Abdurahman
Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan memaparkan refleksi dinamika
kearifan nilai budaya Minangkabau dan gambarannya dalam cerita klasik yang
diambil dari cerita rakyat yang sudah
terkenal di antaranya, cerita Kaba Cinduo
Mato, cerita Kaba Magek Manandin,
cerita Kaba Sutan Lanjungan, dan Kaba Rancak Dilabuah. Data dianalisis dan
interpretasi secara semiotik kemudian
dijelaskan refleksi kearifan nilai budayanya. Dari analisis ditemukan kearifan hidup bertakwa, kearifan
hidup berusaha dan berdoa, kearifan menuntut ilmu, dan kearifan hidup
bermanfaat sesuai dengan ajaran adat Minangkabau. Diharapkan tulisan ini dapat
menjadi inspirasi untuk memahami dan menganalisis eksistensi kearifan nilai
budaya Minangkabau dalam naskah cerita di samping dapat pula diterapkan dalam pendidikan
keluarga, serta dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dalam pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.Key word: Kearifan, Nilai Budaya, Cerita Klasik Minangkabau
A. Pendahuluan
Memelihara
sastra berarti memelihara kebudayaan karena di satu pihak sastra merupakan
bagian dari kebudayaan dan di pihak lain sastra merupakan sarana komunikasi
antara pengarang, pembaca, dan masyarakat yang mempertahankan aspek-aspek
kebudayaan. Negara besar yang tampil sebagai negara berbudaya biasanya memelihara dan mengapresiasi sastra dan
unsur-unsur masayarakatnya menjadikan sastra sebagai sumber pengalaman
berestetika, sumber etika, sumber filsafat dan nasihat, sumber pendidikan dan
pengajaran, dan bahkan ilmu pengetahuan. Ratna (2005:554) menyatakan bahwa
memelihara sastra berarti memelihara kebudayaan dan memelihara nilai-nilai
kehidupan. Sastra merupakan bagian sentral kebudayaan dalam sastra lama atau
modern terkandung kearifan nilai-nilai peradaban suatu bangsa.
Oleh karena
pentingnya sastra maka pewarisan
kearifan nilai-nilai budaya oleh masyarakat sudah dilakukan dengan cara
bersastra. Masyarakat Minangkabau melalui
cerita klasik telah mewariskan
nilai budayanya. Cerita rakyat yang disebut dengan kaba disampaikan dengan kegiatan yang disebut bercerita. Secara
umum kaba merupakan cerita rakyat berbahasa Minangkabau
dalam bentuk fiksi yang disampaikan dalam bentuk prosa liris (Ahmad, 1979:27). Sebagai cerita
rakyat kaba telah dituturkan dan diwariskan secara turun-temurun dari dahulu
hingga sekarang. Penceritaan kaba
berfungsi sebagai alat pendidikan budaya dalam rangka mewariskan kearifan
nilai-nilai budaya tentang kehidupan di samping sebagai hiburan yang menyenangkan.
Pada tiga dekade terakhir ini intensitas
penceritaan cerita rakyat kaba tidak seintensif pada masa sebelumnya karena
peminat cerita kaba yang sudah menurun.
Hal itu juga terjadi karena terkait dengan
keberadaan cerita kaba yang khas tradisi Minangkabau dengan medium bahasa
daerah yang sudah tidak familiar dengan kaum muda. Di samping itu, kenyataan
bahwa seni tradisi cenderung di kesampingkan karena menariknya seni modern
semakin melesukan peminat cerita klasik. Dengan makin berkurangnya minat dan
apresiasi generasi muda pada sastra kaba telah pula menjadikan mereka makin jauh dari
nilai-nilai budaya Minangkabau.
Keadaan ini
tentu tidak bisa dibiarkan terus-menerus karena suatu saat pewarisan
nilai-nilai melalui cerita kaba
Minangkabau itu tidak dikenal lagi. Dengan demikian, berarti nilai-nilai
berharga yang ada dalam sastra rakyat itu tidak dapat dikembangkan untuk
dimanfaatkan bagi kehidupan mendatang Bakar dkk (1984:3). Sejatinya, keberadaan cerita kaba sebagai produk budaya Minangkabau merupakan objek yang sarat
dengan pesan kearifan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya dalam kaba merefleksikan berbagai kearifan
nilai-nilai kehidupan dari aspek sosial,
ekonomi, adat, dan budaya yang bersumber dari kenyataan hidup. Hal itu seperti
yang diungkapkan oleh Samovar dan Porter (2001:38) yang mengatakan bahwa setiap
cerita rakyat bercerita tentang
orang-orangnya yang digunakan untuk mentransfer nilai budaya dari generasi ke
generasi berikutnya. Dan setiap budaya memiliki banyak cerita yang
masing-masing menekankan sebuah nilai yang fundamental.
Berdasarkan alasan di atas maka usaha
untuk mengeksplorasi cerita klasik kaba
dan meneliti kearifan nilai-nilai budaya yang direfleksikannya merupakan suatu yang urgen dan mempunyai manfaat yang
dapat membantu masyarakat dalam mengapresiasi kembali nilai budaya yang sudah
hidup lama dalam masyarakat.
Pengungkapan kearifan nilai-nilai budaya kaba
dapat berguna untuk peningkatan kualitas
pemahaman nilai-nilai budaya. Penelitian
nilai-nilai budaya Minangkabau dalam kaba dapat dipadang mempunyai keunikan
karena terkait dengan filosofi dan pandangan hidup budaya Minangkabau yang
khas. Kekhasan itu seperti yang diungkapkan
Naim (1996) bahwa filosofi adat budaya Minangkabau mengandung
nilai-nilai universal dan global yang
langgeng seperti terdapat dalam pepatah petitih adat ”tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.
Berhubung
cakupan dan pengungkapan nilai budaya sangat umum, maka dalam tulisan ini
nilai-nilai budaya yang akan diacu merupakan nilai-nilai budaya
Minangkabau yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat berdasarkan adat-istiadat, kebiasaan, perbuatan manusia atau
tokoh yang secara sadar ditaati dan memberikan harapan membawa kebahagiaan
(Djamaris, 1994:17). Nilai-nilai budaya yang dibahas secara garis besar
difokuskan pada masalah kearifan nilai budaya dalam hakikat hidup. Untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya dalam cerita, Ratna
(2008) mengemukakan sepuluh pendekatan dan tujuh metode yang dapat digunakan
dalam penelitian sastra. Dalam penelitian yang telah dilakukan penulis
menggunakan pendekatan semiotik sebagai alat pengungkap kearifan nilai-nilai
budaya yang dianalisis dari teks kaba dan dinterpretasi secara semiotis.
Tujuannya adalah mendeskripsikan dan menginterpretasi kearifan nilai-nilai budaya Minangkabau dari cerita klasik sesuai
dengan kajian semiotik. Hasil yang diharapkan adalah sebuah deskripsi,
interpretasi, dan pembahasan nilai-nilai budaya tentang hakikat hidup yang
bersumber dari kaba yang dapat memberikan informasi mengenai nilai-nilai budaya
Minangkabau.
Hasil pembahasan ini dapat
digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat Indonesia terutama kelompok
etnis Minangkabau dalam memahami
nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
kaba Minangkabau. Deskripsi
dan interpretasi nilai-nilai adat budaya dapat berkontribusi positif dalam
berbagai kegiatan hidup, baik secara formal maupun informal. Secara
teoretis kajian ini dapat memperkaya
teori-teori tentang nilai-nilai budaya khususnya budaya Minangkabau dan dapat
dipakai oleh berbagai kalangan terutama kalangan akademis dan peneliti sebagai
sumber dalam kajian budaya. Secara praktis dan akademis hasil penelitian dapat
dijadikan sumber materi pembelajaran dalam pendidikan bahasa dan sastra daerah.
B.
Hakikat Kearifan Nilai-nilai Budaya Minangkabau dan
Dinamikanya
Dalam bahasa Indonesia ‘kearifan’ merupakan kata yang dibentuk
dari kata dasar ‘arif’ yang bermakna ‘bijaksana, cerdik dan pandai, berilmu’
yang menunjukkan sifat. Sedangkan kata kearifan
merupakan kata benda yang bermakna ‘kebijaksanaan atau kecendekiaan’ (KBBI:
2002: 65). Dengan demikian yang dimaksud dengan kearifan dapat berupa perkataan
atau tindakan, perbuatan yang menunjukkan sifat arif, yaitu bijaksana, cerdik,
pandai, berilmu serta cendikia. Rahyono (2009:7) menyatakan bahwa kearifan
merupakan kecerdasan yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh
melalui pengalaman hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri budaya yang
dimilikinya. Bila dikaitkan dengan penelitian ini kearifan berarti kecerdasan
dan kebijaksanaan yang dihasilkan masyarakat budaya yang direkam atau
didokumentasikan dalam cerita rakyat
kaba berdasar pengalaman hidup yang dilaluinya.
Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia konsep budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
yang berarti ”budi” atau ”akal”(Koentjaraningrat:2000:9). Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture berasal dari bahasa Latin colere yang berarti ”mengolah” atau
”mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari pengertian itu dan
perkembangan berikutnya kata budaya dapat dipahami sebagai segala daya dan
upaya serta tindakan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat:2002:182). Dalam hal ini pengertian
budaya termasuk mengolah budi yang merupakan unsur batin manusia.
