Minggu, 21 Oktober 2012

Pembelajaran Bahasa Multilingual sebagai Syarat Kebangkitan Bangsa



Oleh

  Abdurahman

Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang





Pendahuluan

Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia pada tahun 1945 merupakan sebuah hasil perjuangan yang tidak terlepas dari bagaimana para penegak kemerdekaan itu menyikapi dan mengambil keputusan bersama tentang perlunya berbahasa perjuangan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai produk pemikiran dan perjuangan ideal yang menjadi lentera perjuangan bangsa Indonesia, yang dengannya orang Indonesia  dapat melihat dan merumuskan dengan jelas ke mana arah pergerakan bangsa harus dilabuhkan. Dengan adanya bahasa Indonesia  perjuangan bangsa kita --yang pada mulanya  masing-masing suku yang ada di nusantara eksis menyuarakan perubahan dengan  bahasa sendiri-sendiri seperti suku Jawa dengan bahasa Jawa, suku Sunda dengan bahasa Sunda dan suku Minangkabau dengan bahasa Minangkabau dan seterusnya— yang tercerai-berai dapat disatukan dan disuarakan dalam bahasa Indonesia dengan bersatu ‘kata’, yaitu Indonesia merdeka.
Dalam adanya sikap berbahasa yang demikian, jelaslah keputusan berbahasa Indonesia itu telah menjadikan bangsa Indonesia telah maju selangkah dalam beraksara, yaitu dari bangsa dengan suku-suku yang ekabahasa lalu menjadikan mereka berdwibahasa atau bermultibahasa dalam gerakan perjuangan bangsa Indonesia. Itu juga berarti suku-suku yang selama ini berkiprah hidup hanya dengan bahasa daerah (baca lokal) baru dapat maksimal mencapai gerak perjuangan yang lebih tinggi ke tingkat nasional dengan menguasai bahasa Indonesia atau dengan kata lain mereka yang ekabahasa lokal saja tidak akan mampu bicara ke tingkat nasional tanpa menguasai bahasa Indonesia. Arti yang demikian itu, juga melahirkan generalisasi yang berkaitan dengan multibahasa bahwa  orang-orang yang dwibahasawan atau multibahasa lebih memperoleh keuntungan dengan keadaan mereka menguasai beberapa bahasa dibandingkan dengan orang yang hanya ekabahasa di Indonesia.
Dampak positif lebih besar dan lebih menentukan dari kiprah orang yang multibahasa itu dapat dicermati  pada kegiatan bagaimana pelopor-pelopor perjuangan kemerdekaan (Soekarno, M Hatta, M Yamin, dst.) itu menyerap seluruh informasi dari berbagai sumber dan merumuskan serta menyampaikannya kepada rakyat. Mereka pada umumnya adalah orang-orang  yang telah tercerahkan dengan keadaan multibahasa  yang rata-rata menguasai lebih dari dua bahasa. Keadaan yang demikian tentu bertolak belakang  dengan penguasaan bahasa rakyat yang dipimpinnya yang hanya mengusai bahasa lokal dan bahasa Indonesia saja. Dengan menguasai tidak hanya satu-dua bahasa  asing dan bahkan lebih multibahasa, para pemimpin itu, telah membawa anugerah baru berupa ide dan dan pengejawantahan  kemerdekaan dan mereka  dengan berbagai bahasa itu mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan pendukung-pendukung perjuangan itu dari seluruh dunia dan daerah dengan bahasa yang berbeda-berbeda.  Kenyataan ini adalah anugerah yang belum terwariskan secara eksplisitkan, yaitu “kalau mau maju dan mengglobal maka kita harus menaiki alat pembawa kamajuan itu, yaitu multibahasa atau multilingual”.
 Uraian di atas sengaja dipaparkan sebagai landasan berpijak bahwa  multilingual  itu penting bagi kebangkitan bangsa dalam segala bidang. Dari wacana awal kemerdekaan dan perkembangan selanjutnya, disadari bahwa orang yang multilingual pada awal  berotonominya bangsa Indonesia dan sampai saat ini, mereka yang multilingual lebih merespon perkembangan informasi dan dapat menentukan sikap yang lebih komprehensif terhadap perjuangan bangsa ke depan dan mereka lebih memberikan kontribusi untuk pencerahan bangsa kita. Jika kenyataan seperti itu dihibungkan dengan teori sosio kebahasaan, hal itu  merupakan suatu yang relevan dengan apa yang  dibahas para pakar (dalam kajian sosiolinguistik) bahwa multibahasa telah membawa pencerahan dalam berbagai bidang seperti dalam perdagangan, pendidikan, keagamaan, politik dan dalam ilmu serta teknologi. Semuanya itu juga berlaku bagi bangsa Indonesia.
Begitu penting dan besarnya dampak positif multilingual itu, maka perlu kiranya pembelajaran bahasa ke depan direvitalisasi dalam kerangka multilingual. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagaimana kita seharusnya menyikapi multibahasa dan pembelajaran bahasa, agar pembelajaran bahasa dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berbagai keperluan hidup  dan kehidupannya yang dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa.  
Dalam tulisan ini, pemakaian terminologi multibahasa dan multilingual dirujuk sebagai suatu yang sama, yaitu keadaan dimana individu atau masyarakat mampu mngunakan lebih dari satu atau dua bahasa.  Untuk itu, penulis ini dalam tulisan tidak membedakan penggunaan dua kata itu dan penyebutannya bisa bersilih ganti. Selanjutnya,  penulis menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multilingual (sepikiran dengan Chaer, 2007) karena selain menggunakan bahasa Indonesia mereka juga menggunakan bahasa daerah yang ratusan jumlahnya.  Dalam pengembangan bahasa  ke masa depan mereka tentu memerlukan  pencerahan dan  perhatian bagaimana kedaan multilingual itu dipolakan dalam pembelajaran dan pendidikan sehingga membawa keuntungan dalam kehidupan.

 Pembahasan

Sejalan dengan judul tulisan  ini yang menonjolkan perlunya kebangkitan bangsa dan kaitannya dengan pembelajaran bahasa multilingual, maka yang pertama, perlu dibahas syarat kebangkitan bangsa terutama yang berkaitan dengan penguasaan bahasa.  Pengusaan berbagai bahasa oleh individu atau sekelompok masyarakat  perlu karena peningkatan sumber daya manusia dan kualitas aktivitasnya di pentas global tidak bisa lepas  dari peranan multibahasa. Sedangkan sumber daya manusia kita, seperti dikatakan (Latif, 2009:141), bahwa  meskipun jumlah pemuda kita banyak namun kapasitas daya saing mereka dalam kompetisi global masih lemah dan kalau mau maju aspek peningkatan SDM adalah hal prioritas untuk dilaksanakan termasuk mengembangkan kapasitas kemultibahasaan nagsa sehingga menjadi pesain global yang bijaksana.  

Syarat Kebangkitan Bangsa
Latif (2009) menyatakan ada tiga hal dalam transformasi kebudayaan  yang menjadi prasyarat kebangkitan, yaitu dimensi mitos, logos,  dan  etos. Peursen (1988) menjelaskan bahwa ketiga dimensi budaya itu merupakan alam pikiran yang mempengaruhi kebangkitan suatu masyarakat. Menurut penulis ketiga dimensi budaya yang dikemukakan itu kualitas dan kapasitasnya pada seseorang berkaitan erat dengan  peran bahasa dari beberapa yang bahasa yang bisa diaktualkannya. Semakin beragam bahasa yang dikuasai maka semakin dimungkin seorang penutur  memberikan pengejawantahan dimensi mitos, logos, dan etos yang maksimal dan kreatif  mengembangkannya.
Pada aspek mitos sudah seharusnya bangsa ini menjaring mitos dari berbagai bahasa yang secara kualitas menimbulkan efek pembangkit daya saing hidup yang lebih berguna. Ketika bangsa Indonesia masih berkomunikasi, berinteraksi, dan berpikir  dengan bahasa lokal dan belum mempunyai bahasa nasional sebagai media budaya, mitos yang yang hidup dalam masayarakat hanyalah kepercayaan yang bersumber pada khasanah tradisi lokal semata. Di sadari mitos yang terkode dalam bahasa lokal (daerah) meski banyak yang baik tetapi yang menonjol hanyalah yang klenik, tragis, licik, dan horor. Sebagai contoh, mitos kancil yang cerdik yang dapat mengalahkan buaya dan harimau, yang hidup dalam budaya lokal  diapresiasi oleh sebagian orang supaya hidup disikapi dengan tipuan-tipuan, kelicikan, dan berbagai keculasan. Dorongan mitos itu memunculkan interpretasi bahwa  orang-orang bawahan bisa saja mengelabui dan mesti menculasi pihak atasan meskipun  itu  tidak benar secara logika.  
Di samping itu masih ada mitos  budaya yang hidup dalam berbagai bahasa daerah yang dominan dipakai sehari-hari tidak mengarah pada pecerahan aspek ideal yang batiniah, malah terperangkap pada irasionalitas dan ketakutan semu yang sebenarnya merupakan akibat dari tipuan  keyakinan. Mitos yang demikian telah mengiring pada keyakinan yang melemahkan produktivitas berpikir kritis dan mengikis kepercayaan yang benar  pada aspek religi. Dan yqang lbih tragis mitos itu dapat pula melemahkan gerak aktivitas seseorang. Oleh karena itu, bila masyarakat menjalani hidup hanya dengan bahasa dan budaya daerah saja sebagai pendukung aktivitas hidupnya, maka paham mitis yang merugikan itu menjadi penghalang kemajuan dan akibatnya kita belum dapat membuat gerakan yang berkontribusi positif dalam kebangkitan bangsa.  
Fenomena mitis yang demikian tentu berbeda setelah bahasa Indonesia eksis dalam kehidupan masyarakat dan berkembang dalam beberapa periode sehingga  apresiasi dan kreasi terhadap budaya mistis lebih berkembang meninggal dunia spkulatif itu. Kita telah melihat berbagai kemajuan dalam bahasa, sastra, seni meskipun sosok keyakinan mistik dan klenik tampaknya tidak lepas dari budaya kita seperti budaya mitis sineas yang muncul  lebih mengenal berbagai nama-nama hantu, benda keramat, dan sakti-saktian.
Ke depan kita membutuhkan pencerahan mitis yang memberikan pengayoman pada kehidupan yang serba multi, dengan penggunaan multibahasa yang berpihak kepada keadilan dan kebersamaan. Sebagai bangsa yang multilingual, multikultural, dan multispritual  maka mitos-mitos yang ada perlu diarahkan agar mitos-mitosnya  memberikan tuntunan berlandaskan pencerahan religi  yang juga tidak bisa terpisah dari pencerahan bahasa sumber agama, yaitu  bahasa kitab suci.
Pada dimensi logos perlu diaktualkan bahwa pendidikan multilingual adalah sarana pencerahan  pengetahuan dan pemahaman yang diperlukan dalam pembentukan kesetaraan dan kesempatan interaksi dengan berbagai bahasa. Multilingual merupakan sarana yang perlu diciptakan demi keberlangsungan penguasaan logos sehingga menjadi bangsawan pemikiran lokal yang mengglobal dan lepas dari hegemoni  kapitalis yang cenderung mengerdilkan pihak yang dikelolanya.  Dalam literasi berbahasa Indonesia yang berkembang sebagai implikasi dimensi logos,  teks-teks logos atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada lebih didominasi oleh  karya berupa  transliterasi dari referensi asing yang jumlahnya terbatas. Hal itu seakan menunjukkan bahwa usaha kita mewujud produk logos masih lemah sehingga tidak ada referensi bahasa Indonesia yang tersedia yang memadai bagi pembelajar pada berbagai jenjang pendidikan. Di sisi lain, pembelajar juga lemah dalam berbahasa asing dan gagal mengambil pesan logos dari teks asing. Dalam hal ini, amat pentinglah multilingual dieksiskan supaya  aktivitas dalam pencerapan dan pengembangan dimensi logos berjalan dengan lancar.  Meningkatkan kapasitas  kemampuan logos merupakan persyaratan pencerahan  nagsa ke masa depan.
Selain itu, pada dimensi etos  bangsa Indonesia harus mempunyai arah hidup supaya  tidak menjadi bangsa yang arah hidupnya tidak dalam. Kita perlu membangun karakter dan itu dibangun dengan kesungguhan dalam mempertahan arah dan tujuan hidup. Semua harapan kebangkitan itu, bisa dicapai dengan meluaskan wawasan dan pemikiran dengan peran multilingual.  Manusia yang terbatas berbahasa lokal dan nasional hanya  berkiprah  sebatas dalam negara dan tidak bisa melapaui batas teritorial  Indonesia. Tantangan even international  sering tidak teriringi  bangsa kita hanya  karena keterbatasan pengusaan bahasa asing.  Dalam keadaan yang demikian kerja dan karya yang dihasilkan amat terbatas dan wawasan yang dijadikan pengayoman dan pengembangan tidak mendunia.  Sebagai contoh, seorang bupati yang multilingual tentulah  dapat memperluas wawasannya dengan berbagai informasi yang disajikan teknologi informasi dunia dibandingkan bupati yang hanya berbahasa nasional.
Menyadari perlunya dimensi mitos, logos, dan etos dalam kiprah kebangkitan bangsa maka pembentukan multilingual yang aktif merupakan suatu tuntutan yang perlu dijawab secepatnya agar kader-kader muda bangsa kita tidak hanya seperti terkurung dalam sangkar budaya nasional tetapi hendaknya bisa terbang jauh membawa pesan lokal ke  dunia global  dan memuliakan kemanusiaan manusia. 

Substansi Multilingual
            Multilingual adalah kemampuan untuk bisa dan biasa menggunakan bahasa lebih dari dua bahasa (Sumarsono dkk. 2002) sedangkan multilingualisme merupakan gejala pada seseorang atau masyarakat yang ditadai oleh kemampuan atau kebiasaan memakai lebih dari satu bahasa (Kridalaksana, 2008).  Istilah multilingual juga berkaitan dengan monolingual, yaitu orang yang hanya menguasai satu bahasa dan bilingual, yaitu orang menguasai dua bahasa,  yang secara teoretis merupakan akaibat dari adanya kontak bahasa (Chaer, 2007).
            Multilingual merupakan hasil dari kontak bahasa pada masyarakat yang terbuka menerima kedatangan masyarakat lain sehingga mereka melakukan alih kode dalam berbahasa. Kemampuan  itu biasanya juga terjadi karena masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa membentuk masyarakat baru sehingga terbentuk masyarakat mejemuk dengan multibahasa. Secara umum ada beberapa penyebab terjadinya multibahasa di antara faktor migrasi, yaitu perpindahan penduduk yang meluas sehingga  berbaur dengan kelompok lainnya. Kedua, dalam proses penjajahan yaitu  terjadinya  kontrol  bangsa yang satu kepada suku lainnya dengan menggunakan bahasa mereka.  Ketiga, federasi dan keempat pengaruh  wilayah perbatasan. 
Dalam masyarakat multilingual yang gerak mobilitasnya tinggi, anggota masyarakatnya akan cenderung menggunakan lebih dari dua bahasa  dalam kehidupannya, baik sepenuhnya maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhannya. Di seluruh dunia  komunitas yang memakai satu bahasa hanya sekitar tiga belas  persen. Selebihnya, paling tidak menggunakan dua bahasa. Bangsa Indonesia tidak termasuk dalam kategori tersebut karena bangsa Indonesia  pada umumnya menguasai dua bahasa, yaitu bahasa-bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Anak-anak Indonesia  yang sudah mengecap pendidikan sudah bisa disebut sebagai multilingual karena mereka sudah menggunakan beberapa bahasa secara sebagian atau keseluruhan. Kefasihan berbahasa secara multilingual amat tergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan berbagai bahasa  dalam kehidupan. Semakin banyak kesempatan maka kefasihan dalam  berbagai bahasa  akan terbentuk  dengan baik.    
          Selanjutnya, fenomena keberagaman penggunaan bahasa saat ini adalah isu penting yang berkembang ke permukaan karena dengan adanya multilingual  akan menentukan kelangsungan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Dengan sumber daya yang multi bahasa maka peran dalam berbagai bidang lebih mudah untuk diambil dalam berbagai bidang kehidupan.  

Pendidikan Multilingual
Beberapa Negara Eropa seperti Belanda, Denmark, dan Swedia menerapkan pendidikan multi lingual semenjak sekolah menengah, bahasa asing yang menjadi pilihan adalah bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Selain itu, Singapura, Malaysia, dan Brunei serta Philipina jauh sebelumnya (1960-an) telah menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dalam Negara mereka. Oleh karena itu,  tidaklah mengherankan kalau mereka lebih maju dalam mengakses informasi global untuk kemajuan Negara mereka dibandingkan Indonesia. Negara berbahasa Inggris telah melingkungi Negara Indonesia dan Indonesia sudah seharusnya berpendidikan multilingual dengan bahasa Indonesia dan bahas Inggris. Sekarang di Indonesia sekolah multilingual baru dimulai dibuka, ada TK, SD, SMP, dan SMA multilingual yang lebih dikenal dengan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) namun itu semua kelihatan seperti uji coba saja.
Bijaknya, Indonesia hendaknya harus serius untuk membina sekolah multilingual karena berbagai kepentingan bangsa ini amat terkait dengan berbagai aktivitas berbahasa international. Bagi muslim mereka amat membutuhkan mengerti bahasa Arab karena mereka membaca kitab suci berbahasa Arab dan beribadah rutin (shalat) dengan bahasa Arab. Selanjutnya, dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan iptek para pembelajar tidak bisa terlepas dari bahasa Inggris karena bagaimanapun referensi yang ditawarkan dosen atau pengajar masih banyak dalam bahasa Inggris. Dalam perdagangan kita sebenarnya amat membutuhkan  bahasa China karena bangsa China banyak berkiprah dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Sebaliknya, anak kita yang hidup di kota tidak lagi mengenal bahasa daerah karena mereka berbahasa I bahasa Indonesia, dan tentu mereka perlu  mengerti bahasa daerah untuk dapat menghayati budaya daerah mereka.
  Pentingnya multilingual juga terkait dengan hasil penelitian yang menunjukkan efek positif pada anak. Berbagai hasil penelitian seperti yang dinyatakan Hoff (2005) menunjukkan bahwa jika anak-anak yang diajarkan secara benar untuk belajar multibahasa pada usia dini  secara keseluruhan dapat memacu perkembangan anak. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang belajar multibahasa sejak usia dini biasanya lebih sukses dalam kehidupannya karena sudah terbiasa berhubungan dengan bermacam-macam bahasa dan bahasa-bahasa itu  menjadi media komunikasi saat anak menjadi dewasa dan memasuki dunia kerja. Kompas.com melaporkan bahwa manfaat belajar bahasa kedua pada usia dini meliputi segala sesuatu dari meningkatnya kemampuan kreativitas dan anak memiliki pemahaman yang lebih luas tentang budaya.
Hal itu merupakan dasar motivasi untuk belajar berbagai bahasa. Di samping itu, bahasa asing merupakan investasi serta bekal masa depan anak untuk karirnya. Hal itu juga menjadikan banyak orang tua yang mengenalkan bahasa asing sejak dini. Dengan harapan anak dapat bersaing di pasar global dan dapat mengisi lapangan pekerjaan nantinya.

Metode Pembelajaran Multilingual
Metode immersi,  banyak diadopsi dalam proses pengajaran multibahasa. Metode ini tidak mementingkan tata bahasa, tetapi cara pengertiannya dalam konteks. Kalimat yang diajarkan dihubungkan dengan perbuatan. Apa yang dituturkan oleh guru dihubungkan dengan gerakan, mimik, maupun bahasa badan yang menunjang tanpa penekanan dalam tata bahasa maupun kosa kata. Cara pengajarannya menggunakan contoh, misalnya dibuatkan bentuk pesawat dari kertas untuk mengenalkan pesawat dalam bahasa yang diajarkan. Hal ini merupakan inti dari metode immersi. Dengan metode ini, anak berlatih bahasa asing tanpa harus menerjemahkan apa yang mereka dengar dan ucapkan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya mengenalkan musik, tarian, atau makanan dari negeri asal bahasa yang dipelajarinya, juga menyediakan buku-buku, video, atau bahan lain dalam bahasa asing. Bahkan jika memungkinkan, guru dan orang tua bisa mendorong anak untuk menjalin sahabat pena dengan anak-anak dari negeri asal bahasa yang dipelajarinya.
Di sekolah guru menggunakan bahasa yang dikuasai untuk berbicara dengan anak. Disarankan agar tidak memakai bahasa yang bercampur-campur saat berbicara dengan anak. Misalnya guru A memakai bahasa Indonesia, guru B bahasa Inggris, guru C bahasa daerah tidak menjadi masalah, asal tidak dicampur-campur sehingga anak bisa paham satu per satu bahasa. Dalam mempelajari bahasa, anak-anak memahaminya dalam konteks secara keseluruhan dan kadang-kadang tanpa mengerti kosa kata yang digunakan secara detail. Secara intuitif anak belajar mengerti bahasa yang mereka dengar dengan benar sesuai perkembangannya. Prosesnya sama dengan mereka belajar bahasa ibu, yaitu tanpa mengajarkan tata bahasa, kosa kata, dan sebagainya.
Selain itu, di rumah gunakan kiat-kiat berikut ini: 1.  Untuk membesarkan anak multilingual, penting bahwa kedua orang tua benar-benar berkomitmen untuk ide ini. 2. Setelah kedua orang tua berkomitmen dan sepenuhnya memahami manfaat yang terkait dengan membesarkan anak dengan kemampuan multilingual, Anda akan perlu untuk memilih metode yang paling sesuai dengan Anda dan keluarga. Pastikan Anda membuat rencana yang masuk akal. Ada dua metode yang paling populer dan paling efektif yakni OPOL (One Parent One Language).  3. Dekatkan anak Anda dengan anggota keluarga yang berbicara bahasa asing tersebut secara fasih. Buat jadwal anak  menghabiskan waktu dengannya. Jika Anda memiliki dana lebih, memberikan les juga bisa jadi pilihan.

Penutup
            Fenomena keberagaman penggunaan bahasa saat ini adalah isu penting yang berkembang ke permukaan karena dengan adanya multilingual  akan menentukan kelangsungan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Dengan sumber daya yang multi bahasa maka peran dalam berbagai bidang lebih mudah untuk diambil dalam berbagai bidang kehidupan.  Bijaknya, Indonesia hendaknya harus serius untuk membina sekolah multilingual karena berbagai kepentingan bangsa ini amat terkait dengan berbagai aktivitas berbahasa international. Ada empat bahasa yang disarankan, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa Inggris sebgai bahasa iptek dan komunikasi global,  bahasa China untuk berkiprah dalam bidang ekonomi dan perdagangan, bahasa daerah karena mereka berbahasa I bahasa Indonesia, dan tentu mereka perlu  mengerti bahasa daerah untuk dapat menghayati budaya daerah mereka. Selanjutnya metode yang dianjurkan adalah metode immerse.

1 komentar:

Vendo Olvalanda.S mengatakan...

Subhanallah
Wah kapan ya pak saya bisa duduk menjadi narasumber besar seperti bapak..