) yang menyatakan bahwa kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia seperti cara ia menghayati dan membuat upacara untuk kematian, kelahiran, seksualitas, makanan, sopan santun, pakaian, kesenian, ilmu pengetahuan, dan agama. Karena kebudayan merupakan perbuatan manusia maka kebudayaan tidak pernah mencapai batas dan berlangsung dalam waktu yang lama. Hal itu juga menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan hasil proses dinamis dan fleksibel karena berhubungan dengan manusia. Artinya, kebudayaan mempunyai sifat mengalami perubahan.    
Berdasarkan beberapa pendapat dan definisi kebudayaan di atas maka definisi kebudayaan pada prinsipnya juga sesuai dengan yang dikemukakan Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik sendiri manusia dengan belajar. Definisi kebudayaan ini sejauh ini dapat digunakan sebagai landasan teori dan pegangan dalam penelitian ini karena bersifat universal dan menyeluruh dengan arti relevan dengan definisi-defisi yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Kebudayaan memiliki dimensi yang sangat universal dan bahkan sekompleks kehidupan manusia itu sendiri. Atas dasar itu maka dalam kajian ilmiah kebudayaan dikelompokkan dalam satuan yang lebih spesifik. Sebagai dasar untuk kepentingan kajian ilmiah, kebudayaan dikelompokkan ke dalam tujuh unsur secara universal, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan,  (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3)  sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7)  sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 2002:187).  Koentjaraningrat (2002:186) menyatakan bahwa dalam kehidupan manusia, kebudayaan diwujudkan dalam tiga bentuk yaitu, ideas, activities, dan artifacts. Pertama, wujud kebudayaan ideas merupakan suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,  peraturan-peraturan dan sebagainya. Wujud budaya ideal bersifat abstrak, tidak dapat diraba. Lokasinya ada dalam pikiran dan kalau dalam tulisan maka lokasi kebudayaan ideal ada  yang berada  dalam karangan atau buku-buku hasil karya penulis warga masyarakat bersangkutan. Kedua, wujud  kebudayaan activities  disebut  juga dengan sistem sosial, yaitu mengenai tindakan berpola dari manusia. Sistem sosial merupakan suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Kelakuan berpola ini teraktualisasi dalam bentuk aktivitas dan interaksi manusia satu sama lain dari waktu ke waktu dalam bentuk konkret  dan bisa diobservasi. Ketiga, wujud kebudayaan artifacts atau kebudayaan fisik sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifat kebudayaan ini paling konkret berupa  benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan sebagainya. 
Dalam penelitian ini konsep kebudayaan yang dirujuk adalah wujud kebudayaan ideal yang merupakan suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya yang berada dalam kehidupan manusia  yang dapat ditemui dalam sastra kaba. Sehubungan dengan konsep budaya itu, Al-Faruqi (1989:7) menyatakan bahwa konsep kebudayaan berkaitan dengan kesadaran akan nilai-nilai dalam kesemestaan, yang pada tingkat terendah mengandung makna suatu kesadaran intuitif dari identitas nilai dan urutan tingkat yang sesungguhnya dari setiap nilai, serta kewajiban untuk mengejar dan mewujudkan nilai-nilai itu.
            Selanjutnya, nilai budaya dalam kajian budaya dapat dipahami dalam hubungannya dengan kajian nilai-nilai secara umum.  Fraenkel (1977) menyatakan bahwa sebuah nilai adalah suatu ide atau konsep tentang sesuatu yang di pandang penting oleh seseorang dalam hidup.  Nilai adalah ide-ide atau gagasan yang mencakup tentang apa yang benar,  baik, dan indah yang mendasari pola-pola budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi unsur jasmaniah dan lingkungan sosial. Dengan demikian nilai-nilai tidak terlepas dari budaya dan masing-masing budaya mempunyai nilai yang diunggulkan  dalam masyarakat budaya yang dikenal dengan nilai budaya. Nilai-nilai budaya dari yang utama sampai  yang relatif, biasanya tersusun sesuai dengan apa yang amat penting dan tergantung kepada budaya suatu masyarakat. Seperti dijelaskan Lestari (2008:2) dalam penelitiannya di Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa dalam budaya kerja peningkatan kinerja ditentukan oleh  nilai-nilai perekat yang dapat mempersatukan pandangan anggota. Nilai-nilai utama yang sangat diharapkan  adalah objektif, sinergis, berkeadilan, kebenaran, mandiri, kreatif, kasih sayang, rendah hati, harmonis, aspiratif, menghargai, korporatif, konsistensi, dinamis, adaptif, produktif, rasional, teliti, partisipatif, integritas, kepedulian, kepatuhan, peka, melayani, memberi, keteladanan, akurat, dan efektif. Nilai-nilai itu dipandang penting untuk kesuksesan sebuah organisasi.  Dalam temuan itu terlihat bahwa dalam kemajuan suatu organisasi nilai objektif, sinergis, keadilan,  kebenaran, dan mandiri adalah nilai-nilai yang utama disamping nilai-nilai utama lainnya. Nilai-nilai yang menonjol dalam kehidupan suatu masyarakat atau organisasi dapat menjadi identitas budaya masyarakat tersebut.
            Berdasarkan uraian aspek budaya dan nilai di atas, maka yang dimaksud dengan pesan kearifan nilai budaya ialah  konsepsi, ide-ide, gagasan, norma-norma,  dan bentuk-bentuk nasihat lainnya (tersirat dan tersurat) yang sifatnya memberikan pengajaran kepada masyarakat dalam kebaikan yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan tindakan, dan dipandang penting dalam hidup.  Pesan kearifan budaya juga mencakup  ide-ide atau gagasan yang menuntun untuk menentukan  tentang apa yang benar,  baik, dan indah yang mendasari pola-pola budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi unsur jasmaniah, batiniah,  dan lingkungan sosial.
Dalam penelitian ini pesan  kearifan nilai budaya adalah ide-ide atau konsepsi yang menonjol dalam kaba Minangkabau yang menjadi identitas budaya masyarakatnya sehingga pesan kearifan  itu menjadi identitas bersama. Pesan kearifan budaya  itu berupa konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dianggap  berharga dan penting dalam kehidupan sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman dan ertimbanga yang memberi arahan dan orientasi dalam kehidupan nyata yang selaras dengan yang ada dalam karya sastra kaba. Pesan kearifan nilai budaya dapat berupa ide-ide, gagasan, norma-norma,  dan bentuk-bentuk lainnya yang ada dalam kehidupan manusia, yang ditemukan dalam kaba yang berhubungan dengan masalah dasar dalam kehidupan manusia.
Secara umum, kearifan nilai-nilai budaya masyarakat Minangkabau dicitrakan dengan  adagium ”adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”  yang merupakan landasan filosofis kelompok etnis Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Adat secara umum merujuk pada aturan hidup sehari-hari  sedangkan syarak adalah ajaran agama Islam yang menjadi pondasi adat yang bersumber dari Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. Tuntunan agama Islam dan nilai-nilai adat telah menjadi pedoman dan pegangan sebagai sebuah kearifan budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sejak beberapa abad yang lalu. Amir (2007:6) mengatakan bahwa  adat atau budaya itu telah mengarahkan kelompok etnis Minangkabau dalam peningkatan budi pekerti untuk membentuk masyarakat yang berbudi luhur. Keberadaan adat budaya yang dinamis itu mampu beradaptasi dengan  nilai-nilai agama sehingga menciptakan masyarakat yang tercerahkan dan berkearifan dalam masalah kebudayaan.
Koran Kompas (2010)  memberitakan bahwa tokoh-tokoh asal Minangkabau tampil ke tingkat  nasional dan internasional tidak terlepas dari dukungan kebudayaannya karena dalam adat Minangkabau diungkapkan bahwa kebesaran dan ketinggian kedudukan yang dicapai seseorang tidak hanya karena usaha dirinya sendiri, tetapi sebenarnya terjadi karena diusahakan dan diharapkan oleh orang-orang yang mendukungnya, yaitu masyarakat pendukung budayanya. Di dalam konsep kearifan alam pikiran adat Minangkabau, seseorang menjadi tinggi karena ditinggikan dan menjadi besar karena dibesarkan oleh masyarakatnya.
Meskipun demikian, nilai-nilai budaya Minangkabau yang dahulunya dipakai dan diamalkan secara teguh oleh masyarakatnya,  hingga zaman sekarang telah banyak mengalami perubahan. Adanya peristiwa-peristiwa sosial politik, pengaruh modernisasi, serta dampak globalisasi yang langsung atau tidak  langsung, telah membawa wajah baru dalam penampilan nilai budaya masyarakat (Amir: 2007:viii). Di sisi lain, keberadaan  masyarakat kelompok etnis Minangkabau yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sudah semakin banyak berinteraksi dengan masyarakat dunia dan  efek dari pergaulan global itu pada saat sekarang mereka tidak terhindarkan telah menyerap berbagai nilai budaya dari bursa budaya dunia. 
Indikasi perubahan itu seperti yang diungkapkan Syarifuddin dalam Agustina (2003)  bahwa pada waktu dahulu budaya atau adat Minangkabau semarak karena masing-masing komponen masyarakat sangat peduli pada pemahaman, pengamalan, dan pembelaan terhadap nilai-nilai agama dan budaya Minangkabau. Namun, sekarang masyarakat Minangkabau mengalami kegoncangan budaya yang menyeret orang untuk mencari jalan hidupnya sendiri-sendiri karena pewarisan nilai budaya dan kontrol sosial budaya  yang lemah (Sairin, 2003:54). Diakui oleh beberapa pakar bahwa kontrol orang tua terhadap pemahaman nilai budaya anak semakin lemah, pembentukan karakter melalui keluarga semakin disaingi oleh sajian teknologi, ditambah lagi karena anak merasa lebih hebat dalam tenologi daripada orang tua (Elfindri, 2010:141). Dampak dari hal itu terekam dalam realitas kehidupan pada era globalisasi sekarang. Terhadap nilai-nilai adat dan budaya tidak semua masyarakat budaya mengaktualkan apa yang menjadi nilai-nilai yang terkandung dalam petatah-petitih adat Minangkabau (Naim,2003:42).
Krisis kearifan budaya itu terindikasi dari terjadinya krisis identitas, krisis kepercayaan diri, kehilangan pengangan pada masyarakat yang tidak terkecuali oleh generasi mudanya (Sairin, 2003:vii). Hal yang demikian dipertegas oleh Naim (2003:39) yang  menyatakan bahwa permasalahan besar yang dihadapi masyarakat Minangkabau adalah hilangnya yang paling berharga dari dirinya sendiri, yaitu jati diri. Jati diri yang dimaksudkan adalah nilai-nilai budaya Minangkabau yang menjadi kearifan dan tujuan adat Minangkabau.  Amir (2007:6) mengatakan bahwa pesimisme terhadap pewarisan dan pengamalan nilai-nilai budaya Minangkabau sesungguhnya sudah ada sejak abad ke-19 yang lampau dan berlanjut hingga sekarang. Kenyataan seperti itu tidak hanya merupakan masalah lokal masyarakat Minangkabau tetapi sudah menjadi masalah nasional masyarakat Indonesia. Pranadji (2004: 332) menyatakan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia bukan disebabkan tidak adanya nilai-nilai budaya baik yang dikenal, melainkan tidak  aktualnya nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan itu, empat dekade yang lalu, Lubis (1977 mensinyalir  bahwa dominasi nilai destruktif dibanding nilai kontruktif pada masyarakat kita sangat mencemaskan dan akan membawa keterpurukan bangsa dalam krisis multi dimensi.
Berdasarkan uraian di atas, maka pesan kearifan budaya yang ada dalam naskah cerita kaba Minangkabau perlu diungkapkan dan dieksplorasi sehingga hasilnya dapat digunakan untuk peningkatan kualitas hidup berbudaya masa kini.  Hal itu senada yang diungkapkan oleh Ratna (2008: 329) yang menyatakan bahwa khazanah sastra lama kaya dengan pesan kearifan yang pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka membina semangat kebangsaan dan kesatuan bangsa. Sehingga dengan demikian, pembangunan budaya bangsa akan terwujud  dengan dukungan landasan-landasan filosofis yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia.

C.    Refleksi Kearifan Nilai Budaya Minangkabau dalam Cerita Kaba
Pada bagian ini diuraikan kearifan nilai budaya hakikat hidup dalam pandangan masyarakat Minangkabau yang tergambar dalam cerita kaba.

a.       Refleksi Kearifan Nilai Budaya Ketakwaan
Pada umumnya, dalam cerita kaba lama dan baru hidup diyakini sebagai takdir Allah  dan dalam menjalani kehidupan seseorang harus  bertawakal kepada-Nya. Refleksi itu menunjukkan bahwa tokoh cerita kaba mengamalkan nilai-nilai budaya ketakwaan yang bersumber pada pandangan hidup berdasarkan  agama Islam.
Dari kaba yang dianalisis ternyata kaba lama dan kaba baru menggambarkan bahwa hidup dan mati manusia  merupakan kehendak dari Tuhan  Maha Pencipta alam semesta, yaitu Allah yang maha pencipta. Dalam kaba lama dan kaba baru yang dijadikan sumber data ditunjukkan gambaran tentang hidup sebagai kehendak Allah.  Puti Linduang Bulan dalam cerita Magek Manandin dinyatakan hamil sebagai kehendak dari Allah dan anak yang dikandung diyakini dan disebut sebagai pemberian Allah kepada dia dan suaminya. Data itu adalah tanda semiotis berupa indeks yang objeknya takdir Allah dan interpretannya adalah adanya kehidupan manusia sebagai makhluk merupakan kehendak dari Allah Yang Maha Kuasa yang menjadikan makhluk manusia.   Selanjutnya, dalam cerita itu dinyatakan bahwa ada empat hal yang menjadi ketentuan Allah yang manusia tidak dapat mengingkarinya, yaitu tentang hidup, mati, urusan nyawa, dan urusan rezeki.  Signifikasinya menunjukkan suatu keyakinan bahwa tokoh-tokoh cerita kaba memandang  hidup dengan segala eksitensinya, ajal atau mati, urusan nyawa, dan rezeki  luas sempitnya sudah merupakan ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah dalam ilmu-Nya. Kearifan nilai budaya yang ditegaskan adalah bahwa Tuhan berkehendak mutlak terhadap makhluk-Nya, yaitu menghidupkan dan mematikan, dan memberikan rezeki-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Seorang  hamba yang benar dalam kearifan nilai budaya tentu  bertakwa kepada-Nya.
   
b.      Refleksi Kearifan Nilai Budaya Berusaha dan Berdoa
  Dalam menjalani hidup manusia diharuskan berusaha dan berdoa untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Tokoh-tokoh cerita yang berusaha dan berdoa pada umumnya menjadi tokoh yang berhasil sedangkan tokoh yang tidak mau berusaha menjadi tokoh cerita yang gagal.
    Setelah dianalisis secara semiotis, dalam hamper semua cerita kaba yang diteliti digambarkan bahwa setiap tokoh protagonis berusaha dengan sekuat tenaga  dan di samping itu  berdoa kepada Allah  dalam memecahkan persoalan yang dihadapi dalam hidup. Dalam cerita kaba Cindua Mato ditemukan tokoh Bundo Kanduang berusaha sebagai seorang ibu mendidik anaknya  tokoh Dang Tuanku dan Cindua Mato dari kecil hingga dewasa. Di akhir cerita digambarkan kemenangan Cindua Mato dalam berjuang  sebagai hasil dari buah usaha Bundo Kanduang. Dalam cerita kaba Tapian Larangan ditemukan tokoh Mambang Sutan  berusaha mencari jalan keluar atas fitnah terhadap dirinya dan menuntut kembali tunangannya yang diambil tokoh Mantiko Rajo. Dengan berusaha  melalui jalur hukum adat dan bermusyawarah dengan berbagai pihak, ia kembali mendapatkan tunangannya dan menyadarkan semua pihak yang keliru. Dalam kaba Magek Manandin ditemukan kegigihan Magek Manandin berusaha mendapat kembali tunangannya Subang Bagelang dengan perjuangan yang menggentarkan dan mati-matian. Dalam kaba Sabai Nan Aluih ditemukan  tokoh Sabai Nan Aluih berusaha menuntut balas kepada tokoh Rajo Nan Panjang atas kematian ayahnya. Dalam kaba Rancak Dilabuah ditemukan tokoh Siti Jauhari berusaha mendidik tokoh Rancak Di Labuah menjadi seorang intelektual sehingga berhasil menjadi penghulu. Begitu juga dengan tokoh Sutan Lanjungan, tokoh Buyuang Karuik, dan tokoh Haji Karim dalam kaba Bujang Pajudi. Semua tokoh cerita adalah sosok yang berusaha  dalam kegiatan hidup yang baik sehingga  merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.