Dalam kajian ilmiah terutama dalam bidang antropologi
konsep kebudayaan sudah didefenisikan oleh banyak pakar dalam pembahasan ilmiah
dari berbagai disiplin ilmu. Sampai tahun 1952, Kroeber dan Kluckhohn, telah
mencatat 164 definisi kebudayaan yang mereka temukan dalam literatur
antropologi (Smith:2001:2). Konsep kebudayaan
dikemukakan oleh Tylor seorang antropolog yang lahir pada tahun 1871, yang
menyatakan bahwa kebudayaan adalah kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dari
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua
kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Harris dan
Robert, 2006:56). Dari
pengertian kebudayaan tersebut dinyatakan bahwa seluruh bidang yang dipelajari
manusia sebagai anggota masyarakat adalah kebudayaan. Selanjutnya Peursen (1988:11) yang menyatakan bahwa kebudayaan meliputi segala
perbuatan manusia seperti cara ia menghayati dan membuat upacara untuk
kematian, kelahiran, seksualitas, makanan, sopan santun, pakaian, kesenian, ilmu
pengetahuan, dan agama. Karena kebudayan merupakan perbuatan manusia maka
kebudayaan tidak pernah mencapai batas dan berlangsung dalam waktu yang lama.
Hal itu juga menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan hasil proses dinamis dan
fleksibel karena berhubungan dengan manusia. Artinya, kebudayaan mempunyai
sifat mengalami perubahan.
Berdasarkan
beberapa pendapat dan definisi kebudayaan di atas maka definisi kebudayaan pada
prinsipnya juga sesuai dengan yang dikemukakan Koentjaraningrat, bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik sendiri manusia dengan
belajar. Definisi kebudayaan ini sejauh ini
dapat digunakan sebagai landasan teori dan pegangan dalam penelitian ini karena
bersifat universal dan menyeluruh dengan arti relevan dengan definisi-defisi
yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Kebudayaan
memiliki dimensi yang sangat universal dan bahkan sekompleks kehidupan manusia
itu sendiri. Atas dasar itu maka dalam kajian ilmiah kebudayaan dikelompokkan
dalam satuan yang lebih spesifik. Sebagai dasar untuk kepentingan kajian
ilmiah, kebudayaan dikelompokkan ke dalam tujuh unsur secara universal, yaitu:
(1) sistem religi dan upacara keagamaan,
(2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian,
(6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7)
sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 2002:187). Koentjaraningrat
(2002:186) menyatakan bahwa dalam kehidupan manusia, kebudayaan diwujudkan
dalam tiga bentuk yaitu, ideas,
activities, dan artifacts.
Pertama, wujud kebudayaan ideas
merupakan suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan-peraturan dan
sebagainya. Wujud budaya ideal bersifat abstrak, tidak dapat diraba. Lokasinya
ada dalam pikiran dan kalau dalam tulisan maka lokasi kebudayaan ideal ada yang berada
dalam karangan atau buku-buku hasil karya penulis warga masyarakat
bersangkutan. Kedua, wujud kebudayaan activities disebut
juga dengan sistem sosial, yaitu mengenai tindakan berpola dari manusia.
Sistem sosial merupakan suatu kompleksitas aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat. Kelakuan berpola ini teraktualisasi dalam bentuk
aktivitas dan interaksi manusia satu sama lain dari waktu ke waktu dalam bentuk
konkret dan bisa diobservasi. Ketiga,
wujud kebudayaan artifacts atau
kebudayaan fisik sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini berupa
seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat. Sifat kebudayaan ini paling konkret berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat,
diraba, dan sebagainya.
Dalam
penelitian ini konsep kebudayaan yang dirujuk adalah wujud kebudayaan ideal
yang merupakan suatu kompleksitas dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya yang berada dalam kehidupan
manusia yang dapat ditemui dalam sastra kaba. Sehubungan dengan konsep budaya
itu, Al-Faruqi (1989:7)
menyatakan bahwa konsep kebudayaan berkaitan dengan
kesadaran akan nilai-nilai dalam kesemestaan, yang pada tingkat terendah
mengandung makna suatu kesadaran intuitif dari identitas nilai dan urutan
tingkat yang sesungguhnya dari setiap nilai, serta kewajiban untuk mengejar dan
mewujudkan nilai-nilai itu.
Selanjutnya, nilai budaya dalam
kajian budaya dapat dipahami dalam hubungannya dengan kajian nilai-nilai secara
umum. Fraenkel (1977) menyatakan bahwa
sebuah nilai adalah suatu ide atau konsep tentang sesuatu yang di pandang
penting oleh seseorang dalam hidup.
Nilai adalah ide-ide atau gagasan yang mencakup tentang apa yang benar, baik, dan indah yang mendasari pola-pola
budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi unsur jasmaniah dan lingkungan
sosial. Dengan demikian nilai-nilai tidak terlepas dari budaya dan
masing-masing budaya mempunyai nilai yang diunggulkan dalam masyarakat budaya yang dikenal dengan
nilai budaya. Nilai-nilai budaya dari yang utama sampai yang relatif, biasanya tersusun sesuai dengan
apa yang amat penting dan tergantung kepada budaya suatu masyarakat. Seperti
dijelaskan Lestari (2008:2) dalam penelitiannya di Institut Pertanian Bogor
melaporkan bahwa dalam budaya kerja peningkatan kinerja ditentukan oleh nilai-nilai perekat yang dapat mempersatukan
pandangan anggota. Nilai-nilai utama yang sangat diharapkan adalah objektif, sinergis, berkeadilan,
kebenaran, mandiri, kreatif, kasih sayang, rendah hati, harmonis, aspiratif,
menghargai, korporatif, konsistensi, dinamis, adaptif, produktif, rasional,
teliti, partisipatif, integritas, kepedulian, kepatuhan, peka, melayani,
memberi, keteladanan, akurat, dan efektif. Nilai-nilai itu dipandang penting
untuk kesuksesan sebuah organisasi.
