Senin, 04 Oktober 2010

ceritaku

MR FACHIR
Oleh: Abdurahman

Nama Mr Fachir menyelinap ke dalam ingatanku tatkala aku masih kelas satu SMP di desaku. Sebuah nama yang indah dan relevan dengan perawakan orangnya yang tinggi semampai. Berambut hitam lebat yang disisir dengan rapi dengan belah tepi yang tidak begitu kentara. Sosok yang berkulit putih ini terbilang tampan dengan wajah yang agak lebar, hidung yang mancung, berkumis tipis di atas bibir yang merah muda. Guru dengan setelan kemeja, celana, dan dasi yang rapi, membuat mata kami senang dan hati berdecak kagum ketika beliau masuk ke kelas kami. Guru ku ganteng, rapi, dan meyakinkan. Aku mengkhayal suatu saat juga akan berpenampilan seperti penampilan beliau menjadi seorang guru atau direktur. Mr Fachir begitulah kami panggil beliau, dan perkiraan kami usianya 40 tahun lebih kurang.

Pertemuan pertama kami dalam kelas bahasa Inggris dengan Mr Fachir begitu mengesankan, begitu juga dengan pertemuan yang kedua semuanya menyenangkan. Pada pertemuan minggu ketiga yang ada yang tidak kami duga dan tidak pernah terlintas sebelumnya. Hari itu kami sudah membuat tugas rumah, yaitu membuat beberapa latihan tentang kata tunggal dan jamak dalam bahasa Inggris. Yang ku ingat yang nomina jamak mesti pakai akhir dengan konsonan /s/ atau /es/. Untuk membuat latihan itu tidak ada kesulitan dan semua murid membuat dengan baik.

Pagi itu, Mr Fachir memeriksa latihan kami dan semua murid membuat tugas itu. Selesai itu, beliau melanjutkan dengan pelatihan melafalkan kosa kota yang sudah ditulis di depan kelas. Mr Fachir menyebutkan beberapa contoh pelafalan antara kata yang pakai /s/ dengan yang tidak pakai /s/. Mr Fachir menunjukkan dengan sehelai kertas yang didekatkan ke mulutnya. Setelah itu kami mulai mencoba secara bersama dengan pola tubian. Mr Fachir mengganti kata-kata yang akan kami lafalkan di depan kelas. Selesai kegiatan yang demikian kegiatan dilanjutkan dengan pelafan kata-kata latihan oleh murid orang per orang.

Giliran pertama jatuh pada anak perempuan yang duduk di bagian depan di sebelah kanan. Mr Fachir melafalkan kata dan kemudian anak mengikuti dengan pengimitasian ucapan guru dengan cara mengulang ucapan. Giliran diteruskan dan sampai pada anak nomor tiga masih lancar. Pada giliran anak yang keempat mulai terjadi kesalahan pengulangan. Mr Fachir mengulang lagi tetapi masih murid itu belum betul. Mr tidak puas lalu ia membentak anak itu dan aku pun kaget. Sebuah hardikkan menyambar anak itu, dan nampaknya anak itu makin cemas dan tidak terdengar lagi suaranya mengulang ucapan Mr Fachir. Dalam hatiku berbisik “Mr pemarah juga ya!”

Giliran ku masih menunggu dua orang murid lagi. Aku cemas menunggu giliran karena jujur kukatakan aku memang sedikit takut dengan wajah Mr Fachir yang memerah dan tampak dingin. Ketika anak yang sebelum aku dilatih, ia sama dengan anak yang tadi salah. Ia tidak dapat menyebutkan dengan benar. Dua kali Mr Fachir mengulang, tetapi apa boleh buat ia juga belum bisa betul. Lalu tiba jari-jari Mr Fachir yang sebelumnya mengelus kumis tipisnya melipat dan membentuk sudut dan dengan cepat menjitak kening teman sebelah dudukku itu. Aduh…ia meringis dan terbata-bata mengulang kata yang dilafalkan Mr Fachir. “Aduh… sakit itu…, keluhku dalam hati”. Kulihat temanku itu menunduk saja, ia tidak berkutik tanpa perlawanan walau badannya aga besar dari tubuh saya. Mr Fachir beranjak ke arah akua dan entah bagaimana dengan nasibku.

Giliran ku tiba, Mr Fachir memberi aba-aba dengan menunjuk ke arahku sambil berkata you. Beliau melafalkan sebuah kata dan aku mengulangi. Lalu Mr Fachir mengulangi lagi dan aku mengikuti pelafalannya. Aku tidak tahu apakah yang aku lafalkan sudah benar atau belum. Tiba-tiba dengan tenang Mr Fachir menarik tanganku dan aku ditegakkan di depan kelas lalu disuruh menulis kata yang dilafalkannya. Aku betul menuliskannya tetapi aku gagal melafalkannya dan aku disuruh berdiri di depan kelas di sebelah kiri. Tatkala aku menuju tempat itu disaat itu pula aku merasakan ujung sepatu Mr Facri bersarang di patatku dan rasanya bagai kena palu. Onde mande (Aduh mama) … sakitnya. Tidak ku kira akan begini … selama hidup baru kali ini pantat ku ditendang orang, air mataku menetes sambil meringis.

Latihan berlanjut dan beberapa anak murid yang salah mendapat pengalaman yang sama dengan aku. Maksudnya, kalau tidak dijitak, ya ditendang kakinya atau pantatnya, lalu berdiri di depan kelas bersama aku. Dan beruntung anak-anak yang bisa dan lancar dalam pelatihan itu, mereka lolos dari hadiah yang diberikan Mr Fachir. Pelatihan selesai dan anak yang berdiri kembali diberi tambahan hadiah berupa jitakan yang tidak terlalu keras dari yang sebelumnya meskipun cukup sulit untuk dilupakan. Kemudian baru kami disuruh duduk kembali. Rupanya itulah hukuman bagi anak-anak yang salah dalam berlatih di kelas Mr Fachir.

Pelajaran baru ditambahkan Mr Fachir materinya. Aku lebih banyak memperhatikan Mr Fachir menjelaskan pelajaran dibanding waktu belajar sebelumnya. Saya lihat anak-anak belajar keras dengan Mr Fachir karena takut dengan hukuman yang akan diberikan Mr Fachir. Aku sendiri juga begitu, sakit dan nyeri rasanya mendapat hadiah Mr Fachir. Meskipun demikian tidak ada pula aku benci kepada Mr Fachir karena begitulah pelajaran yang mesti kami lalui. Usai pelajaran kami istirahat dan nampaknya tidak seorang anak pun yang berani dan berminat membicarakan hukuman yang diberikan Mr Fachir.

Mr Fachir yang ku kagumi kini ku takuti. Aku tidak berani lagi menyapa beliau. Malahan ketika bertemu di jalanan, baru saja menampak puncak rambutnya kami sudah lari. Mr Fachir guru bahasa asing kami yang makin asing bagi kami dan meski demikian beliau satu semester mengajar kami. Selama satu semester itu aku dan teman-teman mendapat perlakuan yang sama. Kami diberi hukuman dari kesalahan-kesalahan yang terjadi dan tidak pernah terdengar pujian dari mulutnya untuk kami begitu juga dengan caci maki.

Ketika kami kelas dua, aku belajar dengan Bu Salma orangnya baik, bahasa Inggrisnya lancar dan beliau sering mendorong kami agar pintar berbahasa Inggris. Kelihaiannya mengajar begitu jelas ketika kami kelas dua pada umumnya kami telah menguasai tata bahasa bahasa Inggris. Bu Salma jauh berbeda dengan Mr Fachir, tidak ada kekerasan dalam hukuman terhadap murid-murid di kelasnya. Kalau ada anak yang salah biasanya Bu Salma memberikan latihan yang lebih banyak. Dan Bu Salma pun rajin mengembalikan koreksian tugas-tugas kami.

Hari-hari berlalu dan aku masih mengenang Mr Fachir di mana ia kini. Lalu aku mencari teman-teman yang sekelas ketika tahun satu. Lalu kami menanyakan Mr Fachir ke guru piket, ibu Ros namanya. Ibu Ros bercerita pada kami. Sebenarnya Mr Fachir itu orangnya baik tetapi sejak ia mendapat sakit tensi tinggi dan kolesterol, ia suka emosian, mudah tersinggung, dan tidak sabaran. Mungkin karena ia hidup sendirian di sini sedangkan keluarganya jauh di kota. Sekarang ia sudah pindah ke sekolah di mana keluarganya tinggal di kota provinsi. Dan kabarnya ia sedang dirawat di rumah sakit.

Aku sedih mendengar cerita Bu Ros dan berpikir tentang penderitaan yang dialami Mr Fachir. Dalam hati aku memaafkan Mr Fachir karena aku tahu orang yang sakit memang susah mengendalikan emosi apa lagi jauh dari keluarga. Kasihan Mr …. rupanya ia sakit. Lalu tiba-tiba, Momon menyelutuk dari belakang,

“Makanya jangan suka jahat sama murid, akhirnya tensi tinggi deh, kasihan... Dulu aku entah berapa kali dijitak plus ditendang lagi … Hee.. sadis banget tu guru! Mentang-mentang pandai karate, anak didik ditendang-ditendang, kalau semua guru begitu ah payah deh …katanya pendidik …” belum habis Momon memuntahkan umpatannya Dano mengambil kesempatan bicara.

“Ya begitu .., trus kita jangan begitu!” cegah Dano yang dulu kepalanya juga dijitak Mr Fachir. “Tidak baik mencela kejahatan dan penderitaan yang dialami orang, lagian beliau kan guru kita. Kita doakan saja semoga ia cepat disembuhkan oleh Allah SWT dan semoga ia sadar untuk mengubah cara mengajarnya”. Lalu semua terdiam dan kami setuju mengucapkan beberapa doa.

Lalu Momon bilang lagi,
“Besok kamu kalau jadi guru jangan kayak Mr.. .ya. Oke!” “Bisa dipenjara lho …kalau murid menuntut..”
“Oke teman, setuju.” sahut kami.
“Sebaiknya kita lakukan sesuatu…,” ulasku.

Lalu aku mengeluarkan sebuah buku tulis dan mengajak teman-temanku itu menulis sepucuk surat untuk Mr Fachir dalam bahasa Inggris. Isinya, kami mendoakan beliau cepat sembuh dan menceritakan pengalaman belajar dengan ibu Salma kepada beliau dan kami berharap agar Mr Fachir tidak main tangan lagi kepada anak didik di sana. Semoga cepat sembuh Mr Fachir.

Bel tanda masuk habis istirahat berbunyi, kami bergegas masuk kelas. Setelah semua anak murid duduk dengan tenang Bu Salma masuk kelas dengan senyum menghias wajahnya. Kami mendapatkan beliau seperti seorang ibu yang sangat baik pada anaknya. Seperti sapaan beliau juga kepada kami, “Anak-anak Ibu semua … ibu yakin semua pasti bisa… jangan takut kan ada ibu… ayo nanda …ayo kita berlatih … dan lainnya.” Bahasa beliau bersahabat dan amat memotivasi untuk belajar.

Bu Salma dan Mr Fachir dua sosok guru yang kontras cara mengajarnya untuk kami. Mungkin karena Bu Salma guru baru dengan cara-cara mengajar baru yang smart sedangkan Mr Fachir guru lama dengan cara yang kaku. Bagiku benar juga kata orang bijak, jauh berjalan banyak yang dilihat, lama hidup banyak yang dirasakan dan pengalaman adalah guru yang terbaik untuk masa depan.

Sekarang aku meyakinkan diri bahwa mengajar bukanlah memaksakan kehendak kepada murid dengan kata harus ini dan harus itu. Tetapi mengajar adalah membangun wawasan anak didik ke arah yang berintelektual dengan kemampuan ilmiah, amaliah, dan keimanan. Sebagai seorang yang ilmiah pertimbangan akal yang rasional mesti lebih diutamakan daripada nafsu dan emosi. Sebagai orang yang beramal memberikan contoh dan teladan yang baik dalam bentuk tindakan dan aktivitas merupakan suatu keharusan. Sebagai seorang yang beriman nilai-nilai kasih sayang dan mencintai sesama seperti mengasihi dan mencintai diri sendiri merupakan patokan yang perlu dipegang. Dengan demikian kita berharap akan tercipta anak didik yang otaknya cerdas, ototnya terampil, dan dada penuh dengan nilai-nilai kebaikan dalam membangun peradaban umat manusia yang madani.

Maka sudah selayaknya pada hari ini betapa perlunya penyeimbangan pemberdayaan kecerdasan IQ, EQ, dan ESQ dalam kehidupan guru dan murid. Mengembangkan potensi diri dengan basis kecerdasan multi dimensional dan mencari titik temu keterampilan yang sesuai dengan multi kecerdasan itu. Orang yang diyakini profesional hari ini bukanlah orang yang bisa menjawab semua persoalan, tetapi orang yang profesional adalah orang yang kompeten dan ahli menguasai satu bidang dengan baik dalam dimensi multi kecerdasan.