Minggu, 11 Maret 2012

Semiotik


Cobley dan Janz menyatakan bahwa semiotik berasal dari kata  seme, bahasa Yunani, yang berarti ‘penafsir tanda’. Literatur lainnya menjelaskan bahwa semiotik berasal dari semeion yang berarti ‘tanda’. Jadi, semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia, dengan arti bahwa segala sesuatu yang hadir di dalam kehidupan dilihat sebagai tanda yang harus diberi makna. Semiotik juga dikatakan ilmu yang menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Ilmu semiotik tentang tanda dalam kehidupan sudah digunakan sejak lama, Danesi dan Perron menulis bahwa penggunaan cara-cara semiotik sudah ada sejak Hippocrates (460-377 SM) yang mendefenisikan “tanda”  dari  bidang kedokteran sebagai gejala fisik yang mewakili suatu gejala penyakit.  Misalnya, tanda atau gejala kulit merah (ruam)  mewakili  alergi kulit, radang tenggorokkan mewakili sakit flu, dan memar lebam mewakili  jari patah.
            Kajian semiotik semakin berkembang menunjukkan kemanfaatannya  dengan dua orang ahli yang telah mengembangkannya  pada zaman yang sama, yaitu Ferdinan de Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik, dan Charles Sander Peirce (1839-1914) seorang ahli filsafat. Saussure mengembangkan kajian semiotik dengan nama semiologi sedangkan Peirce menyebutnya semiotik (semiotics). Perbedaan istilah itu menunjukkan perbedaan orientasi, yang pertama mengacu pada tradisi Eropa yang cenderung pada realitas batin (mind) dan citra (image) dalam kajian linguistik sedangkan yang kedua mengacu pada tradisi Amerika yang cenderung pada realitas eksternal di samping realitas internal dalam kerangka kajian filsafat.
            Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai arti. Semiotik secara umum dapat dipahami melalui konsep tanda  dan dalam hal ini ada dua aliran yang mewarnai perkembangan semiotik, yaitu aliran strukturalis dan pragmatis. Aliran semiotik strukturalis, merujuk kepada Saussure dan pengikutnya (1916) yang melihat tanda sebagai pertemun antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Saussure menggunakan istilah signifiant (signifier, Ing) untuk penanda  atau segi bentuk suatu tanda, dan signifie (signified) untuk petanda untuk segi maknanya. Saussure dan pengikutnya melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dan terstruktur dalam kognisi manusia.  Dengan kata lain, terjadi proses  pemaknaan antara penanda dengan  petanda dan hasil dari proses tersebut.  Dalam hal ini  hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi tetapi bersifat sosial yang didasari kesepakatan sosial dan juga bersifat dikhotomis dan struktural.
            Bagi Charles Sander Peirce dan pengikut semiotik pragmatisme, tanda merupakan, suatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu (tanda) itu dapat berupa hal yang konkret dapat diamati manusia dengan inderanya melalui suatu proses mewakili sesuatu yang ada dalam kognisi manusia. Dalam hal ini tanda bukanlah suatu struktur melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap pancaindera. Sesuatu yang konkret  dan diwakili disebut representamen (atau ground), sedangkan sesuatu yang ada dalam kognisi disebut objek (object),  dan proses hubungan representamen ke objek disebut semiosis (semein). Dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis dilengkapi dengan suatu proses lagi yang merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran).  Jadi, pemaknaan suatu tanda terjadi dalam bentuk proses semiosis dari yang konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup dalam realitas. Karena sifatnya yang mengaitkan tiga segi dalam proses semiosis teori semiotik ini bersifat trikotomis.
            Representamen sebagai objek yang diamati berfungsi sebagai tanda yang dikembangkan atas pandangan bahwa realitas terbagi atas tiga kategori universal, yaitu firstness, secondness, dan thirdness. Yang paling menonjol dibicarakan  adalah yang menyangkut hubungan antara representamen dengan objek, yaitu ikon, indeks, dan simbol.  Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, misalnya gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya asap  menandai api. Simbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah, tetapi bersifat arbitrer (semau-maunya), bersifat konvensi. Misalnya kata ibu dalam bahasa Indonesia merupakan kesepakatan masyarakat bahasa Indonesia untuk merujuk pada referen seorang ibu.
            Pascasemiotika strukturalis, dua orang pengembang semiotik yang menjadi perhatian adalah Roland Barthes (1915-1980) dan Jacques Derrida (1930).  Pertama, teori semiotik Barthes diturunkan dari konsep Saussure terutama tentang tanda dalam susunan sintagmatik dan paradigmatik. Barthes mengembangkan kedua kosep tersebut  dengan tambahan “makna” yang bertahap. Dalam kehidupan sosial budaya pada tahap primer penanda adalah “ekspresi” (E) dan  petanda adalah isi (C). Jadi, tanda adalah relasi (R)  antara E dan C   sehingga menghasilkan model E-R-C. Pada tahap tanda pertama kali dimaknai maka makna yang terjadi terjadi disebut denotasi. Pemaknaan berikutnya disebut sistem sekunder yang merupakan pengembangan menjadi model E2-R2-C2. Pengembangan bisa terjadi pada E atau pada C. Pengembangan pada E dengan C tetap disebut  proses metabahasa atau dalam linguistik disebut sinonimi. Misalnya E1= /dukun/ dan E2= /paranormal/ atau /orang pinter/ dengan C tetap, yaitu ‘orang yang dapat menggunakan ilmu gaib’.        Pengembangan pada C menghasilkan  C lebih dari satu untuk E yang sama.  Pengembangan yang demikian disebut konotasi. Contohnya Mercy (E) yang maknanya (C) ‘merek mobil buatan Jerman’. Dalam proses selanjutnya  makna baru (C2) berkembang menjadi ‘mobil mewah’, ‘mobil orang kaya’, ‘simbol status’. Kedua bentuk pengembangan itu, baik metabahasa maupun konotasi merupakan pengembangan dalam cara memaknai tanda. 
            Kedua, semiotik Derrida yang dikenal dengan teori dekonstruksi. Teori ini merupakan kritik terhadap pemikiran Husserl yang memandang makna adalah sesuatu yang dimaksudkan oleh pemberi makna sesuai dengan bahasa sebagai suara (voice). Derrida membangun teorinya dengan pandangan bahwa bahasa yang sebenarnya bersumber pada tulisan.  Baginya makna terjadi melalui cara membongkar dan menganalisis secara kritis hal yang dimaknai. Hubungan antara penanda dan petanda tidak tetap dan malah dapat “ditunda” untuk memperoleh hubungan yang baru. Dengan demikian, makna suatu tanda dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda bedasarkan proses penundaan hubungan antara penanda dengan petanda  untuk menemukan makna lain atau makna baru. Proses pemaknaan yang demikian disebut  proses dekontruksi sedangkan hubungannya disebut difference. Setiap pemberian makna harus disertai argumen yang berterima secara logis atau secara akademis.
            Selain dua aliran di atas semiotik juga dikenal dengan aliran semiotik komunikasi yang ditandai dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengiriman dan penerimaan tanda yang disertai dengan maksud  yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas. Aliran ini dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Muunin. Ada lagi semiotik kotemporer yang cukup terkenal adalah semiotik ala Eco (1979). Semiotik berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak harus hadir dan eksis secara aktual.  Dengan adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi yang  paling alamiah hingga sitem budaya yang paling kompleks maka penerapan bidang semiotika pada dasar tidak
terbatas.
            Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda dalam memaknai sesuatu. Dalam semiotik ada banyak cara yang ditawarkan untuk mengungkapkan makna dan bahkan semua yang berpotensi mempunyai tanda dapat dianalisis dengan semiotik. Sebagai kajian tanda, semiotik banyak berkaitan dengan kebudayaan  yang satu sama lainnya  berhubungan untuk memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian semiotik dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan.