Oleh
Dr.
Abdurahman, M.Pd.
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang
ABSTRAK
Tulisan ini memaparkan pembangunan
karakter dengan nilai budaya yang direfleksikan dalam peristiwa merantau pada cerita
klasik Minangkabau. Sebagai objek analisis digunakan cerita kaba “Sibuyuang
Karuik” yang tokoh utamanya dikisahkan pergi ke rantau karena kekerasan dalam
rumah tangga. Dari kisah itu diuraikan nilai budaya merantau di antaranya: berserah
diri kepada Allah, berprilaku baik dan jujur, saling-tolong-menolong, mandiri, dan
berbuat baik kepada orang lain. Pembahasan yang ringkas ini diharapkan dapat
menjadi bahan masukan untuk membangun karakter peserta didik dalam apresiasi cerita
klasik Minangkabau dalam pembelajaran sastra untuk menghadapi solusi kehidupan
pada masa kini dan mendatang.
A.
Pendahuluan
Karya sastra merupakan cerminan kehidupan
masyarakat karena di dalamnya diceritakan realitas kehidupan masyarakat yang
tidak jauh berbeda --bahkan persis sama-- dengan kehidupan dalam realitas yang
sebenarnya. Kesamaan itu terlihat melalui latar cerita, nama tokoh-tokohnya,
dan persoalan atau tema yang diangkat dalam
cerita. Gambaran seperti itu ada pada cerita klasik “Kaba Si Buyuang Karuik” (KSBK), sebuah cerita yang berlatar tempat Pariaman, Padang, Medan, Palembang, dan
Betawi. Tokoh utamanya Bagindo Karuddin dan keluarganya sebagai tokoh sampingan
dengan nama-nama orang Pariaman. Selain itu, persoalan utamanya, yaitu ‘peristiwa
merantau’ merupakan budaya yang khas
Minangkabau khususnya Pariaman. Kiranya, tidaklah berlebihan kalau kisah KSBK ini
disebut cerminan peristiwa sesungguhnya yang
terjadi dalam realita masyarakat pendukungnya.
KSBK yang merupakan ciplakan realitas nyata itu,
mengisahkan suka duka perjalanan anak manusia yang berasal dari desa hingga
sampai di rantau dan diakhiri dengan tokoh
utama sukses di rantau. Kesuksesan di rantau itu merupakan fenomena yang
menarik untuk dibahas karena banyak kisah nyata yang juga sama dengan kisah
ini. Di samping itu, orang tentunya kagum dengan kesuksesan khususnya
kesuksesan orang rantau dan cerita ini dapat menjadi kritik sosial. Tambahan
lagi, yang lebih menarik dan bernilai untuk
dihayati adalah pesan tentang nilai-nilai budaya merantau yang setelah dinilai
masih relevan untuk membangun karakter kehidupan pembaca. Kerelevanan nilai-nilai
budaya itu dapat dijadikan pembangun karakter karena latar budaya antara KSBK sama dengan budaya
pembaca. Dengan latar budaya yang sama, tentunya pemahaman nilai budaya menjadi
suatu yang bernilai lebih, yaitu merasakan persoalan budaya sendiri dan rasa
memiliki keakraban nilai budaya.
Pesan moral dan nilai budaya merantau KSBK itu
tentunya perlu dipahami lalu dipresentasikan dan diamalkan jadi karakter dalam
kehidupan. Akan tetapi yang menjadi
permasalahan adalah nilai-nilai budaya yang direfleksikan dalam cerita KSBK tidak semuanya disampaikan secara eksplisit dan
masih banyak yang tersembunyi dalam tindakan tokoh dan pesan pendek pengarang.
Untuk dapat meraih nilai budaya KSBK perlu adanya eksplorasi berupa pemaknaan
dan interpretasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pesan nilai-nilai budaya
itu diberikan ulasan berupa interpretasi
makna budaya cerita klasik KSBK sehingga pembaca (peserta didik) akan lebih
terbantu. Alasan tersebut merupakan
landasan dasar yang digunakan untuk mewujudkan tulisan ini.
Tulisan ini difokuskan
pada persoalan yang sama dengan tema cerita KSBK, yaitu persoalan
merantau. Persoalan itu dipilih menjadi pembahasan didasarkan kepada beberapa
alasan. Pertama, persoalan merantau merupakan peristiwa yang familiar dengan
kita dan di zaman globalisasi ini makin
banyak masyarakat yang merantau. Oleh karena itu, analisis tentang merantau
tentu menjadi suatu yang diperlukan sebagai penambah wawasan dan pengalaman. Kedua,
dalam persoalan merantau tokoh (cerita) harus memegang nilai-nilai budaya baik
supaya berhasil hidup di negeri orang. Nilai-nilai budaya itu tentu sangat
perlu menjadi amanat tulisan ini sebagai pembangun karakter bangsa. Ketiga, umumnya kita peserta seminar ini
mungkin perantau, baik perantau jauh atau dekat. Dengan kenyataan demikian, pembahasan
nilai budaya KSBK ini diharapkan dapat
menjadi sebuah pertimbangan dalam
menghayati perantauan dan pembangunan karakter.
Metode
pembahasan yang digunakan adalah
analisis deskriptif dan interpretasi cerita. KSBK yang dijadikan objek, yaitu “Kaba
Si Buyuang Karuik” (edisi baru) versi penulis Syamsuddin St. Rajo Endah,
terbitan Kristal Multi Media kota Bukittinggi, Cetakan ke-2 Januari tahun 2008,
yang terdiri dari 85 halaman. Diterbitkan pertama kali oleh penerbit CV Pustaka
Indonesia Bukittinggi 1960. Untuk mengetahui jalan cerita KSBK bersama ini dilampirkan
sinopsis cerita.
B. Pembangunan Karakter dengan Nilai Budaya Merantau
1.
Hakikat
Nilai Budaya Merantau
Pada
bagian ini dijelaskan pengertian merantau dan nilai budaya. Pertama konsep
tentang merantau. Secara historis perkembangan pengertian ‘merantau’ telah mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan aspek sosial kemasyarakatan dan
pemerintahan yang terjadi sejak dulu. Pada waktu daerah Minangkabau masih dalam
sistem kerajaan, ‘merantau’ berarti berpindahnya masyarakat dalam kerangka
medirikan pemukiman baru sebagai
pengembangan wilayah kerajaan. Daerah yang mejadi tujuan adalah daerah
rantau yang merupakan daerah di luar daerah asal (darek). Dalam perpindah merantau yang demikian perantau membawa
pola-pola budaya yang sama dengan daerah asal untuk disoasilisaikan dalam
kehidupan bersama. Artinya, perantau tidak menyesuaikan nilai-nilai budaya
hidupnya dengan dengan budaya di tempat yang baru.
Pada pengertian yang sekarang merantau
tidak berkegiatan seperti waktu itu
lagi. Merantau merupakan proses interaksi anggota masyarakat dengan dunia luar
berupa petualangan pengalaman dan geografis dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang (Elfindri dkk, 2010:52). Merantau sering diartikan sebagai kegiatan
perpindahan meninggalkan negeri asal
dengan tujuan untuk mencari nafkah (Tsuyoshi Kato:2005:156). Pada pengertian yang kedua ini merantau berarti pergi dari kampung asal
dengan kesadaran untuk mencari nafkah atau mendapatkan pengalaman hidup. Dalam
arti yang demikian perantau dalam menjalankan hubungan sosial lebih menyesuaikan nilai-nilai budaya
dengan nilai budaya dimana rantau mereka
tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya sendiri. Perantau juga menyiratkan orang yang ta(h)u peran di mana mereka harus
mensiasati kehidupan yang baru untuk lebih membawa kemajuan dari keadaan
sebelumnya.
Kedua, pengertian tentang nilai-nilai budaya ialah
konsepsi, ide-ide, gagasan, norma-norma,
dan bentuk-bentuk lainnya (tersirat dan tersurat) yang sifatnya
membedakan dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara,
tujuan tindakan, dan di pandang penting dalam hidup (Abdurahman:2011). Nilai budaya juga mencakup ide-ide atau gagasan yang menuntun untuk
menentukan tentang apa yang benar, baik, dan indah yang mendasari pola-pola
budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi unsur jasmaniah dan lingkungan
sosial (Koentjaraningrat,2000).
Dalam
penelitian ini nilai budaya merantau adalah ide-ide atau konsepsi yang menonjol
dalam kaba KSBK yang menjadi identitas
budaya merantau tokohnya sehingga
nilai-nilai itu menjadi kesamaan yang unik yang cenderung menjadi nilai budaya. Nilai itu berupa
konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dianggap
berharga dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai
pedoman yang memberi arahan dan orientasi dalam kehidupan yang ada dalam karya
sastra.
Dengan
mencermati pengertian nilai budaya merantau beberapa hal yang akan
dipertanyakan dan dijelaskan, di antaranya mengapa tokoh cerita merantau,
bagaimana nilai-nilai budaya merantau, apa yang didapatkan dengan merantau, dan
apa kontribusi merantau bagi keluarga yang ditinggalkan, bagaimana membangun
karakter dengan nilai budaya merantau. Untuk menjawab hal itu dibahas KSBK
sebagai karya yang berisi nilai-nilai budaya merantau.
2.
Nilai
Budaya Merantau dalam KSBK
Untuk menjelaskan
nilai-nilai budaya merantau dalam KSBK ditampilkan abtraksi satuan peristiwa cerita
untuk dimaknai dan dijelaskan kandungan nilai budayanya. Berikut abstraksinya:
I.
Cerita
KSBK diawali gambaran keluarga nelayan yang sangat miskin di Pariaman. Suatu
hari tokoh Buyuang Karudin (BK) berumur 10 tahun dan adiknya Siti Syamsiah 6
tahun memasak nasi di tungku lalu seekor
jago kesayangan bapaknya menabrak periuk sehingga beras yang dimasaknya tumpah
ke abu. Ayam itu dipukulnya dan seketika itu mati. Menyadari kejadian itu Bagindo
Karudin takut karena pasti kedua orang tuanya akan marah besar karena keduanya
sudah sering menanganinya.
II.
Kedua
adik kakak itu lari dari rumah untuk menghindari kekerasan ortunya dengan
bertawakal kepada Allah.
III.
Dalam
perjalanan, mereka mendapat pertolongan dari orang-orang yang bertemu dengannya,
satu di antara penolong itu tukang pedati yang memberikan tumpangan kepadanya
sehingga mereka sampai di Padang.
IV.
Di
Padang keduanya menawarkan jasa kepada Sutan Pesisir pedagang nasi dan mereka
bekerja apa yang bisa di sana dan kemudian menjadi orang tua angkatnya.
V.
Buyuang
Karudin mencari kerja yang lebih baik dan dia diterima menjadi tukang kebun
seorang jaksa.
VI.
Tuan
Jaksa pindah ke Palembang dan BK ikut bersamanya. Sebelum pergi ia menemui
Sutan Pesisir dan ia diberi nasehat merantau oleh Sutan pesisir.
VII.
Di
rantau BK rajin bekerja dan menabung sehingga tabungannya mencukupi untuk
berdagang.
VIII.
BK
mohon izin kepada Tuannya untuk berdagang dan Tuannya membantu dengan tambahan
modal.
IX.
BK
mendapat tempat berdagang yang strategis dan dagangannya laris dan dia
memperkejakan pelayan tetapi banyak yang curang.
X.
BK
berteman dengan Zainuddin dan ia menganjurkan BK menikah supaya bisa membentunya
dan saling bekerjasama.
XI.
Istri
BK meninggal dan dia putus asa. Dalam kedaan begitu ia diajak Zainuddin ke
Betawi untuk menghilangkan dukanya. Di sana ia jatuh cinta pada Sarinam anak
angkat bu Sarijah dan mereka menikah.
XII.
BK
makin sukses dalam berdagang dan dapat anak perempuan dari pernikahannya.
XIII.
BK
dan keluarganya pulang kampung menemui orang tuanya dan ortunya menanyakan
adiknya. Ternyata Sarinam adalah adiknya.
XIV.
Sarinam
menyatakan dia adalah Siti Syamsiah adik BK. Ketika ditinggalkan BK di Padang,
kedai nasi Sutan Pesisir terbakar dan mereka pindah ke Medan. Di Medan Sutan
Pesisir meninggal sehingga ia bekerja sebagai pembantu keluarga Belanda.
