Cobley dan Janz menyatakan bahwa
semiotik berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti
‘penafsir tanda’. Literatur lainnya
menjelaskan bahwa semiotik berasal dari semeion
yang berarti ‘tanda’. Jadi, semiotik
merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia, dengan arti bahwa segala
sesuatu yang hadir di dalam kehidupan dilihat sebagai tanda yang harus diberi
makna. Semiotik juga dikatakan ilmu yang menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan
merupakan tanda-tanda. Ilmu semiotik tentang tanda dalam kehidupan sudah digunakan sejak
lama, Danesi dan Perron menulis bahwa penggunaan cara-cara semiotik sudah ada
sejak Hippocrates (460-377 SM)
yang mendefenisikan “tanda” dari bidang kedokteran sebagai gejala fisik yang
mewakili suatu gejala penyakit.
Misalnya, tanda atau gejala kulit merah (ruam) mewakili
alergi kulit, radang tenggorokkan mewakili sakit flu, dan memar lebam
mewakili jari patah.
Kajian
semiotik semakin berkembang menunjukkan kemanfaatannya dengan dua orang ahli yang telah mengembangkannya pada zaman yang sama, yaitu Ferdinan de
Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik,
dan Charles Sander Peirce (1839-1914) seorang ahli filsafat. Saussure
mengembangkan kajian semiotik
dengan nama semiologi sedangkan
Peirce menyebutnya semiotik (semiotics). Perbedaan istilah itu menunjukkan perbedaan orientasi, yang
pertama mengacu pada tradisi Eropa yang cenderung pada realitas batin (mind) dan citra (image) dalam kajian linguistik sedangkan yang kedua mengacu pada
tradisi Amerika yang cenderung pada realitas eksternal di samping realitas
internal dalam kerangka kajian filsafat.
Semiotik
merupakan ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai arti. Semiotik secara
umum dapat dipahami melalui konsep
tanda dan dalam hal ini ada dua aliran
yang mewarnai perkembangan semiotik, yaitu aliran strukturalis dan pragmatis. Aliran
semiotik
strukturalis, merujuk kepada Saussure dan pengikutnya (1916) yang melihat tanda sebagai pertemun antara bentuk
(yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami
oleh manusia pemakai tanda). Saussure menggunakan istilah signifiant (signifier,
Ing) untuk penanda atau segi bentuk
suatu tanda, dan signifie (signified) untuk petanda untuk segi
maknanya. Saussure dan pengikutnya melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur
dan terstruktur dalam kognisi manusia.
Dengan kata lain, terjadi proses
pemaknaan antara penanda dengan
petanda dan hasil dari proses tersebut.
Dalam hal ini hubungan antara
bentuk dan makna tidak bersifat
pribadi tetapi bersifat sosial yang didasari kesepakatan sosial dan juga
bersifat dikhotomis dan struktural.
Bagi
Charles Sander Peirce dan pengikut semiotik pragmatisme,
tanda merupakan, suatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu (tanda) itu dapat berupa
hal yang konkret dapat diamati manusia dengan inderanya melalui suatu proses
mewakili sesuatu yang ada dalam kognisi manusia. Dalam hal ini tanda bukanlah
suatu struktur melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat
ditangkap pancaindera. Sesuatu yang konkret
dan diwakili disebut representamen
(atau ground), sedangkan sesuatu yang
ada dalam kognisi disebut objek (object),
dan proses hubungan representamen ke
objek disebut semiosis (semein). Dalam
pemaknaan suatu tanda, proses semiosis dilengkapi dengan suatu proses lagi yang
merupakan lanjutan yang disebut interpretant
(proses penafsiran). Jadi, pemaknaan
suatu tanda terjadi dalam bentuk proses semiosis dari yang konkret ke dalam
kognisi manusia yang hidup dalam realitas. Karena sifatnya yang mengaitkan tiga
segi dalam proses semiosis teori semiotik ini bersifat trikotomis.
Representamen
sebagai objek yang diamati berfungsi sebagai tanda yang dikembangkan atas
pandangan bahwa realitas terbagi atas tiga kategori universal, yaitu firstness, secondness, dan thirdness.
Yang paling menonjol dibicarakan adalah yang menyangkut hubungan antara
representamen dengan objek, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya
menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan
petandanya, misalnya gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda yang
penanda dan petandanya menunjukkan
adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya asap menandai api. Simbol adalah tanda yang
penanda dan petandanya tidak menunjukkan
adanya hubungan alamiah, tetapi bersifat arbitrer (semau-maunya), bersifat konvensi. Misalnya
kata ibu dalam bahasa Indonesia merupakan
kesepakatan masyarakat bahasa Indonesia untuk merujuk pada referen seorang ibu.
Pascasemiotika strukturalis, dua orang
pengembang semiotik yang menjadi perhatian adalah Roland Barthes (1915-1980)
dan Jacques Derrida (1930). Pertama,
teori semiotik Barthes diturunkan dari konsep Saussure terutama tentang tanda
dalam susunan sintagmatik dan paradigmatik. Barthes mengembangkan kedua kosep
tersebut dengan tambahan “makna” yang
bertahap. Dalam kehidupan sosial budaya pada tahap primer penanda adalah “ekspresi” (E) dan petanda adalah isi (C). Jadi, tanda adalah
relasi (R) antara E dan C sehingga menghasilkan model E-R-C. Pada
tahap tanda pertama kali dimaknai maka makna yang terjadi terjadi disebut
denotasi. Pemaknaan berikutnya disebut sistem sekunder yang merupakan
pengembangan menjadi model E2-R2-C2. Pengembangan bisa terjadi pada E atau pada
C. Pengembangan pada E dengan C tetap disebut
proses metabahasa atau dalam
linguistik disebut sinonimi. Misalnya E1= /dukun/ dan E2= /paranormal/ atau
/orang pinter/ dengan C tetap, yaitu ‘orang yang dapat menggunakan ilmu gaib’. Pengembangan pada C menghasilkan C lebih dari satu untuk E yang sama. Pengembangan yang demikian disebut konotasi. Contohnya Mercy (E) yang maknanya (C) ‘merek mobil buatan Jerman’. Dalam
proses selanjutnya makna baru (C2)
berkembang menjadi ‘mobil mewah’, ‘mobil orang kaya’, ‘simbol status’. Kedua bentuk
pengembangan itu, baik metabahasa maupun konotasi merupakan pengembangan dalam
cara memaknai tanda.
Kedua,
semiotik Derrida yang dikenal dengan teori dekonstruksi. Teori ini merupakan
kritik terhadap pemikiran Husserl yang memandang makna adalah sesuatu yang
dimaksudkan oleh pemberi makna sesuai dengan bahasa sebagai suara (voice). Derrida membangun teorinya
dengan pandangan bahwa bahasa yang sebenarnya bersumber pada tulisan. Baginya makna terjadi melalui cara membongkar
dan menganalisis secara kritis hal yang dimaknai. Hubungan antara penanda dan
petanda tidak tetap dan malah dapat “ditunda” untuk memperoleh hubungan yang
baru. Dengan demikian, makna suatu tanda dapat berubah-ubah sesuai kehendak
pemakai tanda bedasarkan proses penundaan hubungan antara penanda dengan
petanda untuk menemukan makna lain atau
makna baru. Proses pemaknaan yang demikian disebut proses dekontruksi sedangkan hubungannya
disebut difference. Setiap pemberian
makna harus disertai argumen yang berterima secara logis atau secara akademis.
Selain
dua aliran di atas semiotik juga dikenal dengan aliran semiotik komunikasi yang
ditandai dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengiriman dan
penerimaan tanda yang disertai dengan maksud
yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu
lintas. Aliran ini dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Muunin. Ada lagi
semiotik kotemporer yang cukup terkenal adalah semiotik ala Eco (1979).
Semiotik berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.
Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak harus hadir dan eksis secara
aktual. Dengan adanya tanda-tanda
sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi
yang paling alamiah hingga sitem budaya
yang paling kompleks maka penerapan bidang semiotika pada dasar tidak
terbatas.
Berdasarkan paparan di atas dapat
dipahami bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda dalam memaknai sesuatu. Dalam
semiotik ada banyak cara yang ditawarkan untuk mengungkapkan makna dan bahkan
semua yang berpotensi mempunyai tanda dapat dianalisis dengan semiotik. Sebagai
kajian tanda, semiotik
banyak berkaitan dengan kebudayaan yang
satu sama lainnya berhubungan untuk
memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian semiotik dapat digunakan
untuk mengkaji kebudayaan.