Sabtu, 31 Oktober 2015

REFLEKSI KEARIFAN NILAI BUDAYA MINANGKABAU DAN GAMBARANNYA DALAM CERITA KLASIK

Abdurahman
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang

ABSTRAK
          Tulisan ini bertujuan memaparkan refleksi dinamika kearifan nilai budaya Minangkabau dan gambarannya dalam cerita klasik yang diambil   dari cerita rakyat yang sudah terkenal di antaranya, cerita Kaba Cinduo Mato, cerita Kaba Magek Manandin, cerita Kaba Sutan Lanjungan, dan Kaba Rancak Dilabuah. Data dianalisis dan interpretasi secara semiotik kemudian dijelaskan refleksi kearifan nilai budayanya. Dari analisis  ditemukan kearifan hidup bertakwa, kearifan hidup berusaha dan berdoa, kearifan menuntut ilmu, dan kearifan hidup bermanfaat sesuai dengan ajaran adat Minangkabau. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk memahami dan menganalisis eksistensi kearifan nilai budaya Minangkabau dalam naskah cerita di samping dapat pula diterapkan dalam pendidikan keluarga, serta dapat  dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.

         Key word: Kearifan, Nilai Budaya, Cerita Klasik Minangkabau

A.    Pendahuluan
Memelihara sastra berarti memelihara kebudayaan karena di satu pihak sastra merupakan bagian dari kebudayaan dan di pihak lain sastra merupakan sarana komunikasi antara pengarang, pembaca, dan masyarakat yang mempertahankan aspek-aspek kebudayaan. Negara besar yang tampil sebagai negara berbudaya biasanya  memelihara dan mengapresiasi sastra dan unsur-unsur masayarakatnya menjadikan sastra sebagai sumber pengalaman berestetika, sumber etika, sumber filsafat dan nasihat, sumber pendidikan dan pengajaran, dan bahkan ilmu pengetahuan. Ratna (2005:554) menyatakan bahwa memelihara sastra berarti memelihara kebudayaan dan memelihara nilai-nilai kehidupan. Sastra merupakan bagian sentral kebudayaan dalam sastra lama atau modern terkandung kearifan nilai-nilai peradaban suatu bangsa.
Oleh karena pentingnya sastra maka  pewarisan kearifan nilai-nilai budaya oleh masyarakat sudah dilakukan dengan cara bersastra. Masyarakat Minangkabau melalui  cerita klasik telah mewariskan nilai budayanya. Cerita rakyat yang disebut dengan kaba disampaikan dengan kegiatan yang disebut bercerita. Secara umum kaba  merupakan cerita rakyat berbahasa Minangkabau dalam bentuk fiksi yang disampaikan dalam bentuk prosa liris (Ahmad, 1979:27).  Sebagai cerita rakyat kaba telah dituturkan dan diwariskan secara turun-temurun dari dahulu hingga sekarang.  Penceritaan kaba berfungsi sebagai alat pendidikan budaya dalam rangka mewariskan kearifan nilai-nilai budaya tentang kehidupan di samping sebagai hiburan yang menyenangkan.
Pada  tiga dekade terakhir ini intensitas penceritaan cerita rakyat kaba tidak seintensif pada masa sebelumnya karena peminat cerita kaba yang sudah menurun.  Hal itu juga terjadi karena terkait dengan keberadaan cerita kaba yang khas  tradisi Minangkabau dengan medium bahasa daerah yang sudah tidak familiar dengan kaum muda. Di samping itu, kenyataan bahwa seni tradisi cenderung di kesampingkan karena menariknya seni modern semakin melesukan peminat cerita klasik. Dengan makin berkurangnya minat dan apresiasi generasi muda pada sastra kaba  telah pula menjadikan mereka makin jauh dari nilai-nilai budaya Minangkabau.
Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan terus-menerus karena suatu saat pewarisan nilai-nilai melalui cerita kaba  Minangkabau itu tidak dikenal lagi. Dengan demikian, berarti nilai-nilai berharga yang ada dalam sastra rakyat itu tidak dapat dikembangkan untuk dimanfaatkan bagi kehidupan mendatang Bakar dkk (1984:3). Sejatinya, keberadaan cerita kaba sebagai produk budaya Minangkabau merupakan objek yang sarat dengan pesan kearifan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya dalam kaba merefleksikan berbagai kearifan nilai-nilai kehidupan  dari aspek sosial, ekonomi, adat, dan budaya yang bersumber dari kenyataan hidup. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Samovar dan Porter (2001:38) yang mengatakan bahwa setiap cerita rakyat  bercerita tentang orang-orangnya yang digunakan untuk mentransfer nilai budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Dan setiap budaya memiliki banyak cerita yang masing-masing menekankan sebuah nilai yang fundamental.  
     Berdasarkan alasan di atas maka usaha untuk mengeksplorasi cerita klasik kaba dan meneliti kearifan nilai-nilai budaya yang direfleksikannya merupakan  suatu yang urgen dan mempunyai manfaat yang dapat membantu masyarakat dalam mengapresiasi kembali nilai budaya yang sudah hidup lama dalam masyarakat. Pengungkapan kearifan nilai-nilai budaya kaba dapat berguna  untuk peningkatan kualitas pemahaman nilai-nilai budaya. Penelitian nilai-nilai budaya Minangkabau dalam kaba dapat dipadang mempunyai keunikan karena terkait dengan filosofi dan pandangan hidup budaya Minangkabau yang khas. Kekhasan itu seperti yang diungkapkan  Naim (1996) bahwa filosofi adat budaya Minangkabau mengandung nilai-nilai universal  dan global yang langgeng seperti terdapat dalam pepatah petitih adat ”tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.
            Berhubung cakupan dan pengungkapan nilai budaya sangat umum, maka dalam tulisan ini nilai-nilai budaya yang akan diacu merupakan nilai-nilai budaya Minangkabau  yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdasarkan adat-istiadat, kebiasaan, perbuatan manusia atau tokoh yang secara sadar ditaati dan memberikan harapan membawa kebahagiaan (Djamaris, 1994:17). Nilai-nilai budaya yang dibahas secara garis besar difokuskan pada masalah kearifan nilai budaya dalam hakikat hidup. Untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya dalam cerita, Ratna (2008) mengemukakan sepuluh pendekatan dan tujuh metode yang dapat digunakan dalam penelitian sastra. Dalam penelitian yang telah dilakukan penulis menggunakan pendekatan semiotik sebagai alat pengungkap kearifan nilai-nilai budaya yang dianalisis dari teks kaba dan dinterpretasi secara semiotis. Tujuannya adalah mendeskripsikan dan menginterpretasi kearifan nilai-nilai  budaya Minangkabau dari cerita klasik sesuai dengan kajian semiotik. Hasil yang diharapkan adalah sebuah deskripsi, interpretasi, dan pembahasan nilai-nilai budaya tentang hakikat hidup yang bersumber dari kaba yang dapat memberikan informasi mengenai nilai-nilai budaya Minangkabau.
Hasil pembahasan ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat Indonesia terutama kelompok etnis Minangkabau dalam memahami  nilai-nilai budaya yang terdapat dalam  kaba Minangkabau. Deskripsi dan interpretasi nilai-nilai adat budaya dapat berkontribusi positif dalam berbagai kegiatan hidup, baik secara formal maupun informal. Secara teoretis  kajian ini dapat memperkaya teori-teori tentang nilai-nilai budaya khususnya budaya Minangkabau dan dapat dipakai oleh berbagai kalangan terutama kalangan akademis dan peneliti sebagai sumber dalam kajian budaya. Secara praktis dan akademis hasil penelitian dapat dijadikan sumber materi pembelajaran dalam pendidikan bahasa dan sastra daerah.
B.     Hakikat Kearifan Nilai-nilai Budaya Minangkabau dan Dinamikanya
Dalam bahasa Indonesia ‘kearifan’ merupakan kata yang dibentuk dari kata dasar ‘arif’ yang bermakna ‘bijaksana, cerdik dan pandai, berilmu’ yang menunjukkan sifat. Sedangkan kata kearifan
merupakan kata benda yang bermakna ‘kebijaksanaan atau kecendekiaan’ (KBBI: 2002: 65). Dengan demikian yang dimaksud dengan kearifan dapat berupa perkataan atau tindakan, perbuatan yang menunjukkan sifat arif, yaitu bijaksana, cerdik, pandai, berilmu serta cendikia. Rahyono (2009:7) menyatakan bahwa kearifan merupakan kecerdasan yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya. Bila dikaitkan dengan penelitian ini kearifan berarti kecerdasan dan kebijaksanaan yang dihasilkan masyarakat budaya yang direkam atau didokumentasikan  dalam cerita rakyat kaba berdasar pengalaman hidup yang dilaluinya.
Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia konsep budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari  buddhi yang berarti ”budi”  atau ”akal”(Koentjaraningrat:2000:9). Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut  culture  berasal dari bahasa Latin colere yang berarti ”mengolah” atau ”mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari pengertian itu dan perkembangan berikutnya kata budaya dapat dipahami sebagai segala daya dan upaya serta tindakan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat:2002:182).  Dalam hal ini pengertian budaya termasuk mengolah budi yang merupakan unsur batin manusia.