Dalam temuan itu terlihat bahwa dalam kemajuan suatu organisasi nilai
objektif, sinergis, keadilan, kebenaran,
dan mandiri adalah nilai-nilai yang utama disamping nilai-nilai utama lainnya. Nilai-nilai
yang menonjol dalam kehidupan suatu masyarakat atau organisasi dapat menjadi
identitas budaya masyarakat tersebut.
Berdasarkan uraian aspek budaya dan nilai di atas, maka
yang dimaksud dengan pesan kearifan nilai budaya ialah konsepsi, ide-ide, gagasan, norma-norma, dan bentuk-bentuk nasihat lainnya (tersirat
dan tersurat) yang sifatnya memberikan pengajaran kepada masyarakat dalam
kebaikan yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan tindakan, dan dipandang
penting dalam hidup. Pesan kearifan
budaya juga mencakup ide-ide atau
gagasan yang menuntun untuk menentukan
tentang apa yang benar, baik, dan
indah yang mendasari pola-pola budaya dan memandu masyarakat dalam menanggapi
unsur jasmaniah, batiniah, dan
lingkungan sosial.
Dalam
penelitian ini pesan kearifan nilai budaya
adalah ide-ide atau konsepsi yang menonjol dalam kaba Minangkabau yang menjadi
identitas budaya masyarakatnya sehingga pesan kearifan itu menjadi identitas bersama. Pesan kearifan budaya itu berupa konsepsi-konsepsi mengenai apa
yang dianggap berharga dan penting dalam
kehidupan sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman dan ertimbanga yang memberi
arahan dan orientasi dalam kehidupan nyata yang selaras dengan yang ada dalam
karya sastra kaba. Pesan kearifan nilai budaya dapat berupa ide-ide, gagasan,
norma-norma, dan bentuk-bentuk lainnya
yang ada dalam kehidupan manusia, yang ditemukan dalam kaba yang berhubungan
dengan masalah dasar dalam kehidupan manusia.
Secara umum,
kearifan nilai-nilai budaya masyarakat Minangkabau dicitrakan dengan adagium ”adat bersendi syarak, syarak
bersendi kitabullah” yang merupakan
landasan filosofis kelompok etnis Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Adat
secara umum merujuk pada aturan hidup sehari-hari sedangkan syarak
adalah ajaran agama Islam yang menjadi pondasi adat yang bersumber dari
Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. Tuntunan agama Islam dan nilai-nilai adat
telah menjadi pedoman dan pegangan sebagai sebuah kearifan budaya dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau sejak beberapa abad yang lalu. Amir (2007:6) mengatakan
bahwa adat atau budaya itu telah
mengarahkan kelompok etnis Minangkabau dalam peningkatan budi pekerti untuk
membentuk masyarakat yang berbudi luhur. Keberadaan adat budaya yang dinamis
itu mampu beradaptasi dengan nilai-nilai
agama sehingga menciptakan masyarakat yang tercerahkan dan berkearifan dalam
masalah kebudayaan.
Koran Kompas
(2010) memberitakan bahwa tokoh-tokoh
asal Minangkabau tampil ke tingkat
nasional dan internasional tidak terlepas dari dukungan kebudayaannya
karena dalam adat Minangkabau diungkapkan bahwa kebesaran dan ketinggian
kedudukan yang dicapai seseorang tidak hanya karena usaha dirinya sendiri,
tetapi sebenarnya terjadi karena diusahakan dan diharapkan oleh orang-orang
yang mendukungnya, yaitu masyarakat pendukung budayanya. Di dalam konsep kearifan
alam pikiran adat Minangkabau, seseorang menjadi tinggi karena ditinggikan dan
menjadi besar karena dibesarkan oleh masyarakatnya.
Meskipun demikian,
nilai-nilai budaya Minangkabau yang dahulunya dipakai dan diamalkan secara
teguh oleh masyarakatnya, hingga zaman sekarang
telah banyak mengalami perubahan. Adanya peristiwa-peristiwa sosial politik,
pengaruh modernisasi, serta dampak globalisasi yang langsung atau tidak langsung, telah membawa wajah baru dalam
penampilan nilai budaya masyarakat (Amir: 2007:viii). Di sisi lain,
keberadaan masyarakat kelompok etnis
Minangkabau yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sudah semakin banyak
berinteraksi dengan masyarakat dunia dan
efek dari pergaulan global itu pada saat sekarang mereka tidak
terhindarkan telah menyerap berbagai nilai budaya dari bursa budaya dunia.
Indikasi
perubahan itu seperti yang diungkapkan Syarifuddin dalam Agustina (2003) bahwa pada waktu dahulu budaya atau adat
Minangkabau semarak karena masing-masing komponen masyarakat sangat peduli pada
pemahaman, pengamalan, dan pembelaan terhadap nilai-nilai agama dan budaya
Minangkabau. Namun, sekarang masyarakat Minangkabau mengalami kegoncangan
budaya yang menyeret orang untuk mencari jalan hidupnya sendiri-sendiri karena
pewarisan nilai budaya dan kontrol sosial budaya yang lemah (Sairin, 2003:54). Diakui oleh beberapa pakar bahwa kontrol orang tua terhadap pemahaman
nilai budaya anak semakin lemah, pembentukan karakter melalui keluarga semakin
disaingi oleh sajian teknologi, ditambah lagi karena anak merasa lebih hebat
dalam tenologi daripada orang tua (Elfindri, 2010:141). Dampak dari hal itu terekam dalam realitas kehidupan pada
era globalisasi sekarang. Terhadap nilai-nilai adat dan budaya tidak semua
masyarakat budaya mengaktualkan apa yang menjadi nilai-nilai yang terkandung
dalam petatah-petitih adat Minangkabau
(Naim,2003:42).
Krisis kearifan
budaya itu terindikasi dari terjadinya krisis identitas, krisis kepercayaan
diri, kehilangan pengangan pada masyarakat yang tidak terkecuali oleh generasi
mudanya (Sairin, 2003:vii). Hal yang demikian dipertegas oleh Naim
(2003:39) yang menyatakan bahwa
permasalahan besar yang dihadapi masyarakat Minangkabau adalah hilangnya yang
paling berharga dari dirinya sendiri, yaitu jati diri. Jati diri yang
dimaksudkan adalah nilai-nilai budaya Minangkabau yang menjadi kearifan dan
tujuan adat Minangkabau. Amir (2007:6) mengatakan
bahwa pesimisme terhadap pewarisan dan pengamalan nilai-nilai budaya
Minangkabau sesungguhnya sudah ada sejak abad ke-19 yang lampau dan berlanjut
hingga sekarang. Kenyataan seperti itu tidak hanya merupakan masalah lokal
masyarakat Minangkabau tetapi sudah menjadi masalah nasional masyarakat
Indonesia. Pranadji
(2004: 332) menyatakan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia
bukan disebabkan tidak adanya nilai-nilai budaya baik yang dikenal, melainkan
tidak aktualnya nilai-nilai itu dalam
kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan itu, empat dekade yang lalu, Lubis (1977
mensinyalir bahwa dominasi nilai
destruktif dibanding nilai kontruktif pada masyarakat kita sangat mencemaskan
dan akan membawa keterpurukan bangsa dalam krisis multi dimensi.
Berdasarkan uraian di atas, maka pesan
kearifan budaya yang ada dalam naskah cerita kaba Minangkabau perlu diungkapkan
dan dieksplorasi sehingga hasilnya dapat digunakan untuk peningkatan kualitas
hidup berbudaya masa kini. Hal itu
senada yang diungkapkan oleh Ratna (2008: 329) yang menyatakan bahwa khazanah
sastra lama kaya dengan pesan kearifan yang pada dasarnya sangat diperlukan
dalam rangka membina semangat kebangsaan dan kesatuan bangsa. Sehingga dengan
demikian, pembangunan budaya bangsa akan terwujud dengan dukungan landasan-landasan filosofis
yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia.
C.
Refleksi Kearifan Nilai Budaya Minangkabau dalam Cerita
Kaba
Pada bagian ini diuraikan
kearifan nilai budaya hakikat hidup dalam pandangan masyarakat Minangkabau yang
tergambar dalam cerita kaba.
a.
Refleksi
Kearifan Nilai Budaya Ketakwaan
Pada umumnya, dalam cerita kaba
lama dan baru hidup diyakini sebagai takdir Allah dan dalam menjalani kehidupan seseorang
harus bertawakal kepada-Nya. Refleksi
itu menunjukkan bahwa tokoh cerita kaba mengamalkan nilai-nilai budaya
ketakwaan yang bersumber pada pandangan hidup berdasarkan agama Islam.
Dari
kaba yang dianalisis ternyata kaba lama dan kaba baru menggambarkan bahwa hidup
dan mati manusia merupakan kehendak dari
Tuhan Maha Pencipta alam semesta, yaitu
Allah yang maha pencipta. Dalam kaba lama dan kaba baru yang dijadikan sumber
data ditunjukkan gambaran tentang hidup sebagai kehendak Allah. Puti Linduang Bulan dalam cerita Magek Manandin
dinyatakan hamil sebagai kehendak dari Allah dan anak yang dikandung diyakini
dan disebut sebagai pemberian Allah kepada dia dan suaminya. Data itu adalah tanda
semiotis berupa indeks yang objeknya takdir Allah dan interpretannya adalah
adanya kehidupan manusia sebagai makhluk merupakan kehendak dari Allah Yang
Maha Kuasa yang menjadikan makhluk manusia.
Selanjutnya, dalam cerita itu dinyatakan bahwa ada empat hal yang
menjadi ketentuan Allah yang manusia tidak dapat mengingkarinya, yaitu tentang
hidup, mati, urusan nyawa, dan urusan rezeki.
Signifikasinya menunjukkan suatu keyakinan bahwa tokoh-tokoh cerita kaba
memandang hidup dengan segala
eksitensinya, ajal atau mati, urusan nyawa, dan rezeki luas sempitnya sudah merupakan ketentuan yang
sudah digariskan oleh Allah dalam ilmu-Nya. Kearifan nilai budaya yang
ditegaskan adalah bahwa Tuhan berkehendak mutlak terhadap makhluk-Nya, yaitu
menghidupkan dan mematikan, dan memberikan rezeki-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Seorang
hamba yang benar dalam kearifan nilai
budaya tentu bertakwa kepada-Nya.
b.
Refleksi
Kearifan Nilai Budaya Berusaha dan Berdoa
Dalam menjalani hidup manusia diharuskan berusaha dan berdoa
untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Tokoh-tokoh cerita yang berusaha dan
berdoa pada umumnya menjadi tokoh yang berhasil sedangkan tokoh yang tidak mau
berusaha menjadi tokoh cerita yang gagal.
Setelah dianalisis secara semiotis, dalam hamper
semua cerita kaba yang diteliti digambarkan bahwa setiap tokoh protagonis
berusaha dengan sekuat tenaga dan di
samping itu berdoa kepada Allah dalam memecahkan persoalan yang dihadapi
dalam hidup. Dalam cerita kaba Cindua
Mato ditemukan tokoh Bundo Kanduang berusaha sebagai seorang ibu mendidik
anaknya tokoh Dang Tuanku dan Cindua
Mato dari kecil hingga dewasa. Di akhir cerita digambarkan kemenangan Cindua
Mato dalam berjuang sebagai hasil dari
buah usaha Bundo Kanduang. Dalam cerita kaba Tapian Larangan ditemukan tokoh
Mambang Sutan berusaha mencari jalan
keluar atas fitnah terhadap dirinya dan menuntut kembali tunangannya yang
diambil tokoh Mantiko Rajo. Dengan berusaha
melalui jalur hukum adat dan bermusyawarah dengan berbagai pihak, ia
kembali mendapatkan tunangannya dan menyadarkan semua pihak yang keliru. Dalam
kaba Magek Manandin ditemukan
kegigihan Magek Manandin berusaha mendapat kembali tunangannya Subang Bagelang
dengan perjuangan yang menggentarkan dan mati-matian. Dalam kaba Sabai Nan Aluih ditemukan tokoh Sabai Nan Aluih berusaha menuntut balas
kepada tokoh Rajo Nan Panjang atas kematian ayahnya. Dalam kaba Rancak Dilabuah ditemukan tokoh Siti
Jauhari berusaha mendidik tokoh Rancak Di Labuah menjadi seorang intelektual
sehingga berhasil menjadi penghulu. Begitu juga dengan tokoh Sutan Lanjungan,
tokoh Buyuang Karuik, dan tokoh Haji Karim dalam kaba Bujang Pajudi. Semua
tokoh cerita adalah sosok yang berusaha
dalam kegiatan hidup yang baik sehingga
merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.
Selain berusaha dengan tindakan
nyata, tokoh-tokoh kaba dalam mengisi hidup juga melakukan kegiatan berdoa
kepada Allah untuk kesuksesan hidupnya. Mereka berdoa dikala lapang dan sempit,
dikala menghadapi masalah atau disaat sejahtera. Pada saat tokoh Cindua Mato
menang perang dengan tokoh Tiang Bungkuak, tokoh Bundo Kanduang bersyukur
kepada Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika tokoh Cindua Mato
menghadapi perperangan, tokoh Bundo Kanduang dan seluruh perangkat kerajaan
mendoakan Cindua Mato, begitu juga sebaliknya Cindua Mato meminta doa kepada
Bundo Kanduang dan Dang Tuanku. Mereka saling mendoakan dalam kebaikan.
Dari refleksi data tentang hidup
berusaha dan berdoa dapat dinyatakan bahwa cerita klasik menegaskan bahwa
kearifan nilai budaya berusaha dan berdoa merupakan kearifan yang penting dalam
hidup. Dinamika hidup manusia susah dan senang harus diisi dengan kesenangan
pada mau berusaha dan berdoa sebagai kearifan nilai budaya yang telah
dipesankan oleh pengarang cerita kaba Minangkabau.
c.
Refleksi
Kearifan Nilai Budaya Menuntut Ilmu
Dalam
cerita kaba lama dan baru ditemukan tokoh-tokoh kaba yang dalam hidup
mengutamakan menuntut ilmu untuk melakukan suatu pekerjaan dalam kehidupan.
Berdasarkan paparan data ditemukan bahwa usaha menuntut ilmu untuk melakukan
suatu pekerjaan dan menjalani hidup merupakan hal yang diutamakan dalam cerita
kaba. Dalam kaba Cindua Mato digambarkan Dang Tuanku belajar kepada Bundo
Kanduang dengan tekun dan sabar. Meskipun ibunya memanggilnya di tengah malam
disaat ia tidur namun ia tetap memenuhi panggilan ibunya untuk belajar ilmu.
Dalam kaba Sutan Lanjungan
digambarkan kegigihan tokoh Sutan Lanjungan menuntut ilmu kepada tokoh Datuk Timbangan di perantauan pada
malam hari karena pada siang hari ia berdagang mencari harta untuk kesejateraan
dirinya dan keluarganya di kampung. Menuntut ilmu dan mencari harta merupakan
dua tujuan utama Sutan Lanjungan dalam merantau. Selanjutnya, dalam kaba Rancak Dilabuah digambarkan kegigihan
Siti Jauhari mendidik dua anaknya tentang berbagai ilmu adat-istiadat sehingga
anaknya menjadi terangkat kelas sosialnya.
Sebaliknya Rancak Dilabuah dan Siti Budiman menunjukkan sikap yang
terbuka, menerima, dan sangat antusias dalam menuntut dan mengamalkan ajaran
ilmu yang diperoleh dari ibunya.
Begitu juga ketika Si Buyuang Karuik
akan pergi dengan Jaksa Lembang Alam ke Palembang, ia menemui Sutan Pasisia dan
Sari Anum yang sudah dianggap sebagai orang tuanya. Kepada mereka berdua
Buyuang Karuik meminta nasehat atau ilmu agar sukses hidup di rantau orang. Sebagai orang yang telah berpengalaman hidup
di rantau sebagai pedagang nasi, ia
menyampaikan rahasia kesuksesannya kepada Buyung Karuik, yaitu agar hidup lurus
dan benar, hemat dengan menabung, hendaklah berdagang dan jangan selamanya
menjadi orang gajian, dan selalu meningkatkan taraf hidup.
Dari
sepuluh cerita kaba yang diteliti, sembilan kaba menggambarkan pentingnya
menuntut ilmu dalam hidup. Satu cerita kaba dengan tokoh antagonis Bujang Juki
yang mencela orang yang tidak mau menuntut ilmu
sehingga tokoh Bujang Juki yang
tidak berilmu itu menjadi orang yang menyusahkan banyak orang dalam kehidupan.
Akhir dari kehidupannya ia membunuh tokoh Siti Baheram dan karena itu ia
diadili dan mendapat hukuman gantung.
Dengan demikian, kaba Siti Baheram
juga menggambarkan pentingnya pendidikan
dan menuntut ilmu dan menggambar akibat buruk tidak berpendidikan, yaitu
menjadi penyakit masyarakat. Jadi, kebodohan dan keterbelakangan sudah
dirasakan sebagai musuh dari kehidupan itu sendiri yang harus dihilangkan
dengan pendidikan.
Dalam
hal ini kaba menyampaikan pesan bahwa
tokoh-tokoh kaba yang tidak mendapat atau tidak menghiraukan pendidikan
mendapatkan hidup yang sengsara sedangkan tokoh-tokoh yang mencintai ilmu dan
beramal dalam hidup menjadi tokoh yang sukses dan bahagia. Refleksi yang
demikian menunjukkan bahwa cerita kaba memesankan kearifan nilai budaya
menuntut ilmu dalam kehidupan yang penting dalam peningkatan kebermanfaatan dan
kualitas hidup.
d.
Refleksi
Kearifan Nilai Budaya Bermusyawarah dan Bertindak Cepat
Pada
umumnya, cerita kaba menggambarkan tokoh-tokoh yang bermusyawarah dan bertindak cepat dalam menghadapi dan menyelesaikan
persoalan hidup. Tokoh yang penuh perhitungan dan bermusyawarah selamat
sedangkan tokoh yang tidak mempunyai pertimbangan mendapat bahaya. Pada
umumnya, dalam kaba yang diteliti digambarkan tokoh-tokoh protagonis yang cepat
bertindak dalam menghapai persoalan hidup. Dalam hal bertindak itu ada dua
model yang diperlihatkan oleh cerita kaba, yaitu orang atau tokoh-tokoh yang
penuh perhitungan dan bermusyawarah dan tokoh yang emosional dan tidak
bermusyawarah. Tokoh yang penuh
perhitungan dan bermusyawarah dapat mengatasi persoalan hidup dengan baik dan
selamat atau bahagia. Sebaliknya tokoh yang emosional dan tidak bermusyawah
mendapat tantangan yang semakin membahayakan dirinya. Ternyata dalam kaba
tindakan emosional dan tanpa perhitungan itu
juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya digambarkan bijaksana,
mempunyai ilmu, dan tahu dengan kiat-kiat menyelesaikan hidup, seperti Rajo Bandiang, Haji Karim, Angku Kapalo, dan Rajo Kuaso. Agaknya ini sebuah
kritikan terhadap ditinggalkannya kearifan nilai musyawarah dalam kehidupan dan
tindakan emosional itu berbahaya bagi siapa pun dan menyebabkan jalan
hidup mereka menderita.