Tuannya pindah ke Betawi dan ia dibawa ke sana. Ketika istri Tuannya ke luarga
kota, ia nyaris diperkosa tuannya dan ia sempat melarikan diri. Dalam pelarian
itu ia ganti nama dan mengaku orang Jawa dan berbahasa Jawa, lalu kesasar ke
runah nenek Sarijah dan ia menjadi anak angkatnya.
XV.
Semuanya
jadi panik karena aib BK kawin dengan adik kandungnya. Lalu nenek Sarijah
memberikan saran supaya aib ditutup saja dengan mengatakan Siti kematian suami
dan BK mengantarnya pulang. Semua orang percaya.
XVI.
BK
membangun rumah yang bagus untuk ortunya dan membeli sawah dan ladang sehingga
ortunya menjadi orang berada.
XVII.
Adik
BK menikah dengan kepala desa dan BK menikah dengan anak orang kaya di
kampungnya.
XVIII.
BK
kembali ke Palembang melanjutkan usaha perdagangannya yang sudah mengangkat
tingkat ekonominya.
Berdasarkan
abstraksi satuan peristiwa KSBK di atas (I-XVIII) sudah tercermin nilai-nilai
budaya dari kisah merantau BK dari awal
cerita hingga akhir. Untuk lebih konkritnya akan diuraikan satu per satu
dan diberikan tafsiran dengan konteks budaya pendukungnya serta pentingnya
nilai budaya itu dalam pembangunan karakter.
a)
Nilai
Budaya Keterampilan Hidup
Tokoh BK yang berumur sepuluh tahun dan
adiknya berumur enam tahun diceritakan sedang memasak di tungku di rumahnya (I)
sedangkan kedua orang tuanya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Ini berarti BK dan adiknya sejak kecil sudah diajarkan oleh orang
tuanya keterampilan hidup (life skill)
yang salah satu keterampilan hidup itu adalah pandai memasak. Dalam budaya
Minangkabau klasik ada banyak keterampilan dasar untuk hidup yang dapat
dipelajari dalam rumah tangga atau dalam lingkungan sosial. Di antara
keterampilan hidup itu dikenal dengan formulasi ‘pandai 4M’ (memasak,
mengayam/menjahit, mengaji, membela diri/silat). Keterampilan itu sejak kecil
sudah bisa diwarisi anak dengan belajar meniru atau dengan bimbingan orang tua.
Dengan keterampilan dasar itu anak-anak
cepat mandiri dan mulai melepas ketergantungannya dari orang tua dalam
kehidupan sehari-hari. Malah dengan kemandirian, anak dapat cepat dapat
bekerjasama dan bahkan membantu orang tuanya seperti BK dan adiknya. Keterampilan
dasar itu juga bisa berpotensi menjadi solusi hidup setelah dewasa dimana anak
yang pandai memasak akan membuka rumah makan nantinya, yang pandai menjahit
akan membuka konveksi, yang pandai mengaji menjadi guru, dan seterusnya.
Jadi,
pesan KSBK adalah keterampilan hidup bagi anak adalah suatu yang penting untuk
diwarisi oleh anak. Oleh karena itu
keterampilan dasar sudah seharusnya dikuasai sejak usia dini. Dengan refleksi
cerita KSBK, bagaimanakah dengan anak sekarang? Apakah mereka yang seumur BK
sudah bisa memasak? Pesan nilai budaya pembelajaran keterampilan dalam KSBK
kiranya merupakan pesan pengarang yang perlu ditiru untuk pembangunan nilai
budaya.
b)
Nilai
Budaya Menghindari Konflik, Menyelamat Diri, dan Bertawakal
Meskipun BK dan adiknya anak penurut
dan baik tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka sering mendapat kekerasan
fisik dan nonfisik (III). Hal ini disebabkan karena keluarga mereka hidup dalam
serba kekurangan dan orang tuanya sering kalut memikirkan beban hidup. Kedua
orang tua BK pemarah dan sering main tangan yang tidak bisa diterima oleh akal
sehat BK. Ketika BK bersalah tidak sengaja membunuh ayam bapaknya (I) mereka
lari dari rumah untuk menyelamat diri
(II). Jadi, kepergian BK ke rantau disebabkan oleh dua faktor, yaitu
faktor kesulitan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga.