Dalam kajian ilmiah terutama dalam bidang antropologi konsep kebudayaan sudah didefenisikan oleh banyak pakar dalam pembahasan ilmiah dari berbagai disiplin ilmu. Sampai tahun 1952, Kroeber dan Kluckhohn, telah mencatat 164 definisi kebudayaan yang mereka temukan dalam literatur antropologi (Smith:2001:2).  Konsep kebudayaan dikemukakan oleh Tylor seorang antropolog yang lahir pada tahun 1871, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Harris dan Robert, 2006:56).   Dari pengertian kebudayaan tersebut dinyatakan bahwa seluruh bidang yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat adalah kebudayaan.  Selanjutnya Peursen (1988:11) yang menyatakan bahwa kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia seperti cara ia menghayati dan membuat upacara untuk kematian, kelahiran, seksualitas, makanan, sopan santun, pakaian, kesenian, ilmu pengetahuan, dan agama. Karena kebudayan merupakan perbuatan manusia maka kebudayaan tidak pernah mencapai batas dan berlangsung dalam waktu yang lama. Hal itu juga menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan hasil proses dinamis dan fleksibel karena berhubungan dengan manusia. Artinya, kebudayaan mempunyai sifat mengalami perubahan.    
Berdasarkan beberapa pendapat dan definisi kebudayaan di atas maka definisi kebudayaan pada prinsipnya juga sesuai dengan yang dikemukakan Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik sendiri manusia dengan belajar. Definisi kebudayaan ini sejauh ini dapat digunakan sebagai landasan teori dan pegangan dalam penelitian ini karena bersifat universal dan menyeluruh dengan arti relevan dengan definisi-defisi yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Kebudayaan memiliki dimensi yang sangat universal dan bahkan sekompleks kehidupan manusia itu sendiri. Atas dasar itu maka dalam kajian ilmiah kebudayaan dikelompokkan dalam satuan yang lebih spesifik. Sebagai dasar untuk kepentingan kajian ilmiah, kebudayaan dikelompokkan ke dalam tujuh unsur secara universal, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan,  (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3)  sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7)  sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 2002:187).  Koentjaraningrat (2002:186) menyatakan bahwa dalam kehidupan manusia, kebudayaan diwujudkan dalam tiga bentuk yaitu, ideas, activities, dan artifacts. Pertama, wujud kebudayaan ideas merupakan suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,  peraturan-peraturan dan sebagainya. Wujud budaya ideal bersifat abstrak, tidak dapat diraba. Lokasinya ada dalam pikiran dan kalau dalam tulisan maka lokasi kebudayaan ideal ada  yang berada  dalam karangan atau buku-buku hasil karya penulis warga masyarakat bersangkutan. Kedua, wujud  kebudayaan activities  disebut  juga dengan sistem sosial, yaitu mengenai tindakan berpola dari manusia. Sistem sosial merupakan suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Kelakuan berpola ini teraktualisasi dalam bentuk aktivitas dan interaksi manusia satu sama lain dari waktu ke waktu dalam bentuk konkret  dan bisa diobservasi. Ketiga, wujud kebudayaan artifacts atau kebudayaan fisik sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifat kebudayaan ini paling konkret berupa  benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan sebagainya. 
Dalam penelitian ini konsep kebudayaan yang dirujuk adalah wujud kebudayaan ideal yang merupakan suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya yang berada dalam kehidupan manusia  yang dapat ditemui dalam sastra kaba. Sehubungan dengan konsep budaya itu, Al-Faruqi (1989:7) menyatakan bahwa konsep kebudayaan berkaitan dengan kesadaran akan nilai-nilai dalam kesemestaan, yang pada tingkat terendah mengandung makna suatu kesadaran intuitif dari identitas nilai dan urutan tingkat yang sesungguhnya dari setiap nilai, serta kewajiban untuk mengejar dan mewujudkan nilai-nilai itu.
            Selanjutnya, nilai budaya dalam kajian budaya dapat dipahami dalam hubungannya dengan kajian nilai-nilai secara umum.  Fraenkel (1977) menyatakan bahwa sebuah nilai adalah suatu ide atau konsep tentang sesuatu yang di pandang penting oleh seseorang dalam hidup.  Nilai adalah ide-ide atau gagasan yang mencakup tentang apa yang benar,  baik, dan indah yang mendasari pola-pola budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi unsur jasmaniah dan lingkungan sosial. Dengan demikian nilai-nilai tidak terlepas dari budaya dan masing-masing budaya mempunyai nilai yang diunggulkan  dalam masyarakat budaya yang dikenal dengan nilai budaya. Nilai-nilai budaya dari yang utama sampai  yang relatif, biasanya tersusun sesuai dengan apa yang amat penting dan tergantung kepada budaya suatu masyarakat. Seperti dijelaskan Lestari (2008:2) dalam penelitiannya di Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa dalam budaya kerja peningkatan kinerja ditentukan oleh  nilai-nilai perekat yang dapat mempersatukan pandangan anggota. Nilai-nilai utama yang sangat diharapkan  adalah objektif, sinergis, berkeadilan, kebenaran, mandiri, kreatif, kasih sayang, rendah hati, harmonis, aspiratif, menghargai, korporatif, konsistensi, dinamis, adaptif, produktif, rasional, teliti, partisipatif, integritas, kepedulian, kepatuhan, peka, melayani, memberi, keteladanan, akurat, dan efektif. Nilai-nilai itu dipandang penting untuk kesuksesan sebuah organisasi.  Dalam temuan itu terlihat bahwa dalam kemajuan suatu organisasi nilai objektif, sinergis, keadilan,  kebenaran, dan mandiri adalah nilai-nilai yang utama disamping nilai-nilai utama lainnya. Nilai-nilai yang menonjol dalam kehidupan suatu masyarakat atau organisasi dapat menjadi identitas budaya masyarakat tersebut.
            Berdasarkan uraian aspek budaya dan nilai di atas, maka yang dimaksud dengan pesan kearifan nilai budaya ialah  konsepsi, ide-ide, gagasan, norma-norma,  dan bentuk-bentuk nasihat lainnya (tersirat dan tersurat) yang sifatnya memberikan pengajaran kepada masyarakat dalam kebaikan yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan tindakan, dan dipandang penting dalam hidup.  Pesan kearifan budaya juga mencakup  ide-ide atau gagasan yang menuntun untuk menentukan  tentang apa yang benar,  baik, dan indah yang mendasari pola-pola budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi unsur jasmaniah, batiniah,  dan lingkungan sosial.
Dalam penelitian ini pesan  kearifan nilai budaya adalah ide-ide atau konsepsi yang menonjol dalam kaba Minangkabau yang menjadi identitas budaya masyarakatnya sehingga pesan kearifan  itu menjadi identitas bersama. Pesan kearifan budaya  itu berupa konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dianggap  berharga dan penting dalam kehidupan sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman dan ertimbanga yang memberi arahan dan orientasi dalam kehidupan nyata yang selaras dengan yang ada dalam karya sastra kaba. Pesan kearifan nilai budaya dapat berupa ide-ide, gagasan, norma-norma,  dan bentuk-bentuk lainnya yang ada dalam kehidupan manusia, yang ditemukan dalam kaba yang berhubungan dengan masalah dasar dalam kehidupan manusia.
Secara umum, kearifan nilai-nilai budaya masyarakat Minangkabau dicitrakan dengan  adagium ”adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”  yang merupakan landasan filosofis kelompok etnis Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Adat secara umum merujuk pada aturan hidup sehari-hari  sedangkan syarak adalah ajaran agama Islam yang menjadi pondasi adat yang bersumber dari Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. Tuntunan agama Islam dan nilai-nilai adat telah menjadi pedoman dan pegangan sebagai sebuah kearifan budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sejak beberapa abad yang lalu. Amir (2007:6) mengatakan bahwa  adat atau budaya itu telah mengarahkan kelompok etnis Minangkabau dalam peningkatan budi pekerti untuk membentuk masyarakat yang berbudi luhur. Keberadaan adat budaya yang dinamis itu mampu beradaptasi dengan  nilai-nilai agama sehingga menciptakan masyarakat yang tercerahkan dan berkearifan dalam masalah kebudayaan.
Koran Kompas (2010)  memberitakan bahwa tokoh-tokoh asal Minangkabau tampil ke tingkat  nasional dan internasional tidak terlepas dari dukungan kebudayaannya karena dalam adat Minangkabau diungkapkan bahwa kebesaran dan ketinggian kedudukan yang dicapai seseorang tidak hanya karena usaha dirinya sendiri, tetapi sebenarnya terjadi karena diusahakan dan diharapkan oleh orang-orang yang mendukungnya, yaitu masyarakat pendukung budayanya. Di dalam konsep kearifan alam pikiran adat Minangkabau, seseorang menjadi tinggi karena ditinggikan dan menjadi besar karena dibesarkan oleh masyarakatnya.
Meskipun demikian, nilai-nilai budaya Minangkabau yang dahulunya dipakai dan diamalkan secara teguh oleh masyarakatnya,  hingga zaman sekarang telah banyak mengalami perubahan. Adanya peristiwa-peristiwa sosial politik, pengaruh modernisasi, serta dampak globalisasi yang langsung atau tidak  langsung, telah membawa wajah baru dalam penampilan nilai budaya masyarakat (Amir: 2007:viii). Di sisi lain, keberadaan  masyarakat kelompok etnis Minangkabau yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sudah semakin banyak berinteraksi dengan masyarakat dunia dan  efek dari pergaulan global itu pada saat sekarang mereka tidak terhindarkan telah menyerap berbagai nilai budaya dari bursa budaya dunia. 
Indikasi perubahan itu seperti yang diungkapkan Syarifuddin dalam Agustina (2003)  bahwa pada waktu dahulu budaya atau adat Minangkabau semarak karena masing-masing komponen masyarakat sangat peduli pada pemahaman, pengamalan, dan pembelaan terhadap nilai-nilai agama dan budaya Minangkabau. Namun, sekarang masyarakat Minangkabau mengalami kegoncangan budaya yang menyeret orang untuk mencari jalan hidupnya sendiri-sendiri karena pewarisan nilai budaya dan kontrol sosial budaya  yang lemah (Sairin, 2003:54). Diakui oleh beberapa pakar bahwa kontrol orang tua terhadap pemahaman nilai budaya anak semakin lemah, pembentukan karakter melalui keluarga semakin disaingi oleh sajian teknologi, ditambah lagi karena anak merasa lebih hebat dalam tenologi daripada orang tua (Elfindri, 2010:141). Dampak dari hal itu terekam dalam realitas kehidupan pada era globalisasi sekarang. Terhadap nilai-nilai adat dan budaya tidak semua masyarakat budaya mengaktualkan apa yang menjadi nilai-nilai yang terkandung dalam petatah-petitih adat Minangkabau (Naim,2003:42).
Krisis kearifan budaya itu terindikasi dari terjadinya krisis identitas, krisis kepercayaan diri, kehilangan pengangan pada masyarakat yang tidak terkecuali oleh generasi mudanya (Sairin, 2003:vii). Hal yang demikian dipertegas oleh Naim (2003:39) yang  menyatakan bahwa permasalahan besar yang dihadapi masyarakat Minangkabau adalah hilangnya yang paling berharga dari dirinya sendiri, yaitu jati diri. Jati diri yang dimaksudkan adalah nilai-nilai budaya Minangkabau yang menjadi kearifan dan tujuan adat Minangkabau.  Amir (2007:6) mengatakan bahwa pesimisme terhadap pewarisan dan pengamalan nilai-nilai budaya Minangkabau sesungguhnya sudah ada sejak abad ke-19 yang lampau dan berlanjut hingga sekarang. Kenyataan seperti itu tidak hanya merupakan masalah lokal masyarakat Minangkabau tetapi sudah menjadi masalah nasional masyarakat Indonesia. Pranadji (2004: 332) menyatakan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia bukan disebabkan tidak adanya nilai-nilai budaya baik yang dikenal, melainkan tidak  aktualnya nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan itu, empat dekade yang lalu, Lubis (1977 mensinyalir  bahwa dominasi nilai destruktif dibanding nilai kontruktif pada masyarakat kita sangat mencemaskan dan akan membawa keterpurukan bangsa dalam krisis multi dimensi.
Berdasarkan uraian di atas, maka pesan kearifan budaya yang ada dalam naskah cerita kaba Minangkabau perlu diungkapkan dan dieksplorasi sehingga hasilnya dapat digunakan untuk peningkatan kualitas hidup berbudaya masa kini.  Hal itu senada yang diungkapkan oleh Ratna (2008: 329) yang menyatakan bahwa khazanah sastra lama kaya dengan pesan kearifan yang pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka membina semangat kebangsaan dan kesatuan bangsa. Sehingga dengan demikian, pembangunan budaya bangsa akan terwujud  dengan dukungan landasan-landasan filosofis yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia.

C.    Refleksi Kearifan Nilai Budaya Minangkabau dalam Cerita Kaba
Pada bagian ini diuraikan kearifan nilai budaya hakikat hidup dalam pandangan masyarakat Minangkabau yang tergambar dalam cerita kaba.

a.       Refleksi Kearifan Nilai Budaya Ketakwaan
Pada umumnya, dalam cerita kaba lama dan baru hidup diyakini sebagai takdir Allah  dan dalam menjalani kehidupan seseorang harus  bertawakal kepada-Nya. Refleksi itu menunjukkan bahwa tokoh cerita kaba mengamalkan nilai-nilai budaya ketakwaan yang bersumber pada pandangan hidup berdasarkan  agama Islam.
Dari kaba yang dianalisis ternyata kaba lama dan kaba baru menggambarkan bahwa hidup dan mati manusia  merupakan kehendak dari Tuhan  Maha Pencipta alam semesta, yaitu Allah yang maha pencipta. Dalam kaba lama dan kaba baru yang dijadikan sumber data ditunjukkan gambaran tentang hidup sebagai kehendak Allah.  Puti Linduang Bulan dalam cerita Magek Manandin dinyatakan hamil sebagai kehendak dari Allah dan anak yang dikandung diyakini dan disebut sebagai pemberian Allah kepada dia dan suaminya. Data itu adalah tanda semiotis berupa indeks yang objeknya takdir Allah dan interpretannya adalah adanya kehidupan manusia sebagai makhluk merupakan kehendak dari Allah Yang Maha Kuasa yang menjadikan makhluk manusia.   Selanjutnya, dalam cerita itu dinyatakan bahwa ada empat hal yang menjadi ketentuan Allah yang manusia tidak dapat mengingkarinya, yaitu tentang hidup, mati, urusan nyawa, dan urusan rezeki.  Signifikasinya menunjukkan suatu keyakinan bahwa tokoh-tokoh cerita kaba memandang  hidup dengan segala eksitensinya, ajal atau mati, urusan nyawa, dan rezeki  luas sempitnya sudah merupakan ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah dalam ilmu-Nya. Kearifan nilai budaya yang ditegaskan adalah bahwa Tuhan berkehendak mutlak terhadap makhluk-Nya, yaitu menghidupkan dan mematikan, dan memberikan rezeki-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Seorang  hamba yang benar dalam kearifan nilai budaya tentu  bertakwa kepada-Nya.