            Selain berusaha dengan tindakan nyata, tokoh-tokoh kaba dalam mengisi hidup juga melakukan kegiatan berdoa kepada Allah untuk kesuksesan hidupnya. Mereka berdoa dikala lapang dan sempit, dikala menghadapi masalah atau disaat sejahtera. Pada saat tokoh Cindua Mato menang perang dengan tokoh Tiang Bungkuak, tokoh Bundo Kanduang bersyukur kepada Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika tokoh Cindua Mato menghadapi perperangan, tokoh Bundo Kanduang dan seluruh perangkat kerajaan mendoakan Cindua Mato, begitu juga sebaliknya Cindua Mato meminta doa kepada Bundo Kanduang dan Dang Tuanku. Mereka saling mendoakan dalam kebaikan.
            Dari refleksi data tentang hidup berusaha dan berdoa dapat dinyatakan bahwa cerita klasik menegaskan bahwa kearifan nilai budaya berusaha dan berdoa merupakan kearifan yang penting dalam hidup. Dinamika hidup manusia susah dan senang harus diisi dengan kesenangan pada mau berusaha dan berdoa sebagai kearifan nilai budaya yang telah dipesankan oleh pengarang cerita kaba Minangkabau.

c.       Refleksi Kearifan Nilai Budaya Menuntut Ilmu
Dalam cerita kaba lama dan baru ditemukan tokoh-tokoh kaba yang dalam hidup mengutamakan menuntut ilmu untuk melakukan suatu pekerjaan dalam kehidupan. Berdasarkan paparan data ditemukan bahwa usaha menuntut ilmu untuk melakukan suatu pekerjaan dan menjalani hidup merupakan hal yang diutamakan dalam cerita kaba. Dalam kaba Cindua Mato digambarkan Dang Tuanku belajar kepada Bundo Kanduang dengan tekun dan sabar. Meskipun ibunya memanggilnya di tengah malam disaat ia tidur namun ia tetap memenuhi panggilan ibunya untuk belajar ilmu. Dalam kaba Sutan Lanjungan digambarkan kegigihan tokoh Sutan Lanjungan menuntut ilmu kepada  tokoh Datuk Timbangan di perantauan pada malam hari karena pada siang hari ia berdagang mencari harta untuk kesejateraan dirinya dan keluarganya di kampung. Menuntut ilmu dan mencari harta merupakan dua tujuan utama Sutan Lanjungan dalam merantau. Selanjutnya, dalam kaba Rancak Dilabuah digambarkan kegigihan Siti Jauhari mendidik dua anaknya tentang berbagai ilmu adat-istiadat sehingga anaknya menjadi terangkat kelas sosialnya.  Sebaliknya Rancak Dilabuah dan Siti Budiman menunjukkan sikap yang terbuka, menerima, dan sangat antusias dalam menuntut dan mengamalkan ajaran ilmu yang diperoleh dari ibunya.
            Begitu juga ketika Si Buyuang Karuik akan pergi dengan Jaksa Lembang Alam ke Palembang, ia menemui Sutan Pasisia dan Sari Anum yang sudah dianggap sebagai orang tuanya. Kepada mereka berdua Buyuang Karuik meminta nasehat atau ilmu agar sukses hidup di rantau orang.  Sebagai orang yang telah berpengalaman hidup di rantau sebagai pedagang  nasi, ia menyampaikan rahasia kesuksesannya kepada Buyung Karuik, yaitu agar hidup lurus dan benar, hemat dengan menabung, hendaklah berdagang dan jangan selamanya menjadi orang gajian, dan selalu meningkatkan taraf hidup. 
Dari sepuluh cerita kaba yang diteliti, sembilan kaba menggambarkan pentingnya menuntut ilmu dalam hidup. Satu cerita kaba dengan tokoh antagonis Bujang Juki yang mencela orang yang tidak mau menuntut ilmu  sehingga tokoh Bujang Juki  yang tidak berilmu itu menjadi orang yang menyusahkan banyak orang dalam kehidupan. Akhir dari kehidupannya ia membunuh tokoh Siti Baheram dan karena itu ia diadili dan mendapat hukuman gantung.  Dengan demikian, kaba Siti Baheram juga  menggambarkan pentingnya pendidikan dan menuntut ilmu dan menggambar akibat buruk tidak berpendidikan, yaitu menjadi penyakit masyarakat. Jadi, kebodohan dan keterbelakangan sudah dirasakan sebagai musuh dari kehidupan itu sendiri yang harus dihilangkan dengan pendidikan.
Dalam hal ini kaba  menyampaikan pesan bahwa tokoh-tokoh kaba yang tidak mendapat atau tidak menghiraukan pendidikan mendapatkan hidup yang sengsara sedangkan tokoh-tokoh yang mencintai ilmu dan beramal dalam hidup menjadi tokoh yang sukses dan bahagia. Refleksi yang demikian menunjukkan bahwa cerita kaba memesankan kearifan nilai budaya menuntut ilmu dalam kehidupan yang penting dalam peningkatan kebermanfaatan dan kualitas hidup.

d.      Refleksi Kearifan Nilai Budaya Bermusyawarah dan Bertindak Cepat
Pada umumnya, cerita kaba menggambarkan tokoh-tokoh yang  bermusyawarah dan bertindak  cepat dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan hidup. Tokoh yang penuh perhitungan dan bermusyawarah selamat sedangkan tokoh yang tidak mempunyai pertimbangan mendapat bahaya. Pada umumnya, dalam kaba yang diteliti digambarkan tokoh-tokoh protagonis yang cepat bertindak dalam menghapai persoalan hidup. Dalam hal bertindak itu ada dua model yang diperlihatkan oleh cerita kaba, yaitu orang atau tokoh-tokoh yang penuh perhitungan dan bermusyawarah dan tokoh yang emosional dan tidak bermusyawarah.  Tokoh yang penuh perhitungan dan bermusyawarah dapat mengatasi persoalan hidup dengan baik dan selamat atau bahagia. Sebaliknya tokoh yang emosional dan tidak bermusyawah mendapat tantangan yang semakin membahayakan dirinya. Ternyata dalam kaba tindakan emosional dan tanpa perhitungan itu  juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya digambarkan bijaksana, mempunyai ilmu, dan tahu dengan kiat-kiat menyelesaikan hidup, seperti  Rajo Bandiang, Haji Karim, Angku  Kapalo, dan Rajo Kuaso. Agaknya ini sebuah kritikan terhadap ditinggalkannya kearifan nilai musyawarah dalam kehidupan dan tindakan emosional itu berbahaya bagi siapa pun dan menyebabkan jalan hidup  mereka menderita.
            Tokoh-tokoh dalam kaba yang bertindak dengan cepat, cerdas, dan penuh perhitungan, serta bermusyawarah adalah tokoh Bundo Kandung dan tokoh Cindua Mato dalam kaba Cindua Mato. Tokoh Siti Jauhari dalam menghadapi anaknya yang menentangnya dalam hal konsep hidup. Tokoh Mambang Sutan menghadapi tokoh Mantiko Rajo dan Mangkuto Rajo sehingga Mantiko Rajo yang berseberangan dengannya menjadi sahabat setianya. Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan penuh perhitungan dan kearifan nilai bermusyawarah itu telah menghasilkan jalan keluar yang mengagumkan  dari problema hidup mereka sehingga mereka menjadi tokoh-tokohnya orang terhormat dan bahagia dalam gambaran kaba.

e.       Refleksi Kearifan Nilai Budaya Hidup Bermanfaat
Hidup yang ideal adalah hidup dengan berilmu, berusaha, dan bermanfaat bagi orang lain. Hidup yang tercela adalah hidup dengan senang-senang dan tidak bermanfaat dan bahkan menyusahkan orang lain. Dalam cerita kaba digambarkan bahwa tokoh-tokoh yang telah sukses mencari harta dan ilmu baik di kampung atau dirantau memberikan kontribusi terhadap kehidupan keluarga berupa mensejahterakan keluarga, meningkatkan status sosial, dan menjadi pemimpin dalam masyarakat.  Gambaran itu lebih nyata pada kaba baru dibandingkan dengan kaba lama.  Pada kaba lama hal itu tidak menonjol karena pada umumnya tokoh cerita adalah kaum bangsawan yang sudah kaya dan berstatus sosial tinggi dalam masyarakat. Kontribusi mereka hanya sebatas mempertahan kedudukan, kehormatan, dan menuntut balas pada pihak yang mencoba menganggu keluarga. Sebaliknya, pada kaba baru tokoh-tokohnya  berasal dari orang biasa dengan  status sosial rendah sehingga kontribusi anggota keluarga yang telah mapan dirantau sangat menentukan peningkatan kualitas keluarga yang ditinggalnya yang masih miskin. 
Keberhasilan hidup tokoh cerita kaba terkait dengan prinsip-prinsip hidup yang bersumber dari petatah-petitih adat Minangkabau dan ajaran agama Islam. Artinya, hidup dilalui dengan landasan filosofis adat dan agama. Dalam kaba yang dibahas ditemukan bahwa tokoh-tokoh cerita yang digambarkan sukses dalam hidupnya baik dalam berjuang maupun berdagang di rantau karena mereka memegang teguh prinsip-prinsip atau pandangan hidup yang bersumber dari ajaran agama Islam dan ajaran adat Minagkabau.

D.     Kesimpulan
  Berdasarkan temuan-temuan yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa refleksi kearifan nilai-nilai budaya hakikat hidup kelompok etnis Minangkabau  digambarkan dalam cerita sebagai takdir Allah yang harus dijalani dengan bertawakal, berusaha, dan berdoa, mencari ilmu, mencari harta demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan bermanfaat bagi orang lain. Kebahagian hidup tergantung pada pilihan hidup dan pilihan dalam berusaha. Orang-orang yang berusaha dengan baik, beriman, berilmu, dan beramal dalam hidupnya  akan mendapatkan kebahagiaan, sedangkan orang yang tidak berusaha ke arah yang baik dan tidak berilmu akan mendapat hidup yang sempit dan cenderung menyusahkan orang lain.
Berdasarkan kesimpulan penelitian, disarankan bahwa refleksi kearifan nilai-nilai budaya yang diungkapkan dari cerita kaba  perlu diteliti lebih lanjut untuk dapat memperjelas aspek-aspek yang belum terungkap sehingga ke depan terdapat gambaran   budaya yang lebih kompleks dari sastra lama.  Kepada pemerintah disarankan, berhubung keberadaan kaba itu amat minim, maka aksi nyata yang dipandang penting  adalah  memperbanyak kembali kaba-kaba yang sarat dengan kearifan nilai-nilai budaya yang sudah disebut di atas dan analisisnya untuk bahan pengajaran di sekolah, di perguruan tinggi, serta untuk dibaca masyarakat melalui koleksi  perpustakaan  di wilayah budaya Minangkabau.  Tindakan ini amat perlu untuk membentengi gelombang budaya global yang tidak konstruktif bagi kehidupan lokal dan nasional dengan lebih dahulu mengenal budaya lokal.
Daftar  Rujukan
Al-Faruqi,  Ismail R. Islam dan Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Mizan, 1989.
Amir.   Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau.  Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007.
Azmi. “Pelestarian Adat dan Budaya Minangkabau”  dalam Minangkabau yang Gelisah. Bandung: CV Lubuk Agung, 2003.