Ini berarti pengarang memberikan
pesan nilai budaya, supaya orang yang terancam jiwanya lebih baik menyelamatkan diri dan menghindari
konflik dan pergi ketempat yang aman. Pesan ini jelas sebuah agitasi edukatif yang
menyarankan agar orang tidak tinggal dalam penderitaan dan harus berusaha
keluar dari keadaan yang tidak meguntungkan sama sekali. Bumi Tuhan ini luas
maka carilah kedamaian di atasnya dengan merantau. Tempat yang dipilihkan oleh
pengarang adalah Kota (Padang), yaitu tempat orang berusaha dengan berbagai
macam cara dan pusat perdagangan. Arahan pengarang, meyarankan orang lari ke
kota tentu relevan dengan ajaran adat dan agama. Adat mengajarkan “mencari uang
ke tempat yang ramai, mencari kerja ketempat yang tidak banyak saingan”,
sedangkan dalam agama dinyatakan bahwa
90% uang beredar di pasar (Julius, 2007). Jadi, kalau ingin keluar dari kesulitan
ekonomi lebih baik berkiprah di kota terutama di pasar.
Selain itu, dalam menyelamatkan diri pengarang memberikan pesan perlunya
bertakwa kepada Allah. Pesan ini tentu sesuai dengan janji Allah Swt, dalam
al-Quran, yaitu Allah bersama orang yang bertakwa (QS,2:194), orang yang bertawakal
akan diberi jalan keluar dari masalah dihadapinya (QS,65:2). Jadi, bertakwa adalah
solusi yang tepat untuk keluar dari masalah dan diberi kenudahan berurusan. Nilai
budaya takwa adalah nilai yang tercantum dalam tujuan pendidikan kita yang
harus diamalkan dalam hidup supaya selamat dunia dan akhirat. Nilai budaya di
atas perlu dibangun dalam membina karakter bangsa.
c)
Nilai
Budaya Mencari Induk Angkat
Pada abstraksi IV BK dan adik menawarkan jasa pada Sutan
Pesisir bekerja di kedainya kemudian beliau jadi bapak angkatnya. Ini
menunjukkan pengarang KSBK mengarahkan tokoh
BK dengan menerapkan nilai budaya perlunya induk angkat di rantau. Nilai budaya
ini merupakan pesan adat yang terkenal dalam kehidupan masyarakat kita dan
menjadi pantun sehari-hari, “Kalau anak
pergi ke lepau hiu beli belanak beli- ikan panjang beli dahulu- kalau anak
pergi merantau ibu cari sanak cari – induk semang cari dahulu” (bandingkan,
Amir, 2007).
BK
dalam mencari induk angkat kepada orang yang berkedai nasi dan hanya berdua
saja suami istri. Artinya, BK dapat menyelaraskan keterampilan yang dimilikinya
dengan pekerjaan bapak angkatnya, yaitu keterampilan memasak yang sudah
dimilikinya sejak di kampung. BK juga penuh pertimbangan dalam mencari orang
tua angkat sehingga mereka disenangi karena orang tua itu karena mereka tidak
punya anak dan ditambah lagi beliau itu orang penyayang. Jadi, dalam mencari
induk angkat disarankan juga supaya mengunakan nilai penuh pertimbangan,
besikap baik, santun, dan jujur. Dengan adanya induk angkat itu BK dapat
memenuhi kebutuhan makan karena mereka berdagang nasi dan mereka bekerja dan
mendapat fasilitas tinggal bersama. Pesan dalam pantun adat itu ada benarnya
dalam menganjurkan mencari induk angkat di perantauan. Induk angkat dalam
wawasan ekonomi bisa juga berarti pemodal dan mentor yang ditiru dalam
berusaha. Artinya, jika ingin sukses berteman dengan orang sukses dan belajar
kepadanya.
Bagaimana dengan pembangunan karakter anak-anak kita sekarang? Tentu nilai
budaya mencari induk angkat semakin perlu bagi mereka karena tidak mungkin
orang bisa maju jika tidak ada yang mau memajukan dan mau menfasilitasi mereka.
Untuk bisa mendapat induk angkat kira seseorang perlu memiliki sikap saling menolong dan jujur dalam
berkehidupan. Kiranya, sikap masyarakat yang terlalu individualis perlu
dikembalikan supaya menjadi masyarakat yang saling menolong dan saling menguntungkan.
d)
Nilai
Budaya Berkarya
Setelah berapa lama tinggal dengan Sutan
Pesisir, BK bekerja dengan seorang jaksa
sebagai tukang kebun, di sana ia diberi gaji bulanan dan tinggal di rumah jaksa
itu (V). Karena etika yang baik ia menjadi kesayangan tuannya itu. Ini berarti
dalam berkarya selain membutuhkan keterampilan juga diperlukan pengamalan nilai-nilai
etika. Orang yang jujur akan dipercaya dalam bekerja, yang suka ringan tangan
juga disukai, dan dengan beretika itu semua orang sayang kepada BK. Dalam KSBK dideskripsikan sifat BK di
antaranya, “Adapun sifat kerjanya…tidak
ada kerja yang dipantangkan, cepat kaki ringan tangan, tidak pandai
bermalas-malas, bekerja rajin lagi sangat sungguh, belum disuruh sudah pergi,
belum ditegah sudah berhenti (arif), kesayangan orang, tidak ada kena caci, apa
pun kerja diselesaikan saja, anak muda tahu diuntung, tidak sombong, bicaranya
yang benar-benar saja, sangat lurus dan hemat”(KSBK:2008).
Sifat yang dimiliki BK adalah sikap yang
baik dan sikap ini menjadikan BK
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan kesayangan orang. Sikap BK itu tentu merupakan nilai-nilai budaya
yang relevan bagi siapa yang ingin maju dalam pembangunan karakter kehidupan
yang baik. Dalam sikap BK itu juga
tergambar beberapa nilai seperti kreatif, empatif, dan rendah hati yang semua
perlu membentuk karakter masyarakat yang
berbudaya baik.
e)
Nilai
Budaya Hijrah ke Kota
Pada
abstraksi VI-VIII tuan BK pindak ke Palembang dan ikut bersamanya. Sebelum
berangkat BK menemui Sutan Pesisir dan beliau menasehati BK. Bentuk nasehat beliau
adalah sifat yang mesti dipakai kalau merantau sebagai berikut. “Tambahan pulo di ang Buyuang, himaiklah
dalam babalanjo, simpan pitih tiok bulan, kok untuang pambarian Allah, dapeklah
bapokok mangaleh, dapeklah kadaian nan elok, sabab mangko nan bak kian, tidak
ado kayo mamakan gaji” (KBK:h. 29).
(Wahai
Buyung,
-hematlah dalam
berbelanja,
-simpan
uang tiap bulan,
-kalau untung
ada pemberian Allah, dapatkanlah pokok berdagang,
-dapatkanlah
kedai yang strategis,
-sebab, tidak
ada orang kaya hanya mamakan gaji).
Pesan ini sengaja penulis penggal supaya lebih
dicermati. Nilai budaya yang harus dimiliki perantau adalah: hemat dalam hidup
dan jangan membelikan uang kepada yang tidak bernilai guna kalau dapat barang
yang dibeli harus bernilai produktif. Ini artinya perlu kecerdasan finansial
dan pandai berhemat untuk masa depan. Ini juga berarti jangan sampai “besar
pasak dari tiang” atau besar pengeluaran daripada pendapatan. Selanjutnya, untuk
bisa maju perlu menabung sedikit demi sedikit setiap bulan. Artinya harus pandai mengelola
keuangan dan memenejnya sehingga dari bulan ke bulan ada yang pertambahan kekayaan.
Jika tabungan cukup jadikan pokok berdagang
dan ushakan mencari kedai atau toko yang strategis tempatnya. Ini tentu
pesan yang budaya yang inspiratif terutama bagi orang yang berusaha di bidang
ekonomi. Mereka perlu memilih tempat yang strategis dan perlu memahami konsumen
dan pembeli.
Pesan yang
terakhir, tidak ada orang kaya makan gaji adalah pesan yang luar biasa dan
cerdas. Valentino Dinsi (2005) menerbit buku yang relevan dengan pesan itu “Jangan Mau Seumur Hidup jadi Orang Gajian”.
Dalam buku itu beliau memotivasi supaya pembaca berbisnis sendiri kalau ingin lebih
kaya. Orang yang hidup dengan gajian memang sudah bisa dihitung pendapatannya
tetapi dengan berdagang pendapatan bisa berlipat ganda. Dan dimungkinkan orang
bisa menjadi kaya raya. BK mengamalkan pesan nilai budaya itu sehingga ia
sukses dalam berdagang. Dalam pembangunan karakter tentulah nilai budaya ini
sangat penting karena kita memerlukan tokoh yang mau membuka lapangan kerja dapat
menfaatkan pontensi yang melimpah di negara ini.
f)
Nilai
Budaya Berkeluarga
Meskipun sibuk berdagang BK tidak
menyia-nyiakan waktu untuk bekeluarga.
BK menikah dengan perempuan yang baik akhlaknya dan juga baik orang tuanya. Hal
itu diketahuinya dan diusakannya melalui temannya Zainuddin. Ini berarti nilai
budaya membangun keluarga itu amat penting. Pentingnya bekeluarga dapat
dipelajari dalam buku berkeluarga. Di antaranya bekeluarga itu penting membina
keturunan yang sehat jasmani dan rohani, membentengi diri dari kejahatan
seksual, mengikuti sunah Rasulullah Saw., dan lainnya.
Pengarang KSBK dalam hal ini seakan memnyampaikan pesan
nilai budaya perlunya berkeluarga. Hendaknya anak muda menikahlah jika sudah
mampu dan jangan menunda karena usia terbaik untuk menikah adalah di waktu
muda. Dengan menikah lebih banyak yang dapat direncakan dan lebih fokus pada
tujuan. Nilai budaya ini amat perlu dipahami agar karakter berkeluargan dan berhubungan
dengan sesama yang sehat dan bermartabat dapat diwujudkan.
g)
Nilai
Budaya Berteman
BK berteman dengan Zainuddin. Zainuddin
adalah anak yang baik suka menolong BK. Dia cenderung menyuruh yang baik dan
melarang yang mungkar sebagai sifat baiknya. Dia lah menganjurkan BK supaya
bekeluarga dan ketika istri BK meninggal dia pula yang membujuk agar BK tidak
putus asa. Kemudian ia menemani BK ke Betawi
untuk menghilangkan duka BK. Dengannya BK menjadi orang selamat dalam
pergaulan dan aman.
Artinya dalam
KSBK pengarang menyatakan bahwa seseorang perlu teman yang baik, yaitu teman
yang mencegah dari kesesatan dan menganjurkan kebaikan. Teman sejati adalah teman
yang mengajak ke surga dan memelihara kita supaya tidak terjerumus ke
neraka. Nilai budaya berteman dan
memilih teman pada saat ini sangat urgen. Salah teman bisa salah pergaulan dan
salah perilaku dan bisa terjerumus ke patologi budaya. Karena itu, pembangunan
karakter dengan nilai budaya berteman amat perlu diperhatikan.
h)
Masih
banyak nilai budaya merantau dalam KSBK yang belum dibahas di antaranya adalah:
-Nilai Budaya Berbakti kepada Keluarga
-Nilai Budaya Meningkatkan Status Sosial
-Nilai Budaya Menutup Aib
-Nilai Budaya Waspada
-Nilai Budaya Kemandirian
-Nilai Budaya Suka Menolong dan Saling
Menolong
-Nilai Budaya Hubungan Sosial
Semua nilai budaya KSBK yang sudah dibahas
merupakan nilai budaya yang penting
dalam pembangunan karakter semoga uraian ini dapat membantu dalam memahaminya.
Penutup bagian ini, penulis kutip firman
Allah Swt., yang artinya “Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.(QS,4:9).
C.
Penutup
Kepedulian kita sebagai pendidik kepada
pembinaan dan pembangunan sumber daya manusia yang berkarakter baik semakin
ditantang dalam kehidupan zaman globalisasi ini. Ada banyak indikasi yang
menunjukkan keharusan hal itu, di antaranya, meskipun pendidikan karakter telah
dicanangkan sejak lama sesuai dengan tujuan pedidikan dan beberapa tahun yang
lalu sudah direlisasikan dalam kurikulum, namun realisasi sikap dan tindakan
kehidupan yang berkarakter dari sebagian peserta didik masih belum menunjukkan
kegembiraan dan malah semakin mengkawatirkan (Riwayat:2010). Nampaknya peserta
didik seakan tidak pernah absen (dalam
pemberitaan media) terlibat dalam peristiwa patologi sosial, krisis moral, dan
penyimpangan budaya. Indikasi itu semakin mengental karena mereka yang terlibat dalam berbagai
peristiwa itu seakan tidak menunjukkan sikap sudah mendapat sentuhan pendidikan
karakter.
Kenyataan
yang miris dari berita-berita itu tentu semakin menuntut kita untuk
mengusahakan dan memperjuangkan pendidikan karakter agar peserta didik menjadi
sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter baik yang kemudian sangat
diperlukan dalam pembangunan bangsa dan negara.
Tuntutan itu tentu juga terkait dengan keyakinan bahwa hanya dengan
mereka yang berkarakter baik itulah tujuan negara yang berbunyi menciptakan masyarakat yang adil makmur itu
dapat diwujudkan. Sebaliknya, dengan sumber daya manusia yang berkarakter tidak
baik negara ini makin dipenuhi oleh ketidaknyamanan sosial dan budaya serta
krisis nilai yang mencemaskan.
Untuk menjawab
dan meminimalisasi tantangan itu peran pembelajaran sastra sungguh sangat
diperlukan karena sudah sejak lama dipercaya bahwa dengan seni (sastra) manusia
bisa menjadi halus budi dan bahasanya. Oleh karena itu, peserta didik yang diharapkan berkarakter
baik harus difasilitasi dengan apresiasi karya sastra sebagai piranti sumber
pengetahuan dan kegiatan yang dapat mentranformasikan pendidikan karakter.
Salah satu cara yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan mengarahkan
perhatian akademis mereka kepada analisis
karya sastra yang sarat dengan nilai budaya pedagogis seperti KSBK.
Melalui
perhatian akademis berupa sikap kreatif dan
perilaku apresiasiatif terhadap karya
sastra siswa dapat diarahkan mencermati karakter tokoh cerita yang mungkin dan
menjadi alat pengingat nilai dalam kehidupan. Dengan apresiasi karya sastra KSBK
yang memuat nilai-nilai itu diharapkan siswa tertantang membangun kontribusi
nilai-nilai budaya yang dapat menjadi pedoman dalam menentukan serangkaian
sikap dan tindakan dalam menjalani kehidupan. Dalam kerangka seperti itulah
analisis KSBK dengan nilai-nilai budaya ini dapat didayagunakan sebagai media
atau sumber belajar bagi siswa. Semoga tulisan ini menginspirasi pembaca.
DAFTAR RUJUKAN
Abdurahman. Nilai-Nilai Budaya dalam Kaba Minangkabau:
Suatu Interpretasi Semiotik. Padang: UNP Press, 2011.
Al-Quran
dan Terjemahannya. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000.
Ahmad, Sabaruddin. Kesusastraan
Minang Klasik. Jakarta: Depdikbud, 1979.
Amir. Adat Minangkabau Pola dan
Tujuan Hidup Orang Minangkabau. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 2007.
At-Tubani, Riwayat. Erosi Moralitas di Minangkabau. Padang:
Media Explorasi, 2010.
Dinsi, Valentino
dkk. Jangan Mau Seumur Hidup jadi Orang
Gajian. Jakarta: Let’s Go Indonesia, 2005
Elfindri, Desri
Ayunda, Wiko Saputra. Minang Entrepreneurship. Jakarta: Baduose Media,
2010.
Julius, H. Mambangkik
Batang Tarandam. Bandung: Citra Utama, 2007.
Kato, Tsuyoski. Adat
Minangkabau dan Merantau dalam Perpekstif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.
2005.
Koentjaraningrat. Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 2000
Endah,
Sjamsudin St Radjo. Kaba Sibuyuang Karuik.
Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2008.
Bio Data Penulis
Abdurahman lahir di
Batipuh Kab. Tanah Datar, 23 April 1965.
Beliau adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNP Padang sejak
1990 sampai sekarang. Alumnus IKIP
Padang (S1) tahun 1989 pada jurusan yang sama dan tamat UNJ Jakarta S3 pada
tahun 2011.