Selasa, 29 November 2016

PESAN KEARIFAN BUDAYA DALAM CERITA KLASIK SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN DALAM INOVASI PENDIDIKAN

Oleh
 Dr. Abdurahman, M.Pd.
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang
Padang, Indonesia

Abstract
Tulisan ini bertujuan menjelaskan fenomena tamatan pendidikan sekolah  yang secara pengetahuan amat memadai tetapi lemah dalam sikap dan karakter, yang merupakan masalah yang harus menjadi perhatian para pendidik. Banyak pihak  yang mensinyalir femomena itu terjadi karena pembelajaran tidak berorientasi nilai-nilai, terutama nilai budaya yang menjadi harapan masyarakat untuk berkehidupan bersama. Meskipun tamatan dari pendidikan sekolah diharapkan berbudi pekerti baik, ternyata banyak dari mereka yang tidak sadar budaya sehingga tidak memperkuat budaya masyarakatnya, akan tetapi mereka cenderung menyimpang dari budi bahasa budaya  yang normal dalam masyarakat. Untuk memperbaiki kondisi yang dilematis itu,  pengkajian budaya dan hasil temuan tentang kearifan budaya dalam cerita klasik dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan dan inovasi pendidikan.   Dalam penelitian saya tahun 2013 tetang kearifan budaya dalam cerita klasik, ditemukan ada lima pesan kearifan budaya yang menjadi harapan dalam mengembangkan kehidupan yang perlu dikaitkan dengan inovasi pendidikan, yaitu tentang kearifan budaya hakikat hidup, hakikat karya, hakikat waktu, hakikat hubungan dengan sesama, dan hakikat hubungan dengan lingkungan.  Pesan kearifan budaya itu dinilai amat relevan dalam pendidikan untuk kehidupan moderen yang tidak hanya berorientasi pada globalisasi tetapi juga masyarakat yang kuat berpegang pada nilai-nilai budaya lokal yang sudah menjadi unggulan dalam kehidupan. Tulisan ini juga bertujuan menjelaskan kaitan perlunya pesan karifan budaya dalam cerita klasik sebagai bahan inovasi pendidikan bahasa sastra sehingga menjadi pendidikan yang berbasis nilai-nilai budaya luhur bangsa.

Kata kunci: kearifan budaya, cerita klasik, inovasi pendidikan

PENDAHULUAN

         Sejak  bergulirnya era reformasi tahun 1998 di Indonesia, berbagai kalangan memberikan pendapat dan mengulas pikiran mereka tentang ketimpangan dalam pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan. Suyatno (2000) seorang pendidik menyatakan pendidikan nasional masih berlangsung dengan kesadaran magis dan kesadaran naïf, dan belum mengembangkan kesadaran kritis. Selanjutnya, Iman Taufik (2008) seorang pengusaha menyatakan bahwa pendidikan kita terlalu diarahkan pada penguasaan teori dan konsep dan kurang memperhatikan soft competency untuk merangsang inisiatif, kreativitas, dan inovasi. Begitu juga Muslich (2011) menyatakan bahwa pendidikan kita telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan lantaran tunduk pada pasar dan bukan pencerahan pada perserta didik. Penulis sendiri mengamati pendidikan nasional mengalami ketimpangan karena tidak seimbangnya penguasaan ilmu  umum dengan ilmu agama serta pengetahuan yang mengajarkan moral yang berkaitan dengan arti hidup dan bagaimana menjalani hidup.
         Penggambaran ketimpangan pendidikan makin dipersoalkan karena  banyak laporan media  cetak dan eletronik  tentang pelanggaran hukum dan krisis budaya dalam kehidupan masyarakat. Orang yang terlibat sebagai pelaku penyimpangan budaya tidak hanya orang yang rendah pendidikannya tetapi juga orang yang berpendidikan tinggi. Mereka ada yang menjadi pejabat pemerintah yang menyelewengkan amanah jabatan (korupsi), mereka yang menjadi pelaksana pendidikan yang melakukan kekerasan dan tindakan tidak berbudaya, dan mereka yang tamatan sekolah yang terlibat dengan berbagai penyimpangan social (tawuran) yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya dan agama. Fenomena itu menghadirkan pertanyaan bagi kalangan pengamat pendidikan, ada apa sebenarnya yang salah dalam pendidikan selama ini, sehingga mereka yang sudah mengecap pendidikan masih saja melakukan kejahatan dan mengapa mereka semakin jauh dari budaya baik yang diharapkan masyarakat? Adanya fenomena itu  tentu diasumsikan sangat terkait dengan implikasi hasil pendidikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Rivai (2009) menyatakan bahwa berbagai persoalan masyarakat merupakan keadaan yang menunjukkan tidak relevannya pelaksanaan pendidikan dengan tujuan pendidikan yang ada pada tujuan pendidikan itu sendiri.
Di sisi lain, untuk tercapainya hasil pendidikan yang baik di Indonesia, pembaharuan dalam program pendidikan tidak berhenti. Kurikulum terus dikembangkan dan sekarang di sekolah telah dilaksanakan kurikulum 2013 dan sebagian sekolah masih menjalankan kurikulum 2006. Pada tahun 2010 juga telah dicanangkan perlunya pendidikan karakter dan sejak itu pendidikan karakter sudah dilaksanakan di sekolah. Selain itu, guru-guru telah ditingkatkan kualitasnya melalui program sertifikasi  dan tunjangan profesi mereka lebih baik dari sebelumnya. Di samping itu, seiring dengan pembaharuan kurikulum pendekatan pembelajaran juga berkembang, sistem penilaian makin baik dan media pembelajaran makin banyak. Terlepas dari dampak nyata penerapan kurikulum 2013, hasil pendidikan yang dicapai saat ini kualitasnya belum mencapai target, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain. Lulusan yang ditamatkan belum semuanya menunjukkan pengetahuan, sikap, dan daya kreativitas yang lebih seperti  dalam  karakter yang diharapkan masyarakat.
Keadaan masyarakat sekarang seperti dilukiskan El-Shirazy, pengarang  Indonesia, dalam novelnya “Api Tauhid” (2015). Gambaran keadaan  masyarakat   sekarang sebagai umat yang lemah dalam iman sehingga mereka mudah tercampakkan dari budaya baik. Fitnah budaya kehidupan menyambar mereka siang dan malam. Serigala-serigala budaya yang kelaparan siap mencabik-cabik mereka. Kebodohan rohaniah merajalela dan ironisnya mereka mengaku sebagai yang serba tahu. Kemaksiatan menyusup di mana-mana menjadi propaganda yang menggiurkan. Umat dilanda kecemasan, ketakutan, dan ketidakmenentuan yang tiada ujungnya.  Kenyataan seperti ini  mengingatkan  kita pada firman Tuhan, “perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (Quran, 2:17).
          Masyarakat seperti berjalan  dalam lorong kegelapan yang sangat panjang  dan tidak tahu jalan keluar menuju cahaya. Sebagian merasa tahu ke mana melangkah, namun setelah menghabiskan banyak waktu, tetap saja mereka berada dalam lorong kegelapan.  Selanjutnya dikatakannya, kitab suci  dan sunnah  Nabi seumpama lentera yang mereka pegang tetapi tidak dinyalakan.  Seumpama pintu keluar yang mereka berada di depan pintu namun tidak  mereka buka. Akibatnya mereka terus berada dalam   kegelapan yang pekat dan melelahkan (El-Shirazy, 2015:269). Keadaan ini tentu sesuai dengan pendapat Thomas Lickona (1991) yang menyatakan suatu bangsa sedang menuju kehancuran bila meningkatnya kekerasan, penggunaan bahasa yang buruk, meningkatnya perilaku merusak diri, kaburnya pedoman moral, menurunnya etos kerja, tidak hormat pada yang tua, rendahnya rasa tanggung jawab, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian. Jika dicermati semua ini semakin meningkat adanya dan mencemaskan.
Kompleksitas fenomena yang terjadi dalam masyarakat mengindikasikan bahwa bidang pendidikan selalu memerlukan berbagai bahan pertimbangan yang memungkinkan terjadinya pembaharuan yang dapat memperbaiki keadaan masyarakat. Untuk itu, sumbangan berbagai bidang ilmu sebagai pertimbangan dalam pendidikan sudah dilakukan berbagai pihak dengan jelas, seperti inovasi pendidikan secara filofis, pembaharuan pradigmatis, inovasi sosial politis, serta pembaharuan secara teknologis, dan semua usaha itu telah mendapat tempat dalam proses pendidikan.  Namun demikian, hasil pendidikan yang diharapkan masyarakat belum juga memuaskan untuk hidup yang berkejujuran dan kenyamanan.
Menyikapi dilema pendidikan itu, kiranya perlu dicari pertimbangan lain untuk memperbaiki pendidikan yang bersumber dari kearifan budaya yang hidup dalam tradisi budaya masyarakat. Dalam hal ini, penulis menyarankan untuk kembali meninjau dan membuka pesan-pesan budaya yang ada dalam masyarakat terutama yang ada dalam cerita rakyat. Satu diantaranya yang perlu dipertimbangkan adalah pesan kearifan budaya yang ada dalam cerita rakyat klasik. Pesan dalam cerita rakyat itu ada yang menggambarkan harapan terhadap hasil pendidikan mereka dalam hidup dan kehidupan. Hanya saja hasil pendidikan yang mereka harapkan dalam budaya mereka itu belum dinyatakan secara eksplisit atau tidak disampaikan secara jelas. Untuk itu, penjelasan  akan hal itu, perlu diuraikan dalam tulisan yang ilmiah.
Jika selama ini inovasi pendidikan dikaitkan dengan penemuan-penemuan baru belum juga memenuhi kebutuhan masyarakat tentang moral  maka sekarang perlu kita kembali membuka  pesan budaya sendiri  untuk pembaharuan pendidikan. Untuk itu, Abdurahman (2013) dalam penelitian dengan tema kearifan budaya pendidikan menemukan lima pesan umum dalam cerita rakyat  yang dapat dikontribusikan sebagai bahan inovasi dalam pendidikan.  Lima pesan itu berupa tesis tentang manusia dengan hakikat hidup, hakikat karya, hakikat hubungan social, hakikat waktu, dan hakikat hubungan dengan alam. 
Kelima pesan itu bersumber dari sepuluh judul cerita rakyat Minangkabau  yang penulis analisis dengan kajian semiotik.  Pesan tersebut  merupakan harapan yang idealkan oleh masyarakat budaya pendukung cerita rakyat  untuk diaktualkan dalam kehidupan.  Oleh karena itu, pesan budaya dari cerita rakyat itu merupakan pernyataan-pernyataan pesan budaya yang relevan dikontribusikan untuk memperoleh  hasil pendidikan bagi kehidupan masyarakat yang berbasis budaya sendiri.
Inovasi pendidikan berdasarkan kontribusi pesan budaya diharapkan dapat membuka wawasan budaya tentang pentingnya pendidikan berbasis budaya. Hal itu juga berkaitan dengan perlunya tamatan pedidikan sekolah berbekal aplikasi nilai-nilai budaya sendiri. Di satu sisi, pendidikan kita mesti dibangun dengan hasil  penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun di sisi lainnya kita ingin anak bangsa tidak kehilangan jati diri dan karakter baik yang sudah diidealkan dalam budayanya. Keduanya, tentu amat penting untuk kemajuan bangsa.

PESAN KEARIFAN BUDAYA CERITA RAKYAT MINANGKABAU KLASIK
Pada bagian ini diulas pengertian kearifan budaya dalam cerita rakyat klasik dan bentuk-bentuk kearifan budayanya. Pertama, konsep kearifan merupakan kata benda yang bermakna ‘kebijaksanaan atau kecendekiaan’ (KBBI: 2002: 65). Kearifan dapat berupa perkataan atau tindakan, perbuatan yang menunjukkan sifat arif, yaitu bijaksana, cerdik dan pandai, serta berilmu. Rahyono (2009:7) menyatakan bahwa kearifan merupakan kecerdasan yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya. Bila dikaitkan dengan penelitian ini kearifan berarti kecerdasan dan kebijaksanaan yang dihasilkan masyarakat budaya yang direkam atau didokumentasikan  dalam cerita rakyat berdasar pengalaman hidup yang dilaluinya. Berkaitan dengan definisi  itu, maka yang dimaksud  dengan pesan kearifan budaya adalah nasihat, petunjuk, peringatan, dan teguran yang baik yang dilakukan  seseorang  dalam bentuk  norma-norma, aturan-aturan, dan  tindakan yang menunjukkan kecerdasan dan kebijaksanaan (Abdurahman, 2013:14).
      Kedua, dalam penelitian yang telah penulis laksanakan, cerita klasik yang dijadikan sumber penelitian sudah eksis dalam masyarakatnya sebagai alat pendidikan nilai-nilai kehidupan. Cerita bertahan hidup karena nilai-nilai yang dikandungnya dapat memberikan pegangan kepada masyarakatnya dalam kehidupan.  Temuan penelitian menunjukkan bahwa cerita mengajak pembacanya untuk meyakini bahwa hidup merupakan takdir Allah dan dalam menjalani hidup sikap yang terbaik adalah bertakwa kepada-Nya. Cerita juga memberi pesan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan penguasaan materi. Dengan mengajak orang beriman kepada Allah maka kehidupan hedonis berubah menjadi hidup yang berserah diri, beribadah,  dan berjuang di jalan Allah. Dengan ilmu pengetahuan digambarkan perubahan  tokoh yang bodoh menjadi orang yang terpelajar dan berpotensi menjadi pemimpin dan berkedudukan. Seterusnya, dengan kecukupan harta dan materi tokoh cerita bebas dari kemiskinan menjadi orang kaya yang banyak manfaatnya dalam membantu kehidupan keluarga dan masyarakat. Lebih dari itu nilai-nilai etika dalam cerita mengarahkan tokoh menjadi orang yang mempunyai kepribadian dalam kehidupan bersama.  Cerita mensugesti agar pembaca harus beriman, berilmu, beretika, dan berharta serta bermanfaat dalam kehidupan sebagai orang yang berkepribadian utuh. Dengan demikian, nilai-nilai budaya cerita yang berlandaskan agama, ilmu pengetahuan, etika, dan penguasaan materi itu  perlu menjadi  pertimbangan dalam membentuk pembaharuan pendidikan ke depan terlebih dalam pembentukkan karakter masyarakat.
         Ketiga, penulis sajikan pesan kearifan budaya berupa pernyataan umum tentang kearifan budaya pendidikan dari cerita rakyat Minangkabau yang merupakan temuan penelitian:
a.    Kearifan budaya dalam hakikat hidup di antaranya sebagai berikut. 1) Tokoh cerita mengimani bahwa hidup diyakini sebagai takdir Allah tuhan yang maha esa, dan hidup diyakini tidak hanya di dunia tetapi masih ada kehidupan akhirat. 2) Dalam menjalani hidup tokoh cerita   bertakwa dan beribadah  kepada Allah supaya selamat di dunia dan akhirat. 3) Dalam menjalani hidup, tokoh cerita berusaha dan berdoa untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Tokoh-tokoh cerita yang berusaha dan berdoa pada umumnya menjadi tokoh yang berhasil sedangkan tokoh yang tidak mau berusaha menjadi tokoh cerita yang gagal. 4) Tokoh-tokoh cerita dalam hidup mengutamakan menuntut ilmu untuk melakukan suatu pekerjaan dalam kehidupan. 5) Cerita menggambarkan tokoh-tokoh yang  bertindak cepat dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan hidup. 6) Tokoh penuh perhitungan dan bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan hidup. Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan penuh perhitungan dan bermusyawarah itu telah menghasilkan jalan keluar yang mengagumkan  dari problema hidup mereka sehingga mereka menjadi tokoh-tokoh masyarakat yang terhormat dan bahagia. 7) Hidup yang ideal adalah hidup dengan berilmu, berusaha, dan bermanfaat bagi orang lain. 8) Hidup yang tercela adalah hidup dengan senang-senang dan tidak bermanfaat dan bahkan menyusahkan orang lain. 9) Tokoh-tokoh cerita yang telah sukses memberikan kontribusi terhadap kehidupan keluarga berupa mensejahterakan keluarga, meningkatkan status sosial, dan menjadi pemimpin dalam masyarakat. 9) Keberhasilan hidup tokoh cerita terkait dengan prinsip-prinsip hidup yang bersumber dari petatah-petitih adat Minangkabau dan ajaran agama Islam. Artinya, hidup dilalui dengan landasan filosofis adat dan agama. 10) Hidup harus dijalani dengan bertawakal, berusaha, dan berdoa dalam mencari ilmu dan harta demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
b.   Kearifan budaya pendidikan dalam hakikat karya di antaranya sebagai berikut. 1) Pada umumnya tokoh-tokoh cerita berkarya sebagai  pengisi hidup dan mencela tokoh cerita yang menghabiskan umurnya dengan bersenang-senang tanpa pekerjaan. 2) Karya merupakan wadah untuk mendapatkan karya yang dapat meningkatkan status sosial, kehormatan diri, dan kesejahteraan keluarga. 3) Beberapa karya yang menonjol adalah merantau untuk berdagang dan mencari ilmu di samping usaha yang lainnya. 4) Cerita  menggambarkan karya yang menjadi usaha kehidupan dan secara umum cerita  memberi bimbingan tatacara dalam berkarya untuk kesuksesan hidup. 5) Karya lainnya sebagai  guru dan pengarang, melukis dan menyulam, menjahit dan menenun, berdagang, memasak. 6) Anak laki-laki,  berumur enam tahun, siang masukkan ke sekolah, petang hari diajari di rumah, malam disuruh ia ke surau.  7) Karya merupakan  bagian dari kegiatan hidup yang disenangi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk memberikan manfaat  kepada keluarga dan orang lain. 8) Berkarya adalah untuk  keluar dari kemiskinan supaya menjadi kaya, keluar dari kebodohan supaya menjadi orang cendekia, arif dan bijaksana, keluar dari  status sosial  rendah menjadi orang berkedudukan seperti jadi pemimpin/penghulu.
c.    Kearifan budaya dalam hakikat waktu di antaranya sebagai berikut.  1) Umumnya kearifan tentang  waktu,  berorientasi ke masa depan dengan memanfaat  waktu sekarang dengan baik dan mengambil pelajaran  kejadian waktu lampau. 2) Digambarkan dalam cerita secara implisit bahwa tokoh yang mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat sangat menentukan kebahagiaan di masa depan. 3) Dalam cerita penggunaan waktu sehari semalam dipolakan dalam bentuk petatah-petitih adat yang bersumber dari agama Islam. 4) Petatah yang lainnya tentang penggunaan waktu berbunyi “Hari sehari dipertiga, malam semalam diperempat”. Hari siang dibagi tiga, pertama waktu mengisi hawa nafsu, kedua waktu bekerja dan berusaha, ketiga, waktu menjalankan pengurusan keluarga/kaum. Waktu semalam dibagi empat, pertama waktu bersejarah dan membahasnya, waktu memikir peraturan, waktu mempertimbangkan kebenaran, keempat waktu mengingat Allah dan Rasulullah’.  Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat dinyatakan bahwa cerita cerita memberikan pesan budaya agar pembaca menggunakan waktu dengan efektif dan memikirkan serta berbuat untuk waktu masa depan dengan mengingat waktu di masa lampau.
d.   Kearifan budaya dalam hakikat hubungan dengan alam di antaranya sebagai berikut. 1) Pada umumnya cerita menggambarkan petatah-petitih adat dan contoh-contoh hidup berdasarkan pola-pola  dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam atau alam sebagai guru. 2) Falsafah hidup kelompok etnis budaya Minangkabau terkenal dengan petatah “alam terkembang menjadi guru”,  karena itu dalam cerita ditemukan banyak petatah-petitih yang berkaitan dengan alam sebagai guru. 3) Pengenalan dan pengetahuan tentang alam dilestarikan dalam petatah dan pantun sebagai alat yang menjadi simbol berbudaya.
e.    Kearifan budaya dalam hakikat hubungan dengan sesama di antaranya sebagai berikut. 1) Gambaran hubungan sesama secara umum dilakukan dengan bekerjasama, seiya sekata, dan saling tolong-menolong. 2) Dalam menjalankan hubungan antar sesama tokoh cerita dituntun agar memperhatikan etika dan moral karena itu masing-masing pihak dipolakan sifat-sifatnya dalam nasihat adat. 3)  Pesan budaya yang menonjol yang  berkaitan dengan relasi dengan sesama adalah  kesetaraan dalam mengemukakan pendapat, bekerjasama, saling tolong-menolong, mengamalkan nilai-nilai etika dan moral dalam adat, dan saling mengingatkan. 4) Cerita  banyak memuat  aturan yang terkait dengan hubungan sesama dan cerita berfungsi sabagai alat pendidikan dalam relasi dengan sesama.

PERTIMBANGAN PESAN BUDAYA CERITA KLASIK UNTUK INOVASI PENDIDIKAN

Berdasarkan pesan kearifan budaya yang telah dijelaskan pada subtopik sebelumnya, maka pada bagian ini  diajukan beberapa pertimbangan berdasarkan pesan kearifan budaya untuk inovasi pendidikan secara umum. Pertimbangan-pertimbangan ini diajukan dengan prinsip menjelaskan pesan budaya cerita ke dalam bentuk pernyataan berupa harapan  terhadap sistem pendidikan yang diperlukan masyarakat pendukung budaya cerita. Pertimbangan itu bila diterapkan dalam pelaksanaan program pendidikan tentu akan menjadi inovasi yang relevan dengan harapan masyarakat tentang pendidikan.
a.    Berdasarkan pesan budaya kearifan hakikat hidup, pertimbangan untuk inovasi pendidikan sebagai berikut.
1) Pendidikan yang diharapkan masyarakat pendukung cerita klasik merupakan sistem pendidikan yang bervisi dapat mencerdaskan murid tentang kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dan dengan misi menyelamatkan mereka sejak dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat.
2) Karakter yang sangat diharapkan sebagai hasil pendidikan adalah berilmu, berketerampilan, berusaha, beriman, beribadah, dan bertaqwa di samping karakter baik lainnya.
3) Untuk menciptakan hasil pendidikan dengan karakter yang sudah disebutkan itu maka materi pendidikan harus berisi  materi tentang ilmu umum, ilmu agama, ilmu berketerampilan, dan ilmu budaya (bahasa) dengan porsi yang seimbang dan terpadu.
4)  Masyarakat  budaya menginginkan tamatan pendidikan adalah orang yang setelah tamat pendidikan tidak hanya jadi pekerja tetapi lebih dari itu mereka mampu memimpin dengan empat pilar, yaitu berilmu, beragama, berbudaya, dan berusaha.
5)  Profil tamatan pendidikan yang diharapkan adalah memiliki karakter  ilmuwan, ulama, pengusaha, dan budayawan.
b.   Berdasarkan pesan budaya kearifan hakikat karya, pertimbangan untuk inovasi pendidikan sebagai berikut.
1)  Pendidikan hendaknya melatih murid menjadi orang yang senang bekerja dan berkarya.
2) Pendidikan dilaksanakan dengan wadah untuk berkarya dan bukti keberhasilan pendidikan  ditunjukkan dengan menghasilkan karya/produk (tidak hanya nilai kuntitatif dari hasil ujian).
3)  Karya yang bersifat dasar adalah semua keterampilan untuk keperluan hidup sendiri dan hidup berumah tangga diajarkan pada pendidikan dasar.
4) Karya yang bersifat lanjut yang berhubungan dengan keterampilan dan kecakapan untuk mendukung profesi diajarkan pada pendidikan tingkat atas.
5) Semua tamatan pendidikan tingkat dasar dan tingkat atas telah mempunyai kecakapan dan keterampilan untuk hidup.
6)   Keterampilan tingkat tinggi diajarkan di perguruan tinggi.
c.    Berdasarkan pesan budaya kearifan hakikat waktu, pertimbangan untuk inovasi pendidikan sebagai berikut.
1) Pendidikan yang diharapkan masyarakat budaya adalah yang menyadarkan murid akan pentingnya waktu dan mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat.
2) Pendidikan diharapkan dapat melatih siswa memanfaatkan waktu sekarang untuk kebahagiaan di masa mendatang.
3) Proses pendidikan sedapatnya memberikan pelatihan bagaimana menjalani hidup dengan pembagian waktu yang sudah dipolakan cerita.
4) Pendidikan asrama merupakan sarana untuk berlatih hidup yang menggunakan waktu sesuai yang pola  pesan budaya (siang dan malam).
d.   Berdasarkan pesan budaya kearifan hakikat hubungan dengan alam, pertimbangan untuk inovasi pendidikan sebagai berikut.
1) Pendidikan diarah dengan filosofi belajar yang dikenal dengan “alam terkembang jadi guru”.
2) Berbagai perilaku dan sifat alam, serta kerja sistem tubuhnya dapat diambil sebagai pola-pola untuk membangun pengembangan pengetahuan dan teknologi.
3) Pendidikan yang diharapkan, yaitu yang dapat memahami, menyadari, dan menjaga hubungan dengan alam termasuk alam gaib (?).
4) Pendidikan hendaknya membelajarkan murid bagaimana mengekplorasi alam, menggunakan alam, dan memelihara alam.
5) Pendidikan hendaknya menghargai dan memelihara alam dan pemeliharaan alam itu  terkait dengan semua bidang ilmu.
e.    Berdasarkan pesan budaya kearifan hakikat hubungan dengan sesama, pertimbangan untuk inovasi pendidikan sebagai berikut.
1) Pendidikan mengembangkan hubungan persaudaraan dan kesetaraan  tanpa ada unsur dominasi terutama oleh yang lebih berkuasa.
2) Dalam hubungan social, semua pihak hendaknya menunjukkan kompetensi terbaiknya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan demi kebaikan dan kemajuan dan bukan dalam hal adanya dominasi materi atau tujuan pribadi.
3) Ketakwaan merupakan dasar untuk terbentuknya karakter saling tolong-menolong (bekerjasama) dengan sesama.
4) Pendidikan hendaknya menyadarkan murid tentang hubungan yang membawa kebaikan dan hubungan yang tidak membawa kebaikan serta tidak membiarkan kekerasan dalam bentuk apa pun.
5) Cerita rakyat klasik dapat digunakan sebagai alat untuk membelajarkan siswa sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana bentuk hubungan sesama yang baik dan  dalam pendidikan diperlukan untuk membentuk kehalusan rasa.
IMPLIKASI  PESAN BUDAYA  CERITA UNTUK INOVASI PENDIDIKAN
      Berdasarkan pertimbangan pesan budaya yang dijelaskan maka dikemukakan beberapa hal utama sebagai implikasi untuk inovasi pendidikan yang berhubungan dengan kearifan budaya cerita.
1.    Pembelajaran cerita rakyat di sekolah
Cerita rakyat yang bernilai perlu menjadi bacaan wajib dalam pembelajaran  sastra di sekolah dalam masyarakat pendukung cerita terutama dalam pendidikan dasar dan menengah. Keberadaan cerita sebagai bacaan dalam pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah dapat memberikan kontribusi  pewarisan nilai-nilai pendidikan budaya, kemahiran berbahasa, dan bersastra Minangkabau. Menipisnya pengamalan budaya lokal di masyarakat tidak bisa dibiarkan dengan hanya menyerah pada  makin mesranya generasi muda dengan budaya global sebab pemilikan nilai budaya tidak terlepas dari usaha pewarisan budaya itu sendiri melalui pendidikan. Dengan demikian, pembacaan cerita dan apresiasinya di sekolah dapat memperbaiki kualitas anak didik  yang tidak familiar dengan budaya Minangkabau.
Hal itu didukung dengan argumentasi bahwa dunia dalam karya sastra bukan merupakan dunia realita tetapi merupakan realitas fiktif dan imajinatif yang diusahakan pengarang sebagai refleksi kehidupan nyata.  Melalui karya sastra pengarang memberikan petunjuk-petunjuk dan kritikan terhadap kehidupan nyata. Pengarang memberikan solusi terhadap permasalahan hidup yang dialami tokoh cerita sebagai bandingan dalam kehidupan nyata. Dalam karya cerita dapat dijumpai mana budaya yang ditentang dan hal-hal apa yang dibenarkan dalam kehidupan, dalam berkarya, dalam penggunaan waktu, dalam mengelola alam, dan dalam berhubungan dengan sesama.  Cerita menolak tokoh yang bersikap jahat, buruk perangai, egois, rakus, dan tidak berbudi bahasa. Sebaliknya, cerita membenarkan perilaku tokoh yang baik, jujur, bekerja keras, rendah hati, visioner, dan bermanfaat dalam kehidupan.  Karena itu dari cerita diambil nilai-nilai positifnya dan dibuang nilai-nilai negatifnya karena nilai-nilai negatif itu tidak sesuai dengan agama dan adat.  Dengan, demikian melalui pembelajaran di sekolah tentang cerita rakyat murid akan paham tuntutan budaya mereka.
2.   Penerjemahan cerita rakyat
Agar pesan budaya pendidikan yang ada dalam  cerita dapat dipahami secara luas oleh berbagai kalangan maka cerita klasik perlu diterjemahkan ke bahasa nasional dan bahasa asing.  Pembelajaran bahasa asing yang ada di sekolah dasar,  sekolah menengah, sekolah menengah atas  dapat mengunakan cerita rakyat terjemahan untuk belajar. Dengan demikian, murid menguasai bahasa asing dengan sentuhan budaya lokal dan global.
3.   Menerapkan inovasi pendidikan
Kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten kota, dan dinas-dinas pendidikan perlu melakukan tindakan nyata untuk mengapresiasikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita kaba baik dalam pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat.  Pemerintah daerah perlu memperjuangkan sekolah yang relevan dengan kehidupan berbudaya masyarakat yang dipimpinnya. Dalam tulisan ini sudah disampaikan bahwa pendidikan yang diharapkan masyarakat adalah pendidikan memberikan kesimbangan porsi materi ajar antara ilmu umum dengan ilmu agama, keseimbangan pengetahuan dengan keterampilan. Sosok seorang tamatan yang diharapkan adalah berprofil ilmuwan, ulama, pengusaha, dan budayawan yang terintegrasi dalam visi selamat hidup di dunia dan selamat hidup di akhirat.  Karakter tamatan pendidikan yang amat diperlukan adalah beriman, bertakwa, berilmu, berketerampilan, dan berbudaya baik.

PENUTUP
            Berdasarkan uraian yang sudah disampaikan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, inovasi dalam pendidikan nasional terus dilaksanakan sebagai upaya memperbaiki sistem dan kulitas pendidikan. Meskipun demikian, masih banyak pihak yang pesimis akan terbentuknya tamatan pendidikan yang berbudaya baik sebab pelaksanaan pendidikan selama ini tidak mempertimbangkan faktor budaya yang diharapkan masyarakat. Kedua, inovasi pendidikan perlu dipertimbangkan dengan memasukan kearifan budaya yang menjadi  kebiasaan hidup masyarakat yang terefleksi dalam cerita rakyat mereka. Ketiga, pesan kearifan budaya yang menonjol dalam cerita rakyat Minangkabau tentang pendidikan adalah hidup dijalani dengan beriman, beribadah dan bertakwa, berilmu pengetahuan dan berketerampilan hidup. Hidup dijalani dengan berusaha dan berdoa dan memaksimalkan manfaat bagi diri, keluarga dan orang lain.  Keempat, pendidikan yang dibutuhkan masyarakat sesuai dengan cerita rakyat mereka adalah pendidikan yang membentuk karakter beriman, beribadah, bertakwa, berilmu, berketerampilan, dan berbudaya baik. Kelima, implikasi kearifan budaya dalam cerita terhadap inovasi pendidikan adalah supaya pendidikan memberikan materi ajar tentang agama, pengetahuan umum dan teknologi, keterampilan hidup, dan budaya  yang seimbang.  Keenam, penggalian kearifan budaya masyarakat yang baik perlu diaktualkan dan kemudian pendidikan yang dilaksanakan hendak diinovasi agar bermisi yang relevan dengannya.  Ketujuh, kajian ini baru sebatas pertimbangan untuk inovasi pendidikan dan perlu pembahasan relavasinya dengan teori tentang inovasi pendidikan.  Namun demikian, inovasi dalam pendidikan berdasarkan kearifan budaya masyarakat yang termuat dalam cerita rakyat  diyakini dapat membawa dampak yang baik terhadap hasil pendidikan yang diharapkan karena  tamatan pendidikan yang berbudaya yang sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat akan menyamankan kehidupan.  

REFERENSI