Rabu, 26 September 2012

Perilaku Berbahasa Indonesia Pendidik dan Pembelajar dalam Perspektif Globalisasi



Perilaku Berbahasa Indonesia Pendidik dan Pembelajar dalam Perspektif  Globalisasi
Oleh
 Dr. Abdurahman, M.Pd.
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang

Abstrak

            Tulisan ini difokuskan pada dua fenomena, yaitu perilaku berbahasa Indonesia  dan perspektifnya dalam persoalan globalisasi.  Persoalan pertama mengacu pada perilaku berbahasa Indonesia pemakai bahasa Indonesia dalam pembelajaran yaitu, pendidik dan pembelajar dalam berpikir, bersikap, berbuat dan bertindak  dalam perspektif globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut penulis ini telah mencermati beberapa persoalan guru dan pembelajar bahasa berdasarkan pengalaman dan diskusi dengan mahasiswa serta membaca tulisan pemerhati perkembangan bahasa Indonesia. Penyadaran perilaku berbahasa Indonesia itu perlu diaktualkan pada persoalan yang lebih kontekstual  dan aplikatif  dengan adanya solusi yang kreatif melalui interpretasi dan reinterpretasi serta penjelasan yang logis  agar perilaku berbahasa lebih prospektif terutama dalam menyikapi globalisasi.

Kata kunci: Perilaku Berbahasa, Pendidik-Pembelajar, Globalisasi

A. Pendahuluan
Dinamika globalisasi dan peradaban manusia yang berkembang bersamanya  sudah lama menjadi persoalan dan sekarang dibincangkan pula dalam pendidikan berbahasa. Globalisasi menyebabkan berbagai implikasi sehingga berbagai bidang kehidupan: ekonomi, budaya, dan teknologi (terutama teknologi informasi) mengalami perubahan pesat dan inovasi yang ditimbulkannya menjadikan persoalan lokal dan internasional seakan bersifat  paradoks. Bahasa dan budaya lokal yang selama ini tidak dikenal, sekarang mencuat kepermukaan dan  direspon oleh penduduk dunia. Sebaliknya  budaya dan bahasa asing  yang dahulu ditapis dan tabu, sekarang menjadi menu budaya yang tiap saat siap meresap ke dalam kehidupan kita melalui perantaraan program media masa.  Foto berikut ini menunjukkan hal itu.



Era globalisasi informasi juga ditandai dengan perputaran aksara yang bergerak cepat menghantarkan berbagai peristiwa dan manusia mengambil berbagai keperluan dari isi yang dikemasnya. Tidak dapat dielakkan akselerasi perolehan dan perkembangan informasi, pengetahuan, budaya, dan bahasa juga meningkat cepat sehingga terkadang seperti merusak yang sudah ada  meskipun perubahan itu sesuai dengan tuntutan zaman.  Konsekuensinya sebagai bangsa Indonesia kita harus menentukan sikap dan menindakkan budaya dan perilaku berbahasa yang benar agar bisa lepas dari gegar budaya atau kebimbangan budaya dan juga gegar perilaku berbahasa.  
Untuk menentukan sikap dan perilaku yang tepat dalam berbahasa tentulah memerlukan pandangan yang holistik dari keberagaman pandangan karena faktor yang mempengaruhi perilaku berbahasa terkait dengan kompleksitas persoalan kehidupan manusia. Karena kompleksitas persoalan itu pula maka usaha menentukan sikap dan perilaku dalam menghadapi perubahan yang terjadi, dapat pula berbeda-beda. Bisa jadi seorang pendidik bahasa akan mengambil   perilaku statis (tidak peduli) sebagaimana adanya karena prustrasi dengan hasil pembelajaran bahasa ditambah lagi dengan pengaruh globalisasi yang mengacaukan performansi berbahasa.  Sebagian ada yang bergerak memberikan respon bersama perubahan itu secara dinamis dan mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi termasuk dalam menyikapi pembelajaran bahasa. Selain itu ada yang lebih proaktif dan mengambil ancang-ancang perilaku dan tindakan yang lebih visioner sehingga manfaatnya perilaku bahasa yang ditindakkannya bermanfaat melampaui zaman di mana perubahan itu dilalui. Pilihan-pilihan itu amat terkait dengan faktor yang mempengaruhi perilaku namun pilihan yang bijak dan bermanfaat dalam menyikapi globalisasi tentu merupakan sebuah dinamika  kreativitas berperilaku sehingga berdampak prospektif dan solutif dalam menapis problema bahasa ke depan. Dengan demikian, perlu kiranya pembahasan pentingnya perilaku berbahasa terutama bagi pendidik sebagai agen pembelajaran bahasa dan pembelajar yang akan menggunakan bahasa dalam era berikutnya.
Sebagai insan yang berkonsentrasi   memajukan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia,  pendidik bahasa Indonesia dan pembelajarnya tentu  telah menekadkan diri untuk mewujudkan  bahasa Indonesia yang lebih mapan dan lsan yang ebih berperan dalam persoalan  globalisasi sehingga ke depan bahasa Indonesia dapat “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan bahasa lainnya di dunia. Dampak tertinggi yang kita harapkan adalah untuk persoalan yang mendunia kita cukup menggunakan bahasa Indonesia, sebagai alih bahasa dalam hubungan interpersonal global. Untuk mewujudkan harapan tersebut pendidik dan pembelajar bahasa Indonesia --sebagai agen pemapanan  bahasa Indonesia-- mesti mengejawantahkan perilaku berbahasa Indonesia yang benar  dan baik secara linguistis maupun secara politis. Yang menjadi persoalan, bagaimanakah menentukan pilihan perilaku berbahasa yang baik itu? Tulisan ini diharapkan berkontribusi dalam membuka wawasan untuk mengambil perilaku berbahasa Indonesia yang yang baik terutama untuk pendidik dan pembelajar bahasa Indonesia baik di level sekolah maupun perguruan tinggi.   Manfaat tulisan ini juga lebih diharapkan dapat membuka jalan ke arah usaha membina perilaku berbahasa Indonesia di sekolah dengan mempertimbangkan pendidik, pembelajar, dan aspek pendukungnya. 
B.    Kelas dan Perilaku Berbahasa
Seorang pendidik bahasa Indonesia di kelas yang diajarnya merupakan model yang akan ditiru oleh pembelajar dalam berbahasa Indonesia. Di samping itu, mereka seharusnya bertindak dalam pembelajaran bahasa bagai pemancing yang mendapat ikan bukan sebaliknya bagai pemancing yang dilarikan ikan. Artinya, guru menjadi model yang mengendalikan perilaku berbahasa pembelajar ke arah yang lebih beraturan secara bahasa dan konteks pemakaiannya. Dengan demikian, mulai dari masuk kelas hingga keluar kembali, pendidik akan menjadi figur yang diamati tindak berbahasa dan perilaku berbahasanya, baik secara lisan maupun tulis.  Adakah pendidik selalu menyadari hal demikian dalam seluruh aktivitasnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia? Jawabannya tentu akan sangat beragam dan tergantung bagaimana situasi dan di lokasi mana seorang pendidik memberikan pembelajaran bahasa.
Saya mendapat cerita dari seorang guru yang pindah dari kota propinsi ke kota Jakarta dan mereka menyampaikan keluhannya tentang bahasa Indonesia yang dipakai oleh pembelajar di sekolah yang lokasinya di ibu kota. Keluhannya adalah ternyata kebanyakan murid di dalam kelas yang diajarnya dalam berinteraksi dengan sesama mereka dan berkomunikasi dengan guru menggunakan bahasa Indonesia dialek Betawi.  Kosa kata yang digunakan lebih menonjol berdialek  yang cenderung dengan penekanan fonem /e/ dan sebagian arti kata yang digunakan menyimpang maknanya dengan makna yang ada dalam bahasa Indonesia. Bagi dia, kenyataan ini adalah suatu yang di luar dugaan karena ia menyangka sebelumnya bahwa Jakarta adalah pusat kota dan mengira pembelajar yang ada di sana adalah anak-anak yang berbahasa Indonesia yang baik. Ternyata apa yang ditemuinya jauh berbeda dengan yang dikiranya. Kenyataan itu jelas menunjukkan bahwa di tengah kota besar sekalipun pun persoalan perilaku berbahasa Indonesia di dalam kelas masih perlu diperbaiki.
Lain lagi halnya dengan perilaku berbahasa Indonesia yang terjadi di daerah (kota penulis). Penulis pernah bertanya kepada mahasiswa bagaimana gurunya dulu mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah menengah, “Apakah guru di dalam kelas mereka sudah berbahasa Indonesia untuk semua aktivitasnya”. Mahasiswa yang saya tanyakan hampir serentak mengatakan, “Sudah Bapak”.  Kemudian saya menanyakan lagi untuk mendapatkan informasi yang lebih spesifik dan saya tanyakan, “Bagaimana kalau gurumu marah di kelas, apakah dia juga menggunakan bahasa Indonesia?”. “Bagaimana kalau guru bahasa Indonesia menyapamu di luar kelas apakah dia berbahasa Indonesia?” Mereka juga menjawab serentak, “Tidak Bapak, guru menggunakan bahasa daerah.”  Lalu saya katakan, “Kenapa?  Apakah bahasa Indonesia tidak bisa digunakan untuk marah dan untuk menyapa di luar kelas?”.  Jawaban mereka, “Bisa Pak, tapi … ya bagaimana ya?”
Dari dua kasus di atas, baik di kota besar maupun di daerah nampaknya perilaku berbahasa Indonesia di kelas belum menunjukkan semangat yang meng-Indonesia. Meskipun penulis ini menyebutkan kasus berbahasa daerah di kota penulis, di kota lain dan daerah lainnya di Indonesia mungkin juga sama.  Bahasa Indonesia hanya dipakai dalam situasi berbahasa yang formal  sedangkan ketika pendidik dan pembelajar memasuki siatuasi yang nonformal dan akrab meskipun masih dalam kelas, mereka tidak menyadari kalau mereka telah keluar dari aturan bahasa dalam penyelenggaraan pendidikan yang harus berbahasa Indonesia. Kekeliruan berperilaku berbahasa daerah dalam beriteraksi di kelas sudah dianggap suatu yang biasa.  Meskipun itu salah tetapi apa daya jika kesalahan sudah dianggap suatu yang biasa. Tentu hal itu tidak menjadi masalah lagi bagi pembelajar  meskipun dalam undang-undang, pendidikan yang demikian dilarang.
Kenyataan perilaku berbahasa Indonesia pendidik dan pembelajar yang tidak konsisten tentu tidak menguntungkan ke dua belah pihak dalam pembinaan dan pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia. Pendidik bisa jadi tidak terbiasa dengan bahasa Indonesia ragam santai dan lebih mahir hanya dalam ragam resmi bahasa Indonesia. Sebaliknya pembelajar bahasa hanya dapat mencontoh bagaimana menggunakan bahasa Indonesia ragam resmi dalam situasi formal sedangkan bagaimana ragam yang tidak resmi digunakan mereka tidak pernah mendapatkan bagaimana cara mengaktualkannya dalam kenyataan yang sebenarnya sebagai performansi berbahasa yang baik dari pendidik.  Dengan demikian, tentulah tidak dapat dipungkiri kalau bahasa Indonesia yang tidak standar itu menjadi  tantangan tersendiri bagi pembelajar untuk mewujudkannya sehingga bentuk bahasa yang diaktualkan menjadi sangat bervariasi meskipun mereka masih di kelas bahasa. 
  Sehuhungan dengan itu, untuk melakukan perbaikan di kelas ke arah pembelajaran bahasa yang baik untuk menghasilkan perilaku berbahasa yang benar tentu banyak hal bisa dikemukakan karena persoalan tersebut berhubungan dengan banyak variabel pembelajaran bahasa. Dari sekian banyak hal yang mempengaruhi yang penulis nilai amat penting dalam menghadapi globalisasi adalah harkat berbahasa Indonesia karena harkat merupakan aspek penting berperilaku. 

C.  Perilaku Berbahasa yang Diperlukan
Untuk menjawab tantangan globalisasi  yang mungkin akan membawa dampak negatif terhadap bahasa Indonesia maka perlulah kita menetapkan perilaku berbahasa yang akan memberikan dampak positif terhadap bahasa Indonesia, bangsa, dan kehidupan kita. Berikut yang beberapa perilaku berbahasa yang perlu dikemukakan.
1. Perilaku pendidik dan pembelajar mesti berbahasa Indonesia
        Dalam pembelajaran di sekolah atau di seluruh kawasan sekolah semua unsur sekolah, mulai dari kepala sekolah sampai kepada pesuruh sekolah  harus berbahasa Indonesia sehingga sekolah adalah kawasan berbahasa Indonesia. Dengan demikian, praktik berbahasa Indonesia benar-benar akan dirasakan oleh pembelajar dalam semua aspeknya sehingga akan terwujud pembelajar dan pendidik yang berpikir dan merasa dengan bahasa Indonesia.  Mereka akan mengaktualkan kompetensi berbahasa mereka dalam empat keterampilan berbahasa, mendengar, berbicara, membaca, dan menulis dalam masa yang lebih memadai dibandingkan kalau guru hanya berbahasa Indonesia di kelas saja. Sekolah merupakan sebuah tempat berbudaya Indonesia dengan bahasa Indonesia yang berbeda dengan bahasa di lingkungan sekolah yang masih didominasi berbahasa daerah.
    Untuk itu, perlu dibuat komitmen antara pelaksana pendidikan di sekolah dengan siswa untuk selalu berbahasa Indonesia di sekolah. Semua guru mesti diajak untuk mewujudkan hal itu sebab selama ini tidak semua guru mau berbahasa di sepanjang waktunya di sekolah. Untuk mewujudkan hal itu, perlu dibuatkan sanksi yang mendidik supaya perilaku tidak berbahasa Indonesia bisa ditertibkan. Sanksi  yang mungkin jika ada siswa yang tidak berbahasa Indonesia bisa dilaporkan kepada guru bahasa Indonesia dan guru bahasa Indonesia mencatat pengaduan itu untuk membuat teguran dan poin pengurangan nilai keterampilan berbahasa Indonesia. Saya juga menghimbau kepada instansi terkait  untuk menerapkan  aturan yang lebih tegas untuk menggunakan bahasa Indonesia di sekolah  dan jika perlu dijadikan indikator yang menentukan tingkat sekolah yang terbaik. 
2.  Perilaku Meningkatkan Keterampilan Berbahasa
Keluhan pengelola pendidikan di sekolah diakhir setiap tahun pembelajaran adalah nilai hasil UN bahasa Indonesia rendah. Sementara di perguruan tinggi keluhan berbahasa Indonesia yang sering terdengar adalah kurang publikasi ilmiah oleh civitas akademika. Hal itu, menunjukkan adanya mata rantai kelemahan berketerampilan berbahasa Indonesia dari sekolah dasar, sekolah menengah,  dan perguruan tinggi.  Penyebab hal itu sudah sering pula dibahas oleh banyak pemerhati bahasa Indonesia dan sudah banyak tulisan yang dihasilkan.
Ada dua hal yang penulis simpulkan dari tulisan yang banyak itu. Pertama pembelajaran bahasa masih didominasi oleh pengajaran tata bahasa dan meninggalkan aspek berbahasa secara kontekstual yang menekankan pelatihan  keterampilan untuk komunikasi. Kedua, jika pembelajaran didasarkan pada aspek komunikatif  maka tidak jarang pula mengabaikan aspek tatabahasa. Seharusnya, aspek kompetensi dan performansi berbahasa  sudah dibentuk sejak sekolah dasar sehingga bahasa Indonesia yang dipelajari adalah bahasa Indonesia yang diperlukan dalam kebutuhan hidup bukan bahasa yang artifisial.
Seorang teman saya yang sudah pulang dari luar negeri setelah lama tinggal  di sana, mengeluhkan pembelajaran bahasa Indonesia   anaknya di sekolah dasar di dekat rumahnya. Katanya anaknya diajarkan guru bahasa Indonesia tentang SPOK dan itu berbeda sekali ketika ia di luar negeri belajar bahasa. Katanya, “Kalau di sekolah di luar negeri pembelajaran bahasa anaknya tidak mengarah ke gramatika. Satu cara yang dilakukan guru adalah menugasi murid mengamati lingkungan rumahnya. Murid mengamati dan mencatat data-data lalu  si anak membuat laporan singkat dalam bentuk deskripsi. Laporan itu lalu didiskusikan bersama temannya dan gurunya di sekolah. 
      Jika pembelajaran dalam bahasa Indonesia sudah melatihkan keterampilan berbahasa seperti contoh di atas sejak dini, saya yakin anak-anak kita akan banyak yang mau menulis dan perilaku baca tulis akan meningkat. Selanjutnya,  kesenangan baca tulis makin terlatih sampai dewasa dan menjadi kebiasaan yang utama. Jika tidak demikian, maka pembelajaran bahasa Indonesia dan bangsa Indonesia tentulah dalam bahaya karena orang sudah bisa membaca tetapi tidak membaca  dan sudah bisa menulis tetapi  tidak menulis akan digilas globalisasi.  
3.   Perilaku menghargai (mensyukuri) bahasa Indonesia
   Kita sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya mensyukuri kemerdekaan yang sudah diperjuangkan oleh para pejuang Indonesia dalam arti mengisi kemerdekaan dengan pemikiran, sikap, dan tindakan yang bermanfaat bagi kemanusiaan manusia.  Hal yang serupa berlaku pula pada bahasa Indonesia yang menjadi alat untuk menyatakan kemerdekaan itu sekaligus sebagai bahasa resmi Negara Indonesia. Perilaku bersyukur yang dimaksud adalah menggunakan bahasa Indonesia untuk kemuliaan manusia. Apakah yang akan dilakukan sehubungan dengan itu? Penulis menawarkan beberapa solusi dengan mencermati kutipan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di bawah ini yang telah penulis nomori untuk dapat ditangkap pesan bagaimana perilaku mensyukuri itu dapat dilakukan dalam kegiatan berbahasa Indonesia 

D.   Simpulan
  Menjawab tantangan globalisasi ke depan perlu pembentukan perilaku berbahasa Indonesia yang baik, yaitu perilaku bahasa yang berhubungan dengan kompetensi dan kinerja seseorang dengan bahasa yang dipakainya di dunia nyata. Banyak fakta yang ditemui dalam pembelajaran bahasa Indonesia, bahwa perilaku bahasa Indonesia belum menunjukkan pentingnya berbahasa Indonesia seperti yang digambarkan pada bagian  kelas dan perilaku berbahasa, harkat berbahasa Indonesia yang masih lemah, dan tidak terbiasa dengan keterampilan baca tulis dalam bahasa Indonesia. Dalam mengatasi hal tersebut perlunya kebijakan sekolah harus berbahasa Indonesia, belajar  berbahasa bukan tentang bahasa, dan memberikan penghargaan dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk memuliakan  kemanusiaan. Dampak negatif globalisasi terhadap bahasa Indonesia dapat ditapis dengan perilaku berbahasa yang benar dan memajukan bahasa Indonesia. 
Catatan: makalah lengkap dimuat dalam jurnal bahasa dan seni FBS UNP