Senin, 10 Mei 2010

Nilai Budaya Kaba Gadih Basanai

NILAI BUDAYA DALAM KABA GADIH BASANAI (KGB)
Oleh: Abdurahman
Abstraks
Kaba Gadih Basanai merupakan karya sastra klasik Minangkabau yang merupakan warisan berharga yang memiliki nilai-nilai budaya yang amat baik bagi kehidupan. Artikel ini membahas kandungan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam kaba tersebut dan setelah dinalisis ternyata cerita ini mengandung nilai budaya berkaitan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat, orang lain, serta dengan diri sendiri. Nilai budaya menonjol adalah nilai budaya berserah diri dan berdoa kepada Allah. Nilai budaya manusia mengelola alam dan selaras dengan alam untuk dimanfaatkan dalam meraih harapan. Nilai budaya bermusyawarah, cinta tanah air dan patuh pada adat serta budaya tolong menolong, ramah, kasih sayang, dan patuh pada orang tua ketabahan, berkemauan keras, jujur, terampil, dan sikap waspada. Kelebihan penyampaian nilai budaya dalam kaba ini sangat halus dengan bahasa yang indah dan terkadang melalui pantun-pantun.

A. Pendahuluan

Sastra lisan Minangkabau merupakan salah satu warisan budaya nasional yang memiliki nilai-nilai berharga yang masih berperan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau (Bakar, 1979). Namun, gejala menurunnya peranan itu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dewasa ini tidak dapat dielakkan lagi. Apabila keadaan ini dibiarkan terus-menerus maka suatu saat sastra lisan Minangkabau akan lenyap dan mayarakat tidak akan mengenalnya lagi. Dengan demikian, berarti nilai-nilai berharga yang ada dalam sastra lisan itu lenyap dan tidak dapat dikembangkan untuk dimanfaatkan bagi kehidupan mendatang. Mengatasi masalah di atas, sejak tahun 1970-an sampai sekarang telah dilakukan pengiventarisan dan pendokumentasian serta penelitian , sastra lisan tersebut oleh para peneliti terutama dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan perguruan tinggi di Sumatera Barat. Banyak ragam bentuk yang termasuk sastra lisan Minangkabau yang telah didokumentasikan, salah satunya adalah kaba. Dalam kedudukannya sebagai sastra daerah, kaba daerah Sumatera Barat mencerminkan suatu nilai budaya yang dianut atau yang diemban oleh pendukung susastra daerah tersebut. Nilai-nilai itu perlu diangkat ke “permukaan” agar maknanya dapat diserap oleh sebagian besar masyarakat. Pengangkatan nilai-nilai budaya dalam sastra itu bermaksud memperlihatkan kepada masyarakat bahwa susastra tidak semata-mata berisi khayalan. Upaya seperti itu dapat memupuk sikap positif masyarakat terhadap susastra.
Sudah umum diketahui bahwa dalam karya sastra itu tergambar jati diri (identitas) bangsa. Salah satu hal penting dari jati diri itu adalah nilai-nilai budaya bangsa itu. Koentjaraningrat (1984) menyatakan bahwa nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkopsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya dikatakannya, suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma semuanya juga berpedoman pada sistem nilai budaya itu.
Nilai budaya bangsa itu umumnya terdapat dalam karya sastra (Pradopo,1995). Permasalahan mendasar dalam kehidupan budaya adalah konflik-konflik yang timbul akibat interaksi-interaksi dalam hubungan budaya. Ada pun hubungan nilai budaya itu adalah (a) hubungan manusia dengan pencipta yang terdiri atas ketakwaan, suka berdoa, dan berserah diri, (b) hubungan manusia dengan alam, yang terdiri atas meyerah pada ketentuan, menguasai alam, mencari keselarasan, pengaturan dan pemanfataan daya alam,(c) hubungan manusia dengan masyarakat, yang terdiri atas musyawarah, gotong royong, cinta tanah air, kepatuhan pada orang tua, (d) hubungan manusia dengan manusia lain, terdiri atas keramahan, penyantun, kasih sayang, kesetiaan, menepati janji, keikhlasan, suka memaafkan dan (e) hubungan manusia dengan dengan dirinya sendiri, yang terdiri atas menuntut ilmu, bkerja keras, tahan menderita, hemat, kerendahan hati, kejujuran, menuntut harga diri (Djamaris, 1993).
Penelitian terhadap kaba Minangkabau belum banyak dilakukan (Djamaris, 2004). Penelitian ini bertujuan mengungkapkan makna karya sastra melalui pengungkapan singkatan isi cerita, tema, amanat, dan analisis nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita. Pengungkapan semua itu saling terkait untuk menjelaskan makna karya sastra. Di dalam tema dan amanat tercermin tujuan penulisan cerita sedangkan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra digunakan sebagai alat pendukung tema dan amanat cerita. Sesuai dengan tujuan tulisan ini, metode yang digunakan dalam analisis adalah metode deskriptif. Tema, amanat, dan nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra itu dipaparkan sebagaimana adanya dalam teks cerita dan didukung dengan kutipan teks cerita untuk meyakinkan kebenaran pernyataan nilai budaya yang dimaksudkan.

B. Nilai-Nilai Budaya Kaba Gadih Basanai
1. Ringkasan Cerita Kaba Gadih Basanai
Gadih Basanai adalah seorang gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara di rumah besar peninggalan orang tuanya di kampung Lengang Sunyi. Kepergian kedua orang tuanya ke alam baqa menjadikan gadis ini hidup tak menentu, menangis, bermenung. Peristiwa itu disampaikan orang kepada mamaknya, Sutan Sabirullah, dan ia menjeput Gadih Basanai. Gadih Basanai terasa berat meninggalkan rumahnya namun ia tetap ikut mamaknya. Sejak itu Gadih Basanai tinggal bersama mamaknya itu beserta istrinya dan seorang anak mamaknya yang masih sebaya dengannya. Kisah Gadih Basanai berlanjut dengan anak mamaknya yaitu Sutan Ali Amat yang ingin dijodohkan oleh orang tuanya. Gadih Basanai setuju dengan rencana itu tapi Sutan Ali Amat penuh keraguan walaupun sebenarnya ia suka. Ia ragu karena Sutan Yang Berenam juga suka dengan Gadih Basanai dan jika mereka kawin tentu Sutan Yang Berenam tidak tinggal diam. Kemudian Sutan Ali Mamat menerima juga karena ia memang kena hati dan juga hormat dengan orangtuanya. Untuk itu, ia berjanji tujuh hari dan ia selama itu bertapa di Gunung Ledang. Hasil bertapa ia beroleh sebuah cermin, bedak, minyak rambut, dan sisir yang sudah dimantrai. Dengan perolehannya itu ia tidak segera menikahi Gadih Basanai tapi ia minta tambah janji satu bulan lagi untuk pergi ke Pulau Pagai. Sebelum berangkat ia menyimpan hasil pertapanya di bubungan rumah dan berpesan pada ibunya agar Gadih Basanai jangan memakai semua benda berbahaya itu. Ketika istri mamaknya tak di rumah Gadih Basanai mengambil benda itu dan memakainya agar tambah cantik. Tapi malang benda itu membuat sekujur badannya menjadi sakit dan membuat hatinya sangat rindu sehingga ia berguling-guling kesakitan. Akhir dari sakitnya Gadih Basanai wafat dan di kuburkan di Gunung Ledang oleh Sutan Yang Berenam sesuai pesannya sebelum wafat.
Di Pulau Pagai Sutan Ali Mamat mendapat firasat dan bermimpi tentang itu dan ia segera pulang mengajak ayahnya. Di lepau tak jauh dari rumahnya ia mendengar kabar kematian Gadih Basanai. Namun, ia tidak menyesali siapa-siapa. Kemudian untuk mendapatkan Gadih Basanai ia mencari air hubungan nyawa dengan perjuangan yang sulit. Dengan air itu dengan izin Allah Gadih Basanai hidup kembali. Lalu mereka sepakat merantau dan dalam pengembaraan itu ia menikah. Dalam pengembaraan itu juga ia ditimpa banjir besar dan mereka terbawa arus dengan tetap berpegangan. Akhirnya ia terdampar ke Pulau Kasiak dan mereka tinggal di sana.
2. Inti Cerita Kaba Gadih Basanai
Gadih Basanai ditinggal mati kedua orang tuanya dan hidup merena seorang diri. Lalu ia di bawa mamaknya dengan rasa berat meninggalkan kampungnya. Di rumah mamaknya ia dijodohkan dengan Sutan Ali Mamat. Gadih Basanai setuju, sedangkan Sutan Ali Mamat ragu karena Gadih Basana sudah terkenal dekat dengan Sutan Yang Berenam. Karena suka dan memenuhi permintaan orang tuanya Sutan Ali Mamat menerima Gadih Basanai tapi ia berjanji untuk bertapa ke Gunung Ledang dan pergi Ke Pulau Pagai. Hasil bertapa ia memperoleh alat-alat kecantikan yang bermantra yang tidak boleh dipakai tanpa seizinnya. Namun, tanpa setahunya gadih Basanai memakai benda itu dan ia jatuh sakit dan meninggal. Di dorong rasa cinta Sutan Ali Mamat mencari obat untuk menghidupkan Gadih Basanai dengan susah payah dan akhirnya ia berhasil. Gadih Basanai hidup kembali dan mereka pergi mengembara dan menikah serta tinggal di Pulau Kasiak.
3. Tema Cerita Kaba Gadih Basanai
Tema kaba ini adalah orang yang berkemauan keras akan berhasil mencapai cita-citanya.
Amanat Cerita Kaba Gadih Basanai
Hendaklah dalam hidup berkemauan dan berusaha keras dalam mencapai yang dicita-citakan dan jangan ceroboh terhadap benda-benda yang belum diketahui penggunaannya karena dapat berakibat fatal.
4. Nilai-Nilai Budaya dalam Kaba Gadih Basanai
Dalam Kaba Gadih basanai ini ditemukan nilai-nilai budaya manusia yang berhubungan Tuhan, alam, masyarakat, orang lain, dan dengan diri sendiri. Di bawah ini di bahas nilai-nilai budaya yang terdapat dalam kaba Gadih Basanai.

a. Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan
Dalam kaba Gadih Basanai nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang menonjol adalah penyerahan diri dan berdoa kepada Allah. Tokoh cerita Sutan Ali Amat dalam beberapa kegiatannya selalu menyerahkan diri dan meminta pertolongan kepada Allah dengan berdoa. Hal itu di antaranya dilakukannya ketika ia bertapa di Gunung Ledang. Kutipan berikut adalah buktinya:
Patang bajawek jo sanjo sinan bakaua si Ali Amat. Nyo baka kumayan putiah, asok mandulang ka udaro. Lah ujamkan lutuik nan duo, nyo susun jari nan sapuluh, nyo takuakan kapalo nan satu, lah sujuik Ali ka kabilaik sinan bakau si Ali Mamat. “Barakaiak Allah, waliullah, barakaik Makkah Madinah, barakaik kiramaik gunung Ledang, bakeh mamintak nan ka buliah, bakeh bakua rang nan banyak. Bakaua ka tampat Nabi, bana bakinco jo nan bukan.(KGB)

Terjemahannya:
Petang bersambut dengan senja, ketika itu berdoa si Ali Amat. Dia bakar kemenyan putih, asap menjulang ke udara. Dia simpuhkan lutut yang dua, dia susun jari yang sepuluh, dia tekurkan kepala yang satu, sujut Ali ke kiblat, saat itu Ali Amat berdoa. “Berkat Allah, Waliullah, berkat Mekah Medinah, berkat keramat Gunung Ledang, mohon beroleh permintaan, bagi doa orang yang banyak,doa ketempat nabi, agar jelas benar dengan yang salah.

Doa yang sama diucapkan Ali ketika ia naik perahu, ketika hendak pergi ke Pulau Pagai perahunya tidak bisa berjalan karena tidak ada angin kemudian Ali bermohon supaya di datangkan angin oleh Tuhan. Selesai berdoa angin pun datang dengan kencang dan perahunya berlayar dengan kencang. Begitu juga ketika Ali mau pulang dari Pulau Pagai, Ali juga berdoa dengan doa sama meminta angin supaya perahunya berjalan dengan lancar. Doa yang sama juga dibaca Ali ketika dalam perjalanan dengan Gadih Basanai mohon didatangkan buya dari gunung dan lebai dari laut minta untuk mengawinkan mereka. Doa Ali juga dikabulkan oleh Allah. Cara berdoa seperti Ali ini juga dilakukan Gaek dalam memanggil burung burak yang akan dipinjamkan kepada Ali untuk pergi kelangit.
Dalam kaba ini semua doa yang diajukan Ali kepada Allah selalu dikabulkan. Hal ini mengambarkan betapa dalam hidup seseorang harus selalu minta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, sebab tidak semua masalah dapat dicarikan jalan keluarnya dengan berpikir dan berusaha. Keberhasilan doa Ali dimungkinkan dengan dua kondisi yang nyata yaitu, keterpaksaan dan keputusasaan pada diri. Di saat Ali tidak memiliki daya upaya dan suasana mendesak (terpaksa) disaat itu lah ia bermohon kepada Allah. Selain itu, Ali dalam berdoa memiliki tatacara (prosesi) yang mempunyai kekhasan dan merendahkan diri secara total seperti dalam kutipan di atas.

b. Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Alam
Manusia memanfaatkan alam (tanah, air, hutan, hewan) sebagai salah satu sumber kehidupan. Dalam kaba Gadih Basanai ini alam dimanfaatkan manusia untuk bertani. Tokoh Sutan Sabirullah adalah seorang petani yang memfaatkan alam sebagai sumber kehidupan, di samping itu ia juga menghiasi halaman rumahnya dengan berbagai tanaman hias. Keadaan yang demikian dapat diketahui dari kutipan berikut.
Kok untuang rang tuo dalam kabun, tasabuik Sutan Sabirullah, tasirok darah di dado, tagampa darah di muko, pangkua di tangan alah lapeh…(KGB)
Terjemahannya:
Jika nasib orang tua di kebun, bernama Sutan Sabirullah, terserap darah di dada, tergempar darah di muka, cangkul di tangan sudah lepas…
Kutipan lainnya yaitu;
Apo tandonyo rumah mamak, pudiang ameh babedeang naik, pudiang geni babedeng ilia, sugi-sugi batimba jalan, itulah tando rumah m
amak.. (KGB)
Terjemahannya:
Apa tandanya rumah mamak, pudding emas berbedeng naik, pudding geni berbedeng ilir, sugi-sugi balik timbale jalan, itulah tanda rumah mamak.

Dalam kaba ini dikisahkan bahwa orang dahulu biasa berjalan kaki dari kampung ke kampung lainnya. Adakalanya kampung yang satu dengan lainnya itu dibatasi oleh hutan yang luas. Karena itu dalam mengembara itu mereka sudah biasa bermalam di hutan. Ada kalanya tempat yang ditempuh diceritakan di langit yaitu ketika Sutan Ali Amat mencari obat untuk penyambung nyawa Gadih Basanai maka tokoh cerita memanfaatkan burung burak untuk mencapai tempat tersebut. Dalam hal ini nampak bahwa orang-orang dalam cerita ini memanfaatkan alam dalam mencapai maksud dan harapannya. Dalam cerita ini bumi dan langit adalah satu kesatuan yang penduduknya bisa saling mngunjungi, saling tolong menolong, dan dapat pula menjalin hubungan kemakhlukan. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut:
“Tolong awak sakali ko nak manyalang buruang burak Gaek, aden ka pai ka ateh langik ka rumah Puti Taruih Mato, mamintak aia hubungan nyawo, ka pahubungan nyawo Gadih Basanai”

“Ali naiak burak lah tabang, tabang mambubuang ka udaro. Panek malayok ka malayang kok jauah bana hampia tibolah kina, tibolah burak di ateh langik, tibo di rumah Puti Taruih Mato” (KGB)
Terjemahannya:
“Tolong bantu saya untuk dipinjami burung burak Gaek, saya mau pergi ke langit ke rumah Puti Taruih Mato, meminta air hubungan nyawa, untuk penghubungan nyawa Gadis Basanai”.
“Ali naik dan burak pun terbang, terbang membumbung ke udara. Lama melayang-melayang akhirnya tempat yang jauh sekarang sudah hampir sampai. Tibalah burak di atas langit, tiba di rumah Puti Taruih Mato.”

Bagi Ali alam adalah sahabat yang dapat digunakan dalam mencapai maksud dengan pertolongan Allah. Ketika berlayar Ali menyeru angin untuk menolak perahunya. Ketika ia mengembara dengan Gadis Basanai lalu minta kepada Tuhan supaya hujan dilebatkan supaya terjadi banjir. Dengan banjir itu Ali dan Gadis Basanai hanyut sambil berpegangan ke Pulau Kasiak. Berikut kutipannya.

Ya Allah Tuhanku, kok buliah pinta jo pinto, tolong gadangkan aia sungai nangko, hujankan hari labek-labek. … Hujanlah hari labek-labek gadanglah aia sungai nantun, hanyuiklah batang binuang sati, lah bacodang ka hilia kaduonyo (KGB).
Terjemahan:
“Ya Allah Tuhanku, jika boleh meminta, tolong besarkan air sungai ini, hujankan hari lebat-lebat… Hujanlah hari lebat sekali, besarlah air sungai itu, hanyutlah batang binuang sakti, lah berpegangan keduanya menuju hilir.”

c. Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat
Dalam masyarakat yang demokratis dan mementingkan persatuan terlihat sekali peranan manusianya untuk kebersamaan. Segala masalah menjadi masalah bersama dan diselesaikan secara bersama. Dalam masyarakat seperti itu ditemukan nilai-nilai budaya yang dianggap baik dan ideal. Dalam kaba Gadih Basanai ini terdapat nilai-nilai yang menunjukkan hubungan manusia dengan masyarakat seperti, musyawarah, tolong-menolong, kepatuhan pada adat, dan cinta tanah air.

1) Nilai-nilai musyawarah
Nilai musyawarah dalam kaba ini terdapat pada beberapa peristiwa di antaranya, ketika Gadih Basanai hendak pergi ke Koto Tinggi karena dijemput mamaknya Sutan Sabirullah. Mamaknya menjelaskan maksudnya untuk apa Gadih Basanai dibawa ke rumahnya. Sebenarnya Gadih Basanai amat berat meninggalkan kampungnya dengan segala kenangannya. Namun, setelah bermusyawarah dia akhirnya mengikuti pendapat mamaknya pergi ke Koto Tinggi. Berikut kutipan yang menunjukkan peritiwa tersebut.
O piak Gadih Basanai, apo ka tenggang bicaro kau. Kaulah tingga samo sorang, lah tingga jo rumah gadang, jo siapo lawan baiyo, tatumbuak didiri sorang. Kan Mamak jauah di rantau urang, diam di Koto Katinggian, kok den tinggakan kau sorang tantu hati tak kasanang. Kini co itulah dek gadih, barisuak pagi kito barangkek ka koto Katinggian. Kau den sangko anak kanduang dari dunia sampai akhiraik”(KGB).
Terjehannya:
“O Upik Gadis Basanai, apa yang menjadi pertimbanganmu. Kamu sudah tinggal seorang diri, tinggal di rumah besar, dengan siapa untuk beriya, semua terpulang ke diri sendiri. Mamak jauh di rantau orang, tinggal di Koto Katinggian, kalau saya tinggalkan kamu sendiri tentu hatiku tida senang. Sekarang ini beginilah, besok pagi kita berangkat ke Koto Ketinggian. Kamu sudah saya anggap anak kandung dari dunia sampai di akhirat.”

Nilai musyawarah juga dilakukan ketika istri Sutan Sabirullah menanya pendapat suaminya tentang perjodohan Ali dengan Gadih Basanai. Juga, ketika Gadih Basana ditanya orang tua Ali tentang pendapatnya dijodohkan dengan Ali. Seterusnya, di kala ibu Ali menanyakan pendapat Ali akan dijodohkan dengan Gadih Basanai. Sejatinya Ali sangat cinta tapi ia keberatan menerima tawaran orang tuanya itu karena Gadih Basanai sudah diminta orang lain untuk jadi istrinya yaitu Sutan yang Berenam. Namun setelah bermusyawarah Ali akhirnya menerima dengan meminta janji untuk tujuh hari untuk bertapa di Gunung Ledang. Kemudian ditambah tiga puluh hari untuk pergi ke Pulau Pagai. Semua itu dalam rangka pertimbangan dalam mengambil kepeutusan yang mantap dalam dirinya.
Dalam cerita ini hampir setiap aktivitas yang menyangkut dua belah selalu dimusyawarahkan sehingga dalam kehidupan mereka tidak ada selang sengketa antara individu. Baik antara anak dengan orang tua, suami istri, dan mamak dengan keponakkanya, serta dengan masyarakat lainnya. Kehidupan yang tentram dalam kaba ini erat kaitannya dengan nilai musyawarah dalam kehidupan mereka.
2) Nilai budaya cinta tanah air.
Dalam kaba ini tokoh Gadih Basanai adalah sosok yang sangat senang atau cinta dengan kampungnya. Ia tidak bisa melupakan pengalaman dan kenangannya terhadap hari-hari telah dilaluinya bersama ayah dan ibunya di kampungnya itu. Ia juga cinta akan rumahnya tempat permandiannya dan orang-orang yang pernah menempati kenangan indah pada dirinya. Oleh karena itu, ketika ia diajak mamaknya begitu berat hatinya meninggalkan kampungnya itu. Namun karena ia hidup dan tinggal sebatang kara di kampung itu akhirnya kampong itu ia tinggalkan juga atas desakkan mamaknya. Setelah di rumah mamaknya pun ia masih sering mengingat kampongnya. Berikut kutipan ketika gadih Basanai dialog dengan mamaknya,
“Kalau itu Piak nan barusuahkan, rumah di siko batinggakan, rumah di sinan batapati. Kok indak adao nan kamauni, bialah lapuak sandirinyo. Lalu Menjawab Gadih Basanai,
Sikotak namo nak rang gunuang
bacincin tigo dijari
Sajak indak bamandeh kandung
Bacarai panjang jo nagari

Sajaklah ilang kain saruang
Pandan manjadi gamulai
Sajaklah mati mandeh kanduang
Ka carai awak jo nagari(KGB)

Terjemahannya:
“Kalau itu Pik yang dirisaukan, rumah di sini ditinggalkan, rumah di sana ditempati. Kalau tidak ada oaring mau menghuni biarlah lapuk dengan sendirinya. Kemudian menjawab Gadih Basanai

Si kotak nama anak orang gunung
Bercincin tiga di jari
Sejak tidak berorang tua kandung
Bercerai panjang dengan nagari

Sejak hilang kain sarung
Pandan menjadi gemulai
Sajaklah mati mande kandung
Kan bercerai badan dengan nagari.

3) Nilai kepatuhan pada adat.
Nilai adat adalah peraturan dan norma-norma hidup orang dalam melalui kehidupan agar aktivitasnya menjadi selamat dan tidak membawa kesia-siaan. Dalam kaba ini kepatuhan terhadap nilai-nilai adat tergambar sejak awal cerita sampai akhir cerita. Nilai-nilai itu dapat digali pada perlakuan Sutan Sabirullah yang tidak senang meninggalkan Gadih Basanai sebagai keponak-kannya seorang diri setelah kematian kedua orang tuanya. Setelah mendapat kabar Gadih Basanai hidup seorang diri dengan nestapa maka ia menjemputnya walaupun ia berjalan kaki dari tempat yang jauh dan bermalam di hutan. Bagi Sutan keponakkannya itu sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Ini sesuai sekali dengan pepatah adat “anak dipangku kemenakan dibimbing”.
Ketuguhan pada adat juga dipegang oleh Ali. Ketika ia sudah selesai mengobati Gadih Basanai maka gadis itu hidup kembali. Kemudian mereka sepakat hidup suami-istri. Untuk itu, mereka tidak langsung saja bergaul walaupun di hutan itu tak ada orang lain. Tapi Ali malah berdoa kepada Allah agar didatang orang akan mengawinkan mereka. Berikut kutipan cerita tersebut.
“Bakatolah Sutan Ali Amat , “Kok iyo namuah gadih babaliak, kok kito ka marantau panjang, eloklah kawin kito di siko. Dapek hetongan nan sasuai mako bakaua lah si Ali Amat , …. Barakaik Allah, waliullah, barakaik Makah Madinah, barakaik kiramaik Gunung Ledang, tampek mamintak nan ka buliah, datangkan haji dari Makkah, turunkan buya dari gunung, tibokan labai dari lauik, tolong kawinkan kami di siko”. (KGB)
Terjehannnya:
Berkata Sutan Ali Amat, kalau gadis mau berbalik kita merantau jauh, dan baiklah kita kawin di sini. Dapat pendapat yang sesuai maka berdoalah Si Ali Amat, berkat Allah, Waliullah, berkat Mekah Medinah, berkat keramat Gunung Ledang, mohon beroleh permintaan
Datangkan haji dari Makkah, turunkan buya dari gunung, tibakan lebai dari laut, tolong kawinkan kami di sini.”

Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Manusia lain
Manusia dalam kehidupan tidak terlepas dari orang lain. Manusia selalu berhubungan dengan manusia lain sejak ia dilahirkan sampai ia kembali kepada Tuhannya. Untuk itu manusia dengan manusia lainnya memerlukan budaya yang positif untuk kemaslahatan hidupan antar sesama itu. Nilai-nilai positif itu adalah saling menolong, sopan santun, saling berlaku setia, dan menghindari perselisihan.
Dalam kaba Gadih Basanai ini terdapat nilai saling menolong, keramahan, kerukunan, memaafkan, kasih sayang, dan kepatuhan kepada orang tua.

4) Nilai budaya tolong-menolong
Dalam Kaba Gadih Basanai ini terdapat peristiwa menolong orang lain dengan dua modus. Pertama, pertolongan yang dilakukan tokoh cerita karena dorongan hati semata. Pertolongan diberikan karena tokoh cerita tidak tega melihat penderitaan yang dialami orang lain. Bentuk pertolongan seperti itu terdapat pada peristiwa Gadih Basanai dalam keadaan murung, berduka, menyepi, meratap dan mengurung diri. Pada saat serperti itulah tokoh pengembara (dagang) tak sengaja lewat di depan rumah Gadih Basanai. Tokoh kasihan mendengar ratapan Gadih Basanai dan sangat ingin menolong. Untuk itu, tokoh menanyakan masalah itu kepada orang menumbuk padi dan ia menceritakan bahwa demikian itu ialah Gadis Basanai yang sudah kehilangan kedua orang tuanya dan hidup sebatang kara. Penumbuk padi juga mengasih tahu dan berpesan bahwa Gadih Basanai mempunyai mamak Sutan Sabirullah namun ia tinggal di rantau yaitu di Koto Katinggian dan kalau sampai di sana tolong disamapaikan informasi ini kepada mamaknya. Atas informasi itulah tokoh pengembara mencari mamak Gadih Basanai di Koto Katinggian yang begitu jauh untuk menyapaikan keadaan gadis tersebut. Pertolongan yang diberikan tokoh pengembara merupakan pertolongan yang ikhlas. Berikut kutipan penyampaian pesan oleh tokoh pengembara.
“Manjawek dagang rang mularaik, “ Iyo Angku nan bagala Sutan Sabirullah, hambo mambao pasan urang, iyom di korong Langang Sunyi. Takalo dulu mamak kabajalan, mamak kan bakanakan banamo Gadih Basanai. Kok untuang Gadih Basanai sudah mularaik kato urang, ibu indak ba bapak indak namun gaek lah mati pulo, lah tingga kini samo surang karajo indak jaleh siang malam. (KGB)

Terjemahannya:
“Menjawab pengembara, Apakah benar Paman yang bergelar Sutan Sabirullah. Saya membawa pesan orang dari kampong Langang Sunyi. Dulu ketika Mamak akan merantau, Mamak kan mempunyai seorang kemenakan bernama Gadis Basanai. Sekarang Gadih Basanai sangat menderita kata orang. Beribu tidak ada dan bapak juga telah tiada, kakek neneknya juga sudah meninggal. Sekarang ia tinggal sebatang kara dengan kondisi yang menentu siang dan malam”.

Bentuk pertolongan yang lain adalah pertolongan karena orang lain minta bantuan. Ada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan terjadinya pertolongan tersebut. Di antara peristiwa itu adalah Sutan Yang Berenam menolong menguburkan Gadih Basanai atas permintaan istri Sutan Sabirullah. Kemudian, peristiwa Ali Amat meminjam burung burak pada urang tua yang tinggal di hulu sungai. Selanjutnya, bantuan Puti Taruih Mato kepada Ali untuk mendapatkan air hubungan nyawa. Dalam kaba ini hampir semua tokoh diberi peran memberikan pertolongan antarsesama. Bahkan ketika Ali kalut pun ada pertolongan dari suara gaib yang memberikan arah petunjuk kepadanya. Jadi, dalam hal ini pertolongan terjadi antara semua makhluk.

5) Nilai budaya kerukunan dan kasih sayang
Dalam kaba Gadih Basanai nilai budaya kerunan nampak pada kehidupan Sutan Sabirullah dengan keluarganya yaitu istrinya dan anaknya Sutan Ali Amat. Bahkan setelah Gadih Basanai tinggal dengan mamaknya kerukunan juga tetap terjaga. Kerunan yang tercipta dalam keluarga itu tidak terlepas dari kasih sayang antar anggota keluarga. Mereka saling memperhatikan dan bahasa yang mereka gunakan sangat mengambarkan kehalusan kepribadian masing-masing tokoh cerita yang salah satunya dengan tradisi pantun. Berikut kutipan pantun Gadis Basanai.
Ayam banamo ambun sori
Tapauik di puncak gobah
Padati rang elo juo
Bedo bana kasih tak sampai
Co bungo pamaluik deta
Lalu mati marindu juo(KGB)


Terjemahannya:
Ayam bernama ambun sori
Terpaut di puncak gobah
Pedati urang tarik jua
Kasihan amat kasih tak sampai
Bak bunga pengarang kepala
Lalu mati merindu jua

6) Nilai Budaya Memaafkan
Memaafkan orang lain adalah suatu perbuatan yang terpuji karena hal itu dapat menciptakan kedamaian hidup baik bagi yang memberi maaf maupun bagi yang diberi maaf. Salah satu dasar orang mau memberi maaf adalah karena tidak ada gunanya mendendam. Terkadang kesalahan seseorang yang merugikan orang lainnya tidak terlepas dari kelalaian kita. Dalam kaba ini sikap memaafkan terlihat pada tokoh Ali kepada ibunya dan Gadih Basanai yang tidak mengindahkan pesannya sehingga Gadih Basanai menderita sakit yang sangat fatal. Malah yang meminta maaf di sini adalah Ali. Berikut kutipannya.
“Manangih mandeh tangah malam, nyo lamun-lamun anak kanduang, bakato si Ali Amat “usah mandeh maratok juo, kini co itulah dek mandeh, lapehlah jariah payah Mande, relakan nasi nan tamakan, jan dibari ambo badoso, dari dunia sampai akhirat. (KGB)

Terjemahannya:
“Menangis Bunda tengah malam, ia rangkul-rangkul anak kandung. Berkata si Ali Amat, “usah Bunda meratap jua, sekarang lepaslah jerih payah Bunda, relakan nasi yang termakan, jangan beri hamba berdosa dari dunia sampai akhirat.

7) Nilai Budaya Kepatuhan kepada Orang Tua.
Dalam kaba ini nilai kepatuhan kepada orang tua terlihat dari pribadi Ali. Walaupun, ia anak semata wayang namun ia tidak manja dalam menjalani hidup. Ia adalah anak yang suka dengan pergaulan yang sama besar namun ketika ibunya memanggilnya ia tetap menuruti ibunya. Begitu juga ketika iqa dijodohkan dengan Gadih Basanai ia pun menuruti kehendak kedua orang tuanya. Berikut kutipannya.
Manjawab si Ali Amat, “Kalau kawin kato made kawin malah kato Ali. Cuma saketek nan katoan , minta janji Ali tujuah ari (KGB)

Terjehannya:
Menjawab si Ali Amat, “kalau kawin permintaan Bunda tentu Ali kawin”. Cuma Ali minta diberi janji tujuh hari.

d. Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri

Manusia adalah makhluk individual yang sekaligus sebagai makhluk social. Manusia sebagai makhluk pribadi mempunyai hal untuk menetukan pandangan hidup, sikap, dan prilakunya yang membedakannya dengan pribadi lainnya sesuai dengan cita-citanya, kebutuhannya, dan emosinya. Dalam kehidupan makhluk pribadi dihadapkan pada pilihan untuk mementingkan diri atau memilih mementing keperluan orang lain. Pilihan yang diberikan individu tersebut sangat tergantung pada pengendalian diri.
Di dalam kaba Gadih Basanai ini terdapat nilai-nilai budaya yang berhungan dengan diri sendiri. Di antara nilai itu adalah kesabaran atau ketabahan, berkemauan dan bekerja keras, kejujuran, dan terampil, serta kewaspadaan.

1) Nilai ketabahan
Nilai ketabahan dalam kaba ini ditunjukkan oleh tokoh Gadih Basanai dalam ketika kedua orang tua nya meninggal dunia. Ia tinggal seorang diri dengan meratap dan menangis namun ia tetap mengharapkan ada orang akan dapat membantunya. Ia tidak putus asa ketika itu dan ternyata ratapannya menarik perhatian pengembara yang kemudian menolongnya dengan cara menyampaikan hal itu kepada mamaknya. Namun, ketika ia ditinggal Ali Amat ia kehilangan kesabaran sehingga ia berani melanggar pesan istri mamaknya untuk memakai perlengkapan perhisan yang berisi guna-guna tanpa seizin orang tua itu. Hal itu membuatnya menderita sakit dan berkesesudahan dengan kematian. Berikut kutipan yang menunjukkan hal itu.
“Dek lamo bamanuang di tapi pintu, habih hari baganti hari, lah sampai tigo hari, indak ado dagang nan lalu. Bakato gadih samo sorang “pado den duduak ateh pintu elok den turun kaateh janjang, bapantun jo baibaraik.
Tijak tinjauan rang di kasai
Paaninjau biduak rang bilalu
Maimbau gadih sayuik sampai
Ka bapasan dagang tak lalu (KGB)

Terjemahannya:
Sudah lama bermenung di pintu, habis berganti hari, sampai tiga hari, tidak ada orang yang lewat. Berkata gadis seorang diri “Daripada saya di ateh pintu baiklah turun ke atas jenjang, sambil berpantun dan beribarat.
Tinjau-meninjau orang di kasai
Paninjau perahu lewat
Memanggil gadis sayup sampai
Mau berpesan orang tak lewat


2) Nilai berkemauan keras
Nilai budaya berkemauan keras adalah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan usaha. Orang yang berkemauan keras merupakan orang dapat berhasil dalam mencapai apa yang dicita-citakan. Dalam kaba yang dibahas ini tokoh yang mempunyai kemauan keras adalah Sutan Ali Amat. Hal itu telah tampak sejak Ali diminta oleh orang tuanya untuk dijodohkan dengan Gadih Basanai. Demi mencari ketetapan hatinya ia pergi bertapa ke Gunung Ledang tujuh hari dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Pagai. Ketika ia bermimpi tidak baik tentang Gadis Basanai iapun pulang dari Pulau Pagai. Setelah sampai di barulah diketahuinya Gadih Basanai telah tiada dan dikubur Gunung Ledang. Ia pergi kesana dengan sedih. Dalam kegundahannya itu ia dapat petunjuk darin suara gaib untuk mencari obat berupa air penyambung nyawa yang ada di rumah Puti Taruih mato di langit. Untuk pergi kesana ia harus menempuh jalan yang jauh dan harus meminjam burung burak pak tua di hulu gunung. Dengan burak itu ia pergi kelangit. Sampai di sana ia harus berjuang pula mensiasati Puti Taruih mato untuk mendapat obat itu. Dengan segala kesabaran dan kemauannya yang keras akhirnya Puti Taruih Mato memberikan obat itu. Dengan obat itu seizing Allah Gadih Basanai hidup kembali.
Keberhasilan Ali memperoleh Gadis Basanai sebagai orang dicintainya memang penuh perjuangan yang membutuhkan kemauan dan kerja keras. Setelah ia kawin dengan Gadis Basanai, Ali masih berjuang keras mengembara dengan Gadis Basanai mencari negeri lain untuk merantau demi terhindar dari Sutan Yang Berenam. Dalam hal itu baik Ali maupun Basanai adalah orang yang berprinsip tidak mau gaduh dengan orang lain. Kedua muda itu dengan kemauan keras pergi merantau.
“Kok untuang Gadih Basanai, duo jo Sutan Ali Amat, sadang dipuncak Gunung Ledang, barangkek marantau panjang, lah turuni bukik. Dek lah lamo bajalan lah tibo inyo di lurah gunung, tatapek kaanak sungai. Lah nyo mudiak ka anak sungai nantun, bajalan inyo baduo, tak jaleh nagari kadituju, indak tantu kampong kadituruik, di mano litak lah baranti, dimano patang di sinan bamalam. (KGB)

Terjemahan:
“Agaknya nasib Gadis Basanai berdua dengan Sutan Ali Amat, sedang di puncak Gunung Ledang. Berangkat merantau jauh, menerunui bukit. Sudah lama berjalan tibalah mereka di lurah gunung tepatnya ke anak sungai. Sudah lama ke mudik anak sungai itu, lama ia berjalan, tidak jelas negeri yang dituju, tidak tahu kampong yang dituju, dimana letih di sana berhenti, dimana petang di sana bermalam.

3) Nilai budaya jujur dan terampil
Dalam kaba Gadih Basanai tidak didapati tokoh cerita berkarakter jahat. Semua tokoh dilukiskan sebagai orang baik. Sikap jujur dan terampil merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh tokoh cerita. Sikap terampil nampak ketika Gadih Basanai di waktu memasak dan pergi mandi ke tepian. Begitu juga sikap terampil ditunjukkan Ali dalam berperahu dan mengendarai burung burak ke langit. Juga cekatan dimiliki Kambang Manih kawan Ali Amat. Berikut kutipan yang melukiskan hal itu.
“Agaklah Kambang Manih, nan capek kaki ringan tangan, balun disuruh alah pai, balun diimbai nyo lah datang” (KGB)
Terjemahannya:
Ingatlah Kambang Manih, yang cepat kaki ringan tangan, belum disuruh sudah pergi, belum dipanggil dia sudah datang .

Nilai Budaya Waspada dan Merenung
Dalam kaba Gadih Basanai sikap waspada dilukiskan pencerita pada tokoh Ali Amat dan Gadih Basanai. Ali sangat penuh pertimbangan dalam menerima Gadis Basanai sebagai istri yang ditawarkan ibunya. Begitu juga halnya dengan Gadis Basanai. Berikut kutipannya.

“Manjawek Mandeh si Ali, O nak kandung si Ali Amat kanapo bajanji tujuah hari?”
Manjawek si Ali Amat, O mandeh kanduang dangakan malah, sariang kulindan dek baideh, putuih kato dek bainok, adaik pikia palito hati.
Terjemahannya;
“Menjawab Ibu si Ali, hai anak kandung mengapa berjanji tujuh hari?’
“Menjawab si Ali Amat, wahai bunda kandung, padatnya kulindan karena diputar, keputusan kata karena dipikiri, adat berpikir pelita hati.

Kutipan tentang Gadih Basanai sebagai berikut.

Bakato Gadih Basanai:
Ilia-iliakan mangko mandi
Jan manyasah di tapian
Sarung sakin di ateh dalamak
Inok pikia dulu manko jadi
Jan manyasa kamudian
Gadis misikin di nan banyak
Terjemahan:
Ke hilir-hilir tempat mandi
Jangan mencuci di tepian
Sarung sakin di atas delamak
Dipikir dulu makanya jadi
Jangan menyesal kemudian
Gadis miskin banyak kurangnya

C. Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis terhadap nilai-nilai budaya yang terdapat dalam kaba Gadih Basanai ternyata cerita ini mengandung nilai budaya berkaitan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat, orang lain, serta dengan diri sendiri. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang menonjol adalah nilai budaya berserah diri dan berdoa kepada Allah. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam yang menonjol adalah manusia mengelola alam dan selaras dengan alam untuk dimanfaatkan dalam meraih harapan. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yang menonjol adalah bermusywarah, cinta tanah air dan patuh pada adat. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain yang menonjol adalah budaya tolong menolong, ramah, kasih sayang, dan patuh pada orang tua. Nilai budaya dalam hubungan manusia denga diri sendiri yang menonjol adalah ketabahan, berkemauan keras, jujur, terampil, dan sikap waspada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kaba Gadih Basanai sarat dengan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi pembacanya. Kelebihan penyampaian nilai budaya dalam kaba ini sangat halus dengan bahasa yang indah dan terkadang melalui pantun-pantun.
Bedasarkan kesimpulan di atas sudah sewajarnya lah kaba ini dimiliki oleh generasi sekarang untuk dipahami nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya. Analisis ini diharapkan dapat membantu penyerapan nilai-nilai budaya tersebut bagi guru-guru dan juga siswa serta semua pembaca.