   
b.      Refleksi Kearifan Nilai Budaya Berusaha dan Berdoa
  Dalam menjalani hidup manusia diharuskan berusaha dan berdoa untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Tokoh-tokoh cerita yang berusaha dan berdoa pada umumnya menjadi tokoh yang berhasil sedangkan tokoh yang tidak mau berusaha menjadi tokoh cerita yang gagal.
    Setelah dianalisis secara semiotis, dalam hamper semua cerita kaba yang diteliti digambarkan bahwa setiap tokoh protagonis berusaha dengan sekuat tenaga  dan di samping itu  berdoa kepada Allah  dalam memecahkan persoalan yang dihadapi dalam hidup. Dalam cerita kaba Cindua Mato ditemukan tokoh Bundo Kanduang berusaha sebagai seorang ibu mendidik anaknya  tokoh Dang Tuanku dan Cindua Mato dari kecil hingga dewasa. Di akhir cerita digambarkan kemenangan Cindua Mato dalam berjuang  sebagai hasil dari buah usaha Bundo Kanduang. Dalam cerita kaba Tapian Larangan ditemukan tokoh Mambang Sutan  berusaha mencari jalan keluar atas fitnah terhadap dirinya dan menuntut kembali tunangannya yang diambil tokoh Mantiko Rajo. Dengan berusaha  melalui jalur hukum adat dan bermusyawarah dengan berbagai pihak, ia kembali mendapatkan tunangannya dan menyadarkan semua pihak yang keliru. Dalam kaba Magek Manandin ditemukan kegigihan Magek Manandin berusaha mendapat kembali tunangannya Subang Bagelang dengan perjuangan yang menggentarkan dan mati-matian. Dalam kaba Sabai Nan Aluih ditemukan  tokoh Sabai Nan Aluih berusaha menuntut balas kepada tokoh Rajo Nan Panjang atas kematian ayahnya. Dalam kaba Rancak Dilabuah ditemukan tokoh Siti Jauhari berusaha mendidik tokoh Rancak Di Labuah menjadi seorang intelektual sehingga berhasil menjadi penghulu. Begitu juga dengan tokoh Sutan Lanjungan, tokoh Buyuang Karuik, dan tokoh Haji Karim dalam kaba Bujang Pajudi. Semua tokoh cerita adalah sosok yang berusaha  dalam kegiatan hidup yang baik sehingga  merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.
            Selain berusaha dengan tindakan nyata, tokoh-tokoh kaba dalam mengisi hidup juga melakukan kegiatan berdoa kepada Allah untuk kesuksesan hidupnya. Mereka berdoa dikala lapang dan sempit, dikala menghadapi masalah atau disaat sejahtera. Pada saat tokoh Cindua Mato menang perang dengan tokoh Tiang Bungkuak, tokoh Bundo Kanduang bersyukur kepada Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika tokoh Cindua Mato menghadapi perperangan, tokoh Bundo Kanduang dan seluruh perangkat kerajaan mendoakan Cindua Mato, begitu juga sebaliknya Cindua Mato meminta doa kepada Bundo Kanduang dan Dang Tuanku. Mereka saling mendoakan dalam kebaikan.
            Dari refleksi data tentang hidup berusaha dan berdoa dapat dinyatakan bahwa cerita klasik menegaskan bahwa kearifan nilai budaya berusaha dan berdoa merupakan kearifan yang penting dalam hidup. Dinamika hidup manusia susah dan senang harus diisi dengan kesenangan pada mau berusaha dan berdoa sebagai kearifan nilai budaya yang telah dipesankan oleh pengarang cerita kaba Minangkabau.

c.       Refleksi Kearifan Nilai Budaya Menuntut Ilmu
Dalam cerita kaba lama dan baru ditemukan tokoh-tokoh kaba yang dalam hidup mengutamakan menuntut ilmu untuk melakukan suatu pekerjaan dalam kehidupan. Berdasarkan paparan data ditemukan bahwa usaha menuntut ilmu untuk melakukan suatu pekerjaan dan menjalani hidup merupakan hal yang diutamakan dalam cerita kaba. Dalam kaba Cindua Mato digambarkan Dang Tuanku belajar kepada Bundo Kanduang dengan tekun dan sabar. Meskipun ibunya memanggilnya di tengah malam disaat ia tidur namun ia tetap memenuhi panggilan ibunya untuk belajar ilmu. Dalam kaba Sutan Lanjungan digambarkan kegigihan tokoh Sutan Lanjungan menuntut ilmu kepada  tokoh Datuk Timbangan di perantauan pada malam hari karena pada siang hari ia berdagang mencari harta untuk kesejateraan dirinya dan keluarganya di kampung. Menuntut ilmu dan mencari harta merupakan dua tujuan utama Sutan Lanjungan dalam merantau. Selanjutnya, dalam kaba Rancak Dilabuah digambarkan kegigihan Siti Jauhari mendidik dua anaknya tentang berbagai ilmu adat-istiadat sehingga anaknya menjadi terangkat kelas sosialnya.  Sebaliknya Rancak Dilabuah dan Siti Budiman menunjukkan sikap yang terbuka, menerima, dan sangat antusias dalam menuntut dan mengamalkan ajaran ilmu yang diperoleh dari ibunya.
            Begitu juga ketika Si Buyuang Karuik akan pergi dengan Jaksa Lembang Alam ke Palembang, ia menemui Sutan Pasisia dan Sari Anum yang sudah dianggap sebagai orang tuanya. Kepada mereka berdua Buyuang Karuik meminta nasehat atau ilmu agar sukses hidup di rantau orang.  Sebagai orang yang telah berpengalaman hidup di rantau sebagai pedagang  nasi, ia menyampaikan rahasia kesuksesannya kepada Buyung Karuik, yaitu agar hidup lurus dan benar, hemat dengan menabung, hendaklah berdagang dan jangan selamanya menjadi orang gajian, dan selalu meningkatkan taraf hidup. 
Dari sepuluh cerita kaba yang diteliti, sembilan kaba menggambarkan pentingnya menuntut ilmu dalam hidup. Satu cerita kaba dengan tokoh antagonis Bujang Juki yang mencela orang yang tidak mau menuntut ilmu  sehingga tokoh Bujang Juki  yang tidak berilmu itu menjadi orang yang menyusahkan banyak orang dalam kehidupan. Akhir dari kehidupannya ia membunuh tokoh Siti Baheram dan karena itu ia diadili dan mendapat hukuman gantung.  Dengan demikian, kaba Siti Baheram juga  menggambarkan pentingnya pendidikan dan menuntut ilmu dan menggambar akibat buruk tidak berpendidikan, yaitu menjadi penyakit masyarakat. Jadi, kebodohan dan keterbelakangan sudah dirasakan sebagai musuh dari kehidupan itu sendiri yang harus dihilangkan dengan pendidikan.
Dalam hal ini kaba  menyampaikan pesan bahwa tokoh-tokoh kaba yang tidak mendapat atau tidak menghiraukan pendidikan mendapatkan hidup yang sengsara sedangkan tokoh-tokoh yang mencintai ilmu dan beramal dalam hidup menjadi tokoh yang sukses dan bahagia. Refleksi yang demikian menunjukkan bahwa cerita kaba memesankan kearifan nilai budaya menuntut ilmu dalam kehidupan yang penting dalam peningkatan kebermanfaatan dan kualitas hidup.

d.      Refleksi Kearifan Nilai Budaya Bermusyawarah dan Bertindak Cepat
Pada umumnya, cerita kaba menggambarkan tokoh-tokoh yang  bermusyawarah dan bertindak  cepat dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan hidup. Tokoh yang penuh perhitungan dan bermusyawarah selamat sedangkan tokoh yang tidak mempunyai pertimbangan mendapat bahaya. Pada umumnya, dalam kaba yang diteliti digambarkan tokoh-tokoh protagonis yang cepat bertindak dalam menghapai persoalan hidup. Dalam hal bertindak itu ada dua model yang diperlihatkan oleh cerita kaba, yaitu orang atau tokoh-tokoh yang penuh perhitungan dan bermusyawarah dan tokoh yang emosional dan tidak bermusyawarah.  Tokoh yang penuh perhitungan dan bermusyawarah dapat mengatasi persoalan hidup dengan baik dan selamat atau bahagia. Sebaliknya tokoh yang emosional dan tidak bermusyawah mendapat tantangan yang semakin membahayakan dirinya. Ternyata dalam kaba tindakan emosional dan tanpa perhitungan itu  juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya digambarkan bijaksana, mempunyai ilmu, dan tahu dengan kiat-kiat menyelesaikan hidup, seperti  Rajo Bandiang, Haji Karim, Angku  Kapalo, dan Rajo Kuaso. Agaknya ini sebuah kritikan terhadap ditinggalkannya kearifan nilai musyawarah dalam kehidupan dan tindakan emosional itu berbahaya bagi siapa pun dan menyebabkan jalan hidup  mereka menderita.
            Tokoh-tokoh dalam kaba yang bertindak dengan cepat, cerdas, dan penuh perhitungan, serta bermusyawarah adalah tokoh Bundo Kandung dan tokoh Cindua Mato dalam kaba Cindua Mato. Tokoh Siti Jauhari dalam menghadapi anaknya yang menentangnya dalam hal konsep hidup. Tokoh Mambang Sutan menghadapi tokoh Mantiko Rajo dan Mangkuto Rajo sehingga Mantiko Rajo yang berseberangan dengannya menjadi sahabat setianya. Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan penuh perhitungan dan kearifan nilai bermusyawarah itu telah menghasilkan jalan keluar yang mengagumkan  dari problema hidup mereka sehingga mereka menjadi tokoh-tokohnya orang terhormat dan bahagia dalam gambaran kaba.

e.       Refleksi Kearifan Nilai Budaya Hidup Bermanfaat
Hidup yang ideal adalah hidup dengan berilmu, berusaha, dan bermanfaat bagi orang lain. Hidup yang tercela adalah hidup dengan senang-senang dan tidak bermanfaat dan bahkan menyusahkan orang lain. Dalam cerita kaba digambarkan bahwa tokoh-tokoh yang telah sukses mencari harta dan ilmu baik di kampung atau dirantau memberikan kontribusi terhadap kehidupan keluarga berupa mensejahterakan keluarga, meningkatkan status sosial, dan menjadi pemimpin dalam masyarakat.  Gambaran itu lebih nyata pada kaba baru dibandingkan dengan kaba lama.  Pada kaba lama hal itu tidak menonjol karena pada umumnya tokoh cerita adalah kaum bangsawan yang sudah kaya dan berstatus sosial tinggi dalam masyarakat. Kontribusi mereka hanya sebatas mempertahan kedudukan, kehormatan, dan menuntut balas pada pihak yang mencoba menganggu keluarga. Sebaliknya, pada kaba baru tokoh-tokohnya  berasal dari orang biasa dengan  status sosial rendah sehingga kontribusi anggota keluarga yang telah mapan dirantau sangat menentukan peningkatan kualitas keluarga yang ditinggalnya yang masih miskin. 
Keberhasilan hidup tokoh cerita kaba terkait dengan prinsip-prinsip hidup yang bersumber dari petatah-petitih adat Minangkabau dan ajaran agama Islam. Artinya, hidup dilalui dengan landasan filosofis adat dan agama. Dalam kaba yang dibahas ditemukan bahwa tokoh-tokoh cerita yang digambarkan sukses dalam hidupnya baik dalam berjuang maupun berdagang di rantau karena mereka memegang teguh prinsip-prinsip atau pandangan hidup yang bersumber dari ajaran agama Islam dan ajaran adat Minagkabau.

D.     Kesimpulan
  Berdasarkan temuan-temuan yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa refleksi kearifan nilai-nilai budaya hakikat hidup kelompok etnis Minangkabau  digambarkan dalam cerita sebagai takdir Allah yang harus dijalani dengan bertawakal, berusaha, dan berdoa, mencari ilmu, mencari harta demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan bermanfaat bagi orang lain. Kebahagian hidup tergantung pada pilihan hidup dan pilihan dalam berusaha. Orang-orang yang berusaha dengan baik, beriman, berilmu, dan beramal dalam hidupnya  akan mendapatkan kebahagiaan, sedangkan orang yang tidak berusaha ke arah yang baik dan tidak berilmu akan mendapat hidup yang sempit dan cenderung menyusahkan orang lain.
Berdasarkan kesimpulan penelitian, disarankan bahwa refleksi kearifan nilai-nilai budaya yang diungkapkan dari cerita kaba  perlu diteliti lebih lanjut untuk dapat memperjelas aspek-aspek yang belum terungkap sehingga ke depan terdapat gambaran   budaya yang lebih kompleks dari sastra lama.  Kepada pemerintah disarankan, berhubung keberadaan kaba itu amat minim, maka aksi nyata yang dipandang penting  adalah  memperbanyak kembali kaba-kaba yang sarat dengan kearifan nilai-nilai budaya yang sudah disebut di atas dan analisisnya untuk bahan pengajaran di sekolah, di perguruan tinggi, serta untuk dibaca masyarakat melalui koleksi  perpustakaan  di wilayah budaya Minangkabau.  Tindakan ini amat perlu untuk membentengi gelombang budaya global yang tidak konstruktif bagi kehidupan lokal dan nasional dengan lebih dahulu mengenal budaya lokal.
Daftar  Rujukan
Al-Faruqi,  Ismail R. Islam dan Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Mizan, 1989.
Amir.   Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau.  Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2007.
Azmi. “Pelestarian Adat dan Budaya Minangkabau”  dalam Minangkabau yang Gelisah. Bandung: CV Lubuk Agung, 2003.

Tidak ada komentar: