Selasa, 14 Februari 2012

Terlambat?

  
Suatu pagi penulis menuju kelas yang akan diajar. Ketika hendak masuk  penulis tertegun sejenak dan teringat kembali cerita-cerita tentang mahasiswa yang terlambat datang dan komitmen untuk disiplin. Namun karena  merasa diperhatikan mahasiswa dari dalam kelas, penulis mengangkat tangan kiri melihat jam tangan dan ternyata jarumnya menunjukkan tepat jam tujuh. Penulis mengucapkan assalamualaikum di depan pintu. Seperti biasa hampir semua mahasiswa menjawab salam, alhamdulillah.  
Ketika  sudah mengajar di kelas,  aktivitas belajar sering terganggu oleh mahasiswa yang terlambat. Apalagi pada musim penghujan maka banyak  yang datang tidak tepat waktu. Dalam menangani kasus yang demikian berbagai macam cara telah dilakukan dosen. Meskipun demikian banyak cerita tentang mahasiswa yang terlambat itu  dan penulis menyadari bahwa cerita-cerita itu berkaitan dengan  pengungkapan tertentu yang digunakan pendidik sebagai ekspresi untuk menentukan apakah mahasiswa boleh atau tidak  mengikuti pembelajaran. 
Seorang alumnuswan  yang  sudah purnabakti dari pegawai negeri bercerita. Ketika itu penulis bertemu beliau, kami saling mengucap salam dan bertegur sapa dengan hangat dan akrab. Lalu beliau tidak membuang kesempatan untuk  bertanya-tanya kepada penulis tentang kehidupan kampus. Lama kami berbincang dan di ujung percakapan, beliau saja yang bercerita dan penulis mendengarkan saja dengan mahfum.
Ceritanya, “Waktu kuliah  dulu ada pengalaman saya yang unik dan menggelikan. Begini Pak, saat itu perkuliahan dimulai pukul tujuh tepat dan semua pembelajar sudah harus melewati pintu masuk dan tidak boleh telat semenit pun. Pagi itu saya datang beberapa menit sebelum jam tujuh supaya tidak terlambat. Ternyata ketika saya hendak masuk kelas,  dosen yang akan mengajar sudah berdiri di depan pintu. Saya menyapa Beliau serta memberi salam dengan hormat dan beliau pun menjawab salam saya dengan suara kebapakan. Sebelum saya masuk, Beliau bertanya di mana saya tinggal dan saya jawab “di tepi pantai”. Lalu saya lihat Beliau mengamati  saya sekilas dari atas hingga ke kaki sembari senyum-senyum  ringan. Lalu Beliau bertanya dengan serius.
“Mana pistol Saudara?”
Terus terang saya kaget dengan pertanyaan Beliau itu dan dengan terbata-bata saya menyangkal.
“Saya tidak pernah membawa pistol Bapak, sungguh Bapak!
 Melihat saya kikuk  Beliau segera menimpali jawaban saya.
“O… begitu ya! Saudara pura-pura kali…? “
“Sungguh Bapak seumur-umur saya belum pernah memegang pistol.”
“Ah … masak iya, jangan pura-pura melulu Saudara!”
“Iya… Bapak, kalau Bapak tidak percaya… saya bersumpah….”
“O…o…tidak perlu. Saudara tidak perlu bersumpah. Maksud saya…  saya perhatikan  Saudara mirip koboy: bercelana jeans, berbaju kaos oblong, berjaket,  bertopi, dan sepatunya juga. Nah…karena pistolnya saja yang tidak tampak makanya saya tanyakan, “pistol Saudara mana?”   
“O…iya Bapak, maaf… maaf… Bapak.” Saya malu dan terdiam. Di  dalam hati terasa gundah dan ciut disindir oleh Beliau.
Di saat saya bingung begitu, lalu Beliau berkata “Sekarang sudah tepat jam tujuh sedangkan Saudara masih di luar pintu. Jadi, Saudara tidak boleh masuk.” Sembari Beliau menunjukkan jam tagannya tanpa marah. Saya kembali tersadar bahwa kami memang  sudah membuat kesepatakan dengan Beliau di awal perkulihan. Meskipun demikian saya berpikir dan bertanya-tanya sendiri dan jawab sendiri, saya tidak bisa masuk karena terlambat atau terlalu ngoboy? Kok bisa begitu ya? Untungnya, sejak kejadian itu, saya selalu berpakaian rapi dan lebih dulu daripada beliau masuk kelas dan tidak pernah terlambat.
Di samping itu ada cerita teman saya. Katanya seorang mahasiswa bernama Pandut terlambat datang kuliah dan dengan sedikit malu-malu dan cemas ia  menyelonong saja masuk pintu  yang terbuka tanpa salam agar tidak diperhatikan dosen.  Meskipun demikian  dosennya saat itu  tetap mengawasi walaupun beliau sedang menghadap papan tulis menyelesaikan soal. Lalu dosennya  berkata,  “Pandut … tolong tutup pintu buat ibu dari luar!” Pandut kaget  dan  dengan langkah yang enggan serta pandangan yang tunduk  ia  menutup pintu dari luar. Dengan menutup pintu dari luar tertutup  pulalah kesempatan baginya untuk menimba ilmu hari itu begitu juga dengan teman-temannya yang menyusul terlambat datang karena pintu sudah tertutup. Dalam hati Pandut bergumam, “Ibu guruku ini boleh juga menegakkan disiplin tetapi tindakan beliau merugikan mahasiswa. Sayaterlambat karena macet dan becek, mestikah  ini diterima apa adanya atau haruskah diprotes?   Sampai kini, ya didiamkan saja.
Ada lagi cerita lain  mahasiswa yang bernama Alam. Ia terlambat masuk kelas kuliah 30 menit dan itu sudah beberapa kali. Meskipun demikian ia tetap mengetuk pintu dan pintu terbuka buat dirinya. Ia dipersilakan oleh dosennya masuk dan ia dapat mengikuti perkuliahan hingga akhir. Dosen Alam terkenal agak lunak dalam menyikapi keterlambatan mahasiswa sehingga baginya kedatangan mahasiswa itu sangat berharga daripada tidak datang dan tidak belajar sama sekali. Bagi dosen Alam semboyan yang diaplikasikannya juga terkait dengan kata pintu, yaitu “Pintu  selalu terbuka untuk  mahasiswaku.”   Jadi, meskipun Alam terlambat namun kegiatan belajar tetap dapat diikuti oleh Alam sampai akhir perkuliahan. Di akhir perkuliahan Alam dipanggil dan dinasehati dosennya untuk tidak terlambat datang ke kampus terutama dalam  perkuliahan.  Sejak itu Alam masih pernah datang terlambat dan tetap masuk.
Cerita keempat, baru-bari ini penulis dengar dari seorang mahasiswa. Katanya kami   kalau belajar di kelas kami harus masuk lebih dahulu dari dosen  dan dikatakan Beliau adalah memalukan kalau mahasiswa masuk kelas belakangan dari kedatangan dosen di kelas. Dosen pun menegaskan bahwa mahasiswa harus lebih dahulu melalui pintu masuk daripada dirinya dan siapa yang sudah terlambat setelah dosen melewati pintu maka mahasiswa itu tidak usah masuk.  Lalu saya tanyakan jam berapa dosen datang, apakah tepat waktu? Jawab mereka iya… (sambil menepis senyum) tapi yang penting itu mahasiswa harus dulu dari dosen. O…begitu ya, balas saya.  Pada pengalaman mahasiswa itu, ada juga ungkapan yang dijadikan sebagai alat untuk menentukan siswa tidak boleh masuk kelas. 
Setelah sepuluh menit saya di kelas salah seorang mahasiswa saya masuk dan langsung duduk ke bangku yang kosong. Lalu saya katakan, “Saudara kembali ke luar dan masuklah dengan cara yang benar. Pertama ketuk pintu tiga kali dan saya akan bilang “masuk”,  lalu buka pintu dan ucapkan salam, setelah itu Saudara bertanya pada Bapak, apakah boleh masuk ikut belajar atau tidak. Ayo, Nanda  lakukan!” Dia bergegas ke luar lalu menutup pintu. Pintu diketuk tiga kali, lalu saya katakan “silakan masuk”. Lalu ia mengucapkan salam dan seluruh isi kelas menjawab salamnya. Kemudian ia bertanya, “Bapak, apakah saya boleh masuk dan belajar hari ini?” Lalu saya bertanya, “Ananda terlambat karena apa? Lalu ia menjawab, “Semalaman saya menjaga orang tua yang sakit Bapak dan paginya sedikit ketiduran”.  Kamu benar dan tidak dusta? “Benar Bapak.” “Ya, kalau begitu  silakan masuk.” Lalu saya katakan kepada semua anggota kelas “masuk pintu kelas ada adabnya dan pintu terbuka bagi yang mempunyai alasan yang benar”.
        Yang menarik cerita terakhir ini.  Saya bertemu dengan seorang kepala sekolah dalam sebuah seminar  dengan tema pendidikan karakter.  Sekolah yang dipimpinnya termasuk sekolah yang menonjol dalam pembinaan karakter  murid. Ketika itu, beliau bercerita tentang bagaimana membentuk karakter   anak dengan cara dibiasakan dengan  kantin jujur dan hadiah untuk yang jujur. Lalu tentang kebersihan dan aktivitas anak-anak bersih-bersih  di sekolah tentang pembinaan karakter bersih. Kemudian beliau juga menceritakan tentang pembentukan disiplin dan menangani anak yang terlambat.
         Katanya, kami membiasakan disiplin untuk membentuk karakter disiplin. Oleh karena itu, pintu gerbang  masuk sekolah sudah ditutup  oleh bapak  satpam tepat jam belajar dimulai. Nah, anak-anak dan guru yang terlambat harus berdiri di luar sekolah lalu untuk bisa masuk mereka harus minta izin kepada pimpinan sekolah dan pimpinan sekolah mencatat pada buku catatan pelanggaran disiplin dan mereka dikasih poin pelanggaran. Setelah dizinkan barulah  mereka boleh masuk ke sekolah.
Nah itu baru masuk sekolah, sedangkan untuk masuk kelas murid harus minta izin kepada murid-murid yang ada dalam kelas dan kepada gurunya. Anak yang terlambat diharuskan minta izin pada teman-temannya karena dia telah mengganggu proses belajar.  Maka anak yang telambat mengatakan, “Maaf teman-teman saya mengganggu kalian, saya terlambat, saya berjanji besok tidak akan terlambat lagi. Bolehkan saya belajar bersama kalian? Lalu semua murid menjawab, “Ya boleh,  asal kamu menepati janji tidak akan terlambat lagi”. Lalu si anak yang terlambat mengucapkan  permintaan maaf dan berjanji kepada sesama dan kepada gurunya. Setelah itu gurunya mengizinkan duduk dan  barulah sang murid boleh duduk. Ini lah cara kami menggugah kesadaran murid untuk berdisiplin. Ternyata setelah cara yang demikian diterapkan dan berlangsung beberapa minggu hampir tidak ada lagi murid dan guru yang terlambat semua menjadi disiplin.

Tidak ada komentar: