Oleh: Abdurahman
Kenangan manis di SMP banyak yang tidak terlupakan, mungkin seperti kenangan-kenangan yang lain juga. Kenangan masa remaja ketika aku di kelas satu, kenangan pada aksi temanku yang bila teringat membuatku tersenyum bercampur sedih. Kenangan itu setelah aku menjadi pendidik lumayan baik menjadi pengalaman yang berharga dalam menghadapi tugas. Dan tidak disadari peristiwa itu telah dijadikan sebagai sarana yang bermanfaat untuk mengintropeksi kegiatan pendidikan yang ku lakukan.
Dulu di SMP, aku mempunyai seorang teman yang lebih akrab ku panggil dengan Vavo. Seorang remaja yang sedang bertumbuh dengan berperawakan tinggi, berambut keriting, dan berhidungnya mancung, dengan kulit berwarna tidak jauh beda dengan kulitku, sawo matang. Jika diperhatikan sosoknya, ternyata ia orang muda yang lumayan, maksudku nyaman dipandang mata. Temanku yang satu ini orangnya cukup perhatian meskipun seingat aku, ia tidak terlalu sering buka mulut alias pendiam.
Sekali-sekali Vavo menampakkan giginya yang putih dengan alunan kata-kata yang menggelitik dengan suara bernada sofran. Lalu kekakuan dan keheningan berganti kehangatan di antara kami, tawa canda membuncah dan suasana pun jadi hangat dan akrab. Maksudku kehadirannya di antara kami mengundang bibir merekah dengan menebarkan senyum dan tawa canda. Pokoknya, dengan Vavo suasana bisa ceria dan tanpa Vavo tidak ada tuturan canda yang menggoda. Begitu penilaianku padanya dan kukira penilaian kawanku yang lain juga sama.
Kenanganku yang mengesankan tentang Vavo bukan tentang canda tawa atau keelokkan wajahnya tetapi suatu kenangan yang pada awalnya amat lugu, tetapi kemudian menantang arus, dan penuh konflik ekspresi diri seorang remaja. Dan karena itu pula kenangan itu tetap setia padaku dan juga mungkin karena itu aku alami dalam kehidupan usia belia. Kata orang bijak hal yang kita alami dimasa kecil memang bagai menulis di atas batu dan sulit luntur dan apalagi dilupakan.
Pada waktu itu hari Senin dan aku lupa-lupa tidak ingat lagi tanggalnya. Pada jam pertama semua insan SMP-ku mengikuti kegiatan upacara bendera. Seperti Senin yang telah lewat-lewat upacara berjalan tertib dan penuh hikmad. Sudah hampir saat akhir tidak ada yang lain dalam upacara kali ini dibanding upacara sebelumnya. Lalu ada yang mengagetkan kami, pemanggilan nama temanku ,Vavo, yang terdengar lantang dari pengeras suara. Dia dipersilahkan maju ke depan oleh bapak wakil kepsek--seorang guru yang kami panggil Babe berbadan gembur dan suka senyum—, ketika itu beliau baru selesai memberikan amanat-amanat yang diselingi dengan ilustrasi-ilustrasi mendidik. Pemangilan Vavo kali ini mengundang tanya di hati, dan di antara kami tidak ada yang tahu mengapa Vavo harus maju ke depan. Aku sendiri hanya mengira-ngira, barangkali ia dapat prestasi lagi pada cabang silat karena ia memang atlit pesilat tangguh dari sekolah kami. Tapi mungkin aku salah dan mungkin hanya guru-guru yang tahu karena mereka terlihat mangut-mangut, atau Vavo sendiri juga tidak tahu karena ia terlihat bengong saja.
Anak-anak penuh perhatian mengamati Vavo dan aku pun bertanya-tanya dalam hati. Ada apa gerangan dengan Vavo? Prestasi apa yang telah dilakukannya sehingga ia dapat kesempatan maju ke depan atau sebaliknya apakah ia akan dihukum karena telah membuat kesalahan? Rasa penasaranku mengejar pradugaku pada Vavo, teman baikku itu, seperti juga praduga murid-murid peserta upacara lainnya.
Vavo menuju ke depan dan ia berdiri mengahadap ke arah kami sedangkan kepalanya agak menunduk dan tidak ada tanda-tanda ceria pada gelagatnya. Aku mengira, mungkin ia sedang berpikir apa yang akan diterimanya. Saat yang sama wakil kepala sekolah bagian kesiswaan maju ke depan, namanya Bapak Saif, seorang guru olahraga yang dulunya sangat atletis tubuhnya. Bapak Saif, mendekati alat pengeras suara lalu matanya memandang ke seluruh murid sambil kepalanya setengah berputar. Wajahnya sedikit tegang, lalu ia berkata,
“Anak-anakku semua, pada hari ini saya akan menyampaikan suatu berita kepada kalian…” Lalu ia berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan kata-katanya seakan-akan tahu rasa penasaran kami.
“Salah satu siswa sekolah kita ini telah jatuh cinta kepada Ibu Ronla, guru bahasa Inggris kalian…” lalu semua mata murid seakan serentak menoleh kepada Vavo dan menatapnya dengan seksama.
“Vavo telah menyampaikan isi hatinya dengan selembar kertas yang berjudul, “I love you, my teacher”.
Kemudian Pak Saif melanjutkan membaca isi tulisan berbahasa Inggris itu yang intinya menyanjung-nyanjung Ibu Ronla. Mendengar penjelasan Pak Saif, Vavo tidak berkutik, dia mematung, dan menunduk entah proses apa yang terjadi pada dirinya. Murid-murid yang lain pun sangat kaget, rasanya tidak percaya anak SMP jatuh cinta pada guru dan berani menulis surat pada gurunya sendiri. Beberapa saat dengan kondisi keheranan itu, lalu terlihat pada ujung kiri anak kelas tiga mulai berisik dan tiba-tiba mereka tertawa terpingkal-pingkal dengan pandangan yang tetap lekat pada Vavo. Di bagian lain ada anak-anak yang mengejek. “Huuuu … dasar anak bandel, hukum saja Pak, biar tahu rasa dia.” Agaknya tanggapan mulai ramai dan Ibu Ronla sendiri aku amati wajahnya memerah. Mungkin beliau amat tersinggung dan marah karena dilecehkan oleh murid yang ia didik dan tidak ada sopan-santunnya.
Lalu, Pak Saif melanjutkan komentarnya dan sekaligus memberikan nasehat-nasehat agar anak-anak berbuat yang positif dan tidak bermain-main dengan kata “love” apalagi kepada guru. Setelah merasa cukup menyampaikan wejangan nasehat-nasehat, lalu ia mengatakan agar Vavo nanti ke kantor menemui ibu guru Ronla untuk meminta maaf. Lalu Pak Saif kembali ketempat dan upacara finis.
Selesai upacara, kami bubar dan kata-kata “I love you my teacher’’ terdengar di sana-sini dengan frekuensi penyebutan meningkat di kalangan anak-anak yang diiringi dengan senyum geli dan tawa canda. Vavo sendiri langsung menuju kantor guru dibelakang iring-iringan guru. Vavo tidak menoleh dan masih menunduk dan lebih penurut dibanding kuda yang dituntun.
“Vavo-vavo…” keluh ku, “Kamu benar-benar suka membuat kejutan tapi kali ini kamu menangung resiko besar. Mudah-mudahan tidak kualat” gumamku sambil menarik napas dalam.
Di dalam kantor Vavo dengan wajah sedikit pucat dan hati merasakan amat malu masih saja menunduk. Di hadapan ibu Ronla ia tidak kuat mengangkat wajahnya, kakinya terasa gemetar ditatap ibu guru yang disayanginya itu. Ibu Ronla sendiri wajahnya masih sedikit memerah menunjukkan hatinya masih marah. Vavo ingin menyampaikan sesuatu tetapi ia takut akan lebih dipermalukan lagi. Tidak habis pikir, seperti yang telah disampaikan Pak Saif, Vavo menyampaikan permintaan maafnya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Vavo dimaafkan Ibu Ronla dan beliau menegaskan, perbuatan nakal jangan dilakukan lagi sebab kalau saja masih suka usil orang tua Vavo akan dipanggil ke sekolah. Vavo menggangguk dan menunjukkan wajah menyesal dan kemudian mohon permisi. Vavo dibolehkan masuk kelas dan Vavo masih menanggung malu.
Ibu Ronla memang guru yang terbaik lagi cantik di sekolah kami. Bagi kami ia memang seperti bintang terang yang disenangi dan lagi menjadi buah pembicaraan, maklum kami hidup di kampung pada daerah pertanian yang jarang melihat wanita dengan penampilan kekota-kotaan. Mungkin itu pula lah yang membuat Vavo yang lebih besar badannya dari kami berani menyelipkan kertas bertulisan “I love you, my teacher”, di dalam buku latihan untuk menyatakan rasa senangnya dan moga-moga bu Ronla juga senang pada kami.
Tetapi ternyata bagi Ibu Ronla itu suatu yang tidak bisa diterima, ia seakan-akan dilecehkan murid kampung yang disebut-sebut suka usil dan kemudian beliau memberikan kertas itu pada wakil kepsek. Dan wakasek pun memutuskan memanggil Vavo dan mengumumkan aksinya pada upacara bendera. Mungkin maksud wakasek mengumumkan aksi itu lebih bersifat didaktis agar anak-anak jera berbuat nakal.
Sebagai teman, kami kecewa dengan dengan cara yang dilakukan sekolah kepada Vavo. Kepada Vavon pun kami kecewa mengapa ia begitu lancang dan beraninya bereksperesi menyampaikan isi hatinya pada bu Ronla. Bahkan bahasa yang digunakannya adalah bahasa yang baru dipelajari dari gurunya itu. Saya sebagai teman Vavo waktu itu memang sependapat dengan Pak Saif, kenapa sih anak-anak melakukan kegiatan yang aneh-aneh. Apakah mungkin Vavo ingin terkenal karena dengan membuat yang aneh-aneh seseorang kan dapat cepat termahsyur.
Tapi mungkin kah demikian? Intuisiku merasakan penolakan dan sekarang kurasakan keyakinanku hanya 50 persen. Ataukah itu hanya gaya Vavo yang suka membuat sensasi yang membikin orang tertawa dan lalu tidak ada dalam pikirannya mau macam-macam guru. Mungkin ini eksperimennya, jika kata “I love you” dikatakan kepada guru apa yang akan terjadi dan bagaimana seorang guru mereaksinya. Ya.. mungkin lumrah dan biasa saja seperti di negeri bahasa itu berasal.
Vavo bertemu aku dan teman-teman yang lain setelah istirahat jam pelajaran di belakang sekolah yang teduh dengan pohon yang rindang. Setelah duduk dikursi panjang yang sudah mulai lekang semua pada menatap Vavo. Lalu Uya memecah keheningan yang sudah beku di antara kami.
“Vav, hebat kamu ya …jatuh cinta tidak bilang-bilang, pada ibu guru lagi.. ”, suara Uya menyelutuk.
Vavo diam saja dan aku amati bagian hitam mata Vavo yang bulat turun naik menatap kami. Aku yakin ia sedih dan heran sebab setelah dipermalukan di depan warga sekolah, sekarang disindir teman pula. Kasihan Vavo…aku rasanya perlu memberikan pembelaan.
“Udahlah Vav, jangan sedih, sabar, tidak apa-apa, lagian Ibu Ronla kan sudah memaafkanmu kan? Kamu tetap kami kok. Ayo kita minum dulu, biar segar.” Kataku sambil menarik tangannya. Yang lain juga serentak hendak berdiri.
“Tunggu…tunggu sebentar teman-teman, ada yang akan aku katakan pada kalian. Saya mau bertanya pada kalian secara sungguh-sungguh, apakah kalian memang percaya saya jatuh cinta pada Ibu Ronla? Lalu saya menulis surat cinta pada beliau?”
“Ya lah, Vav kayaknya begitu. Bukan kah kemarin lusa kita telah berbincang-bincang tentang Ibu yang hebat mengajar itu dan lagian ia baik hati katamu.” Timpal Nurud.
“O iya Vav… aku ingat, kamu mengatakan waktu itu Ibu Ronla itu cantik dan kamu suka padanya” sambung aku.
“O…, begitu ya? Lalu apakah kamu yakin aku bisa menulis surat cinta dalam bahasa Inggris?” desaknya.
“Rasanya betul deh.” Timpal Awo yang hanya diam dari tadi. “Soalnya yang lancar bahasa Inggrisnya di antara kita-kita kan kamu.” Lanjutnya.
Vavo lalu memelas, “Nah ini ni, sepertinya aku memang sudah harus menanggung derita ini sendiri, sebab sahabat-sahabatku yang sangat kenal siapa aku juga yakin itu perbuatanku. Kalau begini rupanya ya gimana lagi…apalagi dengan guru dan anak-anak yang lain. Saya sulit untuk membela diri lagian tidak ada saksi. Sekarang dengar teman-teman ya, aku suer bahwa aku kemarin hanya mengatakan senang sama Ibu Ronla pada kalian tetapi yang sebenar-benarnya aku….aku tidak pernah menulis suratnya. Apalagi membuat surat cinta, amit-amit.”
Sekarang aku curiga nih… ada yang mengusili aku… sekarang jawab siapa di antara kalian yang menulis dan menaruh tulisan itu di dalam buku latihanku?” Sekarang Vavo yang balik menuduh pada kami. Semua terdiam, memang ada yang nafasnya turun naik dengan kencang tapi kami tidak ingin menuduh dan memojokkan teman tanpa bukti. Lalu Vavo tersenyum kecil, “Kalau kalian tidak ada yang mengaku, ya tidak apa-apa, soalnya aku percaya pada kalian. Mungkin yang usil itu teman-teman di kelasku.”
Kami memegang tangan Vavo, “Terima kasih Vav kamu percaya pada kami.” Kamu sahabat kami dan kami percaya kamu dan kami akan mendukungmu, dalam masalah ini
Vavo membuat kami tersentak kaget dan kemudian seperti tak percaya, ternyata yang membuat tulisan itu bukan dirinya. Vavo memang sabar dan tidak mau menyalahkan kami dan siapa pun karena tanpa bkti. Yang ku dengar, dia mengatakan, “Saya memang kurang hati-hati dengan barang-barang saya. Saya yang salah sebab diabad fitnah meraja lela ini kita mesti waspada. Sekali lagi waspada dan saya senang berbagi dengan kalian dan sekarang ayo pergi minum!” katanya sambil menarik tanganku. Kemudian semua berdiri dan setengah berlari kami menuju kafe Pak Kuek.
Hanya kami yang tahu bahwa tulisan “I love you, my teacher” yang ditujukan pada Ibu Ronla waktu itu bukanlah karya Vavo. Demi kenyamanan dirinya seminggu setelah itu Vavo dibawa oleh pamannya ke kota dan bersekolah di sana. Kami kehilangan teman baik yang pandai menghangatkan suasana. Selamat jalan Vavo, kamu teman favoritku.
Aku angkat topi dan salut pada Vavo, betapa lapang hatinya menghadapi semua itu dan kesabaran dirinya membebaskannya dari pedihnya rasa malu. Aku tidak dapat membayangkan kalau kejadian semacam itu menimpa diriku atau murid-murid yang lain. Aku yakin tentu kejadian seperti itu dapat menimbulkan frustasi yang fatal. Di Amerika saja ada murid yang dicomooh seorang anak nakal lalu sudah tidak mau datang lagi ke sekolah dan malah mengurung diri di rumah.
Fitnah memang merupakan bahaya berat karena ia datang dari orang yang jahat yang susah dilihat. Kami hanya menduga orang yang melakukannya matanya biasanya jelalat, kalau bicara sering ngumpat, dan komat-komat. Tetapi ia selalu saja mau ikut serta dengan kegiatan kita-kita. Di depan iya-iya seperti sangat setia tetapi ketika lengah ia malah menjadi pecundang. Seakan ia tidak senang melihat orang senang tetapi malah senang melihat orang tidak senang. Ya Allah, kami berlindung kepada Mu dari semacan itu dan dari sifat semacam itu, yaitu sifat iri dan dengki.
Kini sudah puluhan tahun peristiwa itu berlalu dan ia menjadi kenangan yang telah menjadi pengalaman yang berharga dalam menghadapi anak didik. Aku berkeyakinan, seharusnyalah guru seorang yang sabar dan tidak cepat marah dan tidak tergesa-gesa menuduh terhadap anak terutama dalam berbuat nakal. Guru mesti menyelidiki dengan benar kepastian tindakan yang dilakukan siswa dan hukuman yang akan diberikan agar tidak merugikan siswa. Guru hendaklah mengarahkan dan mendidik murid dan jangan memberi malu murid apalagi dihadapan umum karena itu dapat berakibat fatal. Jika ketidakadilan terjadi di sekolah di antara sesama murid atau dengan guru maka gurulah yang dibutuhkan menjadi hakim yang adil dengan menunjukkan barang bukti dan saksi-saksi. Jadi, kehidupan berhukum sudah dapat dirasakan dalam pendidikan sekolah sejak usia remaja. Menciptakan suasana kekeluargaan di sekolah akan lebih efetif mencegah kenakalan siswa dibanding membuat jarak dengan anak didik.
Anak-anak harus waspada terhadap teman-temannya yang usil sebab dalam filem-filem sekarang keusilan malah jadi bahan tontonan dan anak yang bodoh menjadikannya tuntunan. Bahaya kan? Persaingan anak memang ada yang tidak sehat secara kejiwaan terutama anak-anak yang picik yang maunya hebat sendiri dan dapat pujian sendiri. Ekspresi diri anak membuat surat cinta itu pada dasarnya adalah wajar dan dapat dijadikan sarana belajar yang autentik, mestinya murid dibimbing dan diarahkan membuat surat yang baik dalam bahasa asing yang benar.
1 komentar:
ok
Posting Komentar