Tokoh-tokoh dalam kaba yang
bertindak dengan cepat, cerdas, dan penuh perhitungan, serta bermusyawarah
adalah tokoh Bundo Kandung dan tokoh Cindua Mato dalam kaba Cindua Mato. Tokoh
Siti Jauhari dalam menghadapi anaknya yang menentangnya dalam hal konsep hidup.
Tokoh Mambang Sutan menghadapi tokoh Mantiko Rajo dan Mangkuto Rajo sehingga
Mantiko Rajo yang berseberangan dengannya menjadi sahabat setianya.
Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan penuh perhitungan dan kearifan nilai bermusyawarah
itu telah menghasilkan jalan keluar yang mengagumkan dari problema hidup mereka sehingga mereka
menjadi tokoh-tokohnya orang terhormat dan bahagia dalam gambaran kaba.
e.
Refleksi
Kearifan Nilai Budaya Hidup Bermanfaat
Hidup
yang ideal adalah hidup dengan berilmu, berusaha, dan bermanfaat bagi orang
lain. Hidup yang tercela adalah hidup dengan senang-senang dan tidak bermanfaat
dan bahkan menyusahkan orang lain. Dalam cerita kaba digambarkan bahwa
tokoh-tokoh yang telah sukses mencari harta dan ilmu baik di kampung atau
dirantau memberikan kontribusi terhadap kehidupan keluarga berupa
mensejahterakan keluarga, meningkatkan status sosial, dan menjadi pemimpin
dalam masyarakat. Gambaran itu lebih
nyata pada kaba baru dibandingkan dengan kaba lama. Pada kaba lama hal itu tidak menonjol karena
pada umumnya tokoh cerita adalah kaum bangsawan yang sudah kaya dan berstatus
sosial tinggi dalam masyarakat. Kontribusi mereka hanya sebatas mempertahan
kedudukan, kehormatan, dan menuntut balas pada pihak yang mencoba menganggu
keluarga. Sebaliknya, pada kaba baru tokoh-tokohnya berasal dari orang biasa dengan status sosial rendah sehingga kontribusi
anggota keluarga yang telah mapan dirantau sangat menentukan peningkatan
kualitas keluarga yang ditinggalnya yang masih miskin.
Keberhasilan
hidup tokoh cerita kaba terkait dengan prinsip-prinsip hidup yang bersumber
dari petatah-petitih adat Minangkabau dan ajaran agama Islam. Artinya, hidup
dilalui dengan landasan filosofis adat dan agama. Dalam kaba yang dibahas
ditemukan bahwa tokoh-tokoh cerita yang digambarkan sukses dalam hidupnya baik
dalam berjuang maupun berdagang di rantau karena mereka memegang teguh
prinsip-prinsip atau pandangan hidup yang bersumber dari ajaran agama Islam dan
ajaran adat Minagkabau.
D. Kesimpulan
Berdasarkan temuan-temuan yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa refleksi
kearifan nilai-nilai budaya hakikat hidup kelompok etnis Minangkabau digambarkan dalam cerita sebagai takdir Allah
yang harus dijalani dengan bertawakal, berusaha, dan berdoa, mencari ilmu,
mencari harta demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan
bermanfaat bagi orang lain. Kebahagian hidup tergantung pada pilihan hidup dan
pilihan dalam berusaha. Orang-orang yang berusaha dengan baik, beriman,
berilmu, dan beramal dalam hidupnya akan
mendapatkan kebahagiaan, sedangkan orang yang tidak berusaha ke arah yang baik
dan tidak berilmu akan mendapat hidup yang sempit dan cenderung menyusahkan
orang lain.
Berdasarkan kesimpulan penelitian, disarankan bahwa refleksi
kearifan nilai-nilai budaya yang diungkapkan dari cerita kaba perlu diteliti lebih lanjut untuk dapat
memperjelas aspek-aspek yang belum terungkap sehingga ke depan terdapat
gambaran budaya yang lebih kompleks
dari sastra lama. Kepada pemerintah
disarankan, berhubung keberadaan kaba itu amat minim, maka aksi nyata yang
dipandang penting adalah memperbanyak kembali kaba-kaba yang sarat
dengan kearifan nilai-nilai budaya yang sudah disebut di atas dan analisisnya
untuk bahan pengajaran di sekolah, di perguruan tinggi, serta untuk dibaca
masyarakat melalui koleksi
perpustakaan di wilayah budaya
Minangkabau. Tindakan ini amat perlu
untuk membentengi gelombang budaya global yang tidak konstruktif bagi kehidupan
lokal dan nasional dengan lebih dahulu mengenal budaya lokal.
Daftar Rujukan
Al-Faruqi, Ismail R. Islam
dan Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Mizan, 1989.
Amir. Adat Minangkabau Pola dan
Tujuan Hidup Orang Minangkabau. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 2007.
Azmi. “Pelestarian Adat dan Budaya Minangkabau” dalam Minangkabau
yang Gelisah. Bandung: CV Lubuk Agung, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar