Perilaku Berbahasa
Indonesia Pendidik dan Pembelajar dalam Perspektif Globalisasi
Oleh
Dr.
Abdurahman, M.Pd.
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang
Email: abdurahman.padang@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini difokuskan pada dua
fenomena, yaitu perilaku berbahasa Indonesia dan perspektifnya dalam persoalan
globalisasi. Persoalan pertama mengacu
pada perilaku berbahasa Indonesia pemakai bahasa Indonesia dalam pembelajaran
yaitu, pendidik dan pembelajar dalam berpikir, bersikap, berbuat dan bertindak dalam perspektif globalisasi. Berkaitan
dengan hal tersebut penulis ini telah mencermati beberapa persoalan guru dan
pembelajar bahasa berdasarkan pengalaman dan diskusi dengan mahasiswa serta
membaca tulisan pemerhati perkembangan bahasa Indonesia. Penyadaran perilaku
berbahasa Indonesia itu perlu diaktualkan pada persoalan yang lebih
kontekstual dan aplikatif dengan adanya solusi yang kreatif melalui
interpretasi dan reinterpretasi serta penjelasan yang logis agar perilaku berbahasa lebih prospektif
terutama dalam menyikapi globalisasi.
Kata
kunci: Perilaku Berbahasa,
Pendidik-Pembelajar, Globalisasi
A. Pendahuluan
Dinamika globalisasi dan peradaban manusia yang berkembang
bersamanya sudah lama menjadi persoalan dan
sekarang dibincangkan pula dalam pendidikan berbahasa. Globalisasi menyebabkan
berbagai implikasi sehingga berbagai bidang kehidupan: ekonomi, budaya, dan teknologi
(terutama teknologi informasi) mengalami perubahan pesat dan inovasi yang
ditimbulkannya menjadikan persoalan lokal dan internasional seakan bersifat paradoks. Bahasa dan budaya lokal yang selama
ini tidak dikenal, sekarang mencuat kepermukaan dan direspon oleh penduduk dunia. Sebaliknya budaya dan bahasa asing yang dahulu ditapis dan tabu, sekarang menjadi
menu budaya yang tiap saat siap meresap ke dalam kehidupan kita melalui perantaraan
program media masa. Foto berikut ini menunjukkan hal itu.
Era globalisasi informasi juga ditandai dengan perputaran
aksara yang bergerak cepat menghantarkan berbagai peristiwa dan manusia
mengambil berbagai keperluan dari isi yang dikemasnya. Tidak dapat dielakkan
akselerasi perolehan dan perkembangan informasi, pengetahuan, budaya, dan bahasa
juga meningkat cepat sehingga terkadang seperti merusak yang sudah ada meskipun perubahan itu sesuai dengan tuntutan
zaman. Konsekuensinya sebagai bangsa
Indonesia kita harus menentukan sikap dan menindakkan budaya dan perilaku berbahasa
yang benar agar bisa lepas dari gegar budaya atau kebimbangan budaya dan juga
gegar perilaku berbahasa.
Untuk
menentukan sikap dan perilaku yang tepat dalam berbahasa tentulah memerlukan
pandangan yang holistik dari keberagaman pandangan karena faktor yang mempengaruhi
perilaku berbahasa terkait dengan kompleksitas persoalan kehidupan manusia. Karena
kompleksitas persoalan itu pula maka usaha menentukan sikap dan perilaku dalam menghadapi
perubahan yang terjadi, dapat pula berbeda-beda. Bisa jadi seorang pendidik
bahasa akan mengambil perilaku statis (tidak peduli) sebagaimana
adanya karena prustrasi dengan hasil pembelajaran bahasa ditambah lagi dengan
pengaruh globalisasi yang mengacaukan performansi berbahasa. Sebagian ada yang bergerak memberikan respon bersama
perubahan itu secara dinamis dan mengikuti perkembangan-perkembangan yang
terjadi termasuk dalam menyikapi pembelajaran bahasa. Selain itu ada yang lebih
proaktif dan mengambil ancang-ancang perilaku dan tindakan yang lebih visioner sehingga
manfaatnya perilaku bahasa yang ditindakkannya bermanfaat melampaui zaman di
mana perubahan itu dilalui. Pilihan-pilihan itu amat terkait dengan faktor yang
mempengaruhi perilaku namun pilihan yang bijak dan bermanfaat dalam menyikapi
globalisasi tentu merupakan sebuah dinamika
kreativitas berperilaku sehingga berdampak prospektif dan solutif dalam
menapis problema bahasa ke depan. Dengan demikian, perlu kiranya pembahasan
pentingnya perilaku berbahasa terutama bagi pendidik sebagai agen pembelajaran
bahasa dan pembelajar yang akan menggunakan bahasa dalam era berikutnya.
Sebagai
insan yang berkonsentrasi memajukan
pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, pendidik
bahasa Indonesia dan pembelajarnya tentu telah menekadkan diri untuk mewujudkan bahasa Indonesia yang lebih mapan dan lsan yang ebih berperan
dalam persoalan globalisasi sehingga ke
depan bahasa Indonesia dapat “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan
bahasa lainnya di dunia. Dampak tertinggi yang kita harapkan adalah untuk
persoalan yang mendunia kita cukup menggunakan bahasa Indonesia, sebagai alih
bahasa dalam hubungan interpersonal global. Untuk mewujudkan harapan tersebut
pendidik dan pembelajar bahasa Indonesia --sebagai agen pemapanan bahasa Indonesia-- mesti mengejawantahkan perilaku
berbahasa Indonesia yang benar dan baik
secara linguistis maupun secara politis. Yang menjadi persoalan, bagaimanakah menentukan
pilihan perilaku berbahasa yang baik itu? Tulisan ini diharapkan berkontribusi dalam membuka
wawasan untuk mengambil perilaku berbahasa Indonesia yang yang baik terutama
untuk pendidik dan pembelajar bahasa Indonesia baik di level sekolah maupun
perguruan tinggi. Manfaat tulisan ini juga lebih diharapkan
dapat membuka jalan ke arah usaha membina perilaku berbahasa Indonesia di
sekolah dengan mempertimbangkan pendidik, pembelajar, dan aspek pendukungnya.
B. Kelas dan Perilaku Berbahasa
Seorang pendidik bahasa Indonesia di kelas yang
diajarnya merupakan model yang akan ditiru oleh pembelajar dalam berbahasa
Indonesia. Di samping itu, mereka seharusnya bertindak dalam pembelajaran
bahasa bagai pemancing yang mendapat ikan bukan sebaliknya bagai pemancing yang
dilarikan ikan. Artinya, guru menjadi model yang mengendalikan perilaku
berbahasa pembelajar ke arah yang lebih beraturan secara bahasa dan konteks
pemakaiannya. Dengan demikian, mulai dari masuk kelas hingga keluar kembali, pendidik akan menjadi figur yang diamati tindak berbahasa dan perilaku berbahasanya, baik secara lisan maupun tulis.
Adakah pendidik selalu menyadari hal demikian dalam seluruh aktivitasnya
dalam pembelajaran bahasa Indonesia? Jawabannya tentu akan sangat beragam dan
tergantung bagaimana situasi dan di lokasi mana seorang pendidik memberikan
pembelajaran bahasa.
Saya mendapat cerita dari seorang guru yang pindah
dari kota propinsi ke kota Jakarta dan mereka menyampaikan keluhannya tentang
bahasa Indonesia yang dipakai oleh pembelajar di sekolah yang lokasinya di ibu
kota. Keluhannya adalah ternyata kebanyakan murid di dalam kelas yang diajarnya
dalam berinteraksi dengan sesama mereka dan berkomunikasi dengan guru
menggunakan bahasa Indonesia dialek Betawi.
Kosa kata yang digunakan lebih menonjol berdialek yang cenderung dengan penekanan fonem /e/ dan
sebagian arti kata yang digunakan menyimpang maknanya dengan makna yang ada dalam bahasa
Indonesia. Bagi dia, kenyataan ini adalah suatu yang di luar dugaan karena ia
menyangka sebelumnya bahwa Jakarta adalah pusat kota dan mengira pembelajar
yang ada di sana adalah anak-anak yang berbahasa Indonesia yang baik. Ternyata
apa yang ditemuinya jauh berbeda dengan yang dikiranya. Kenyataan itu jelas
menunjukkan bahwa di tengah kota besar sekalipun pun persoalan perilaku
berbahasa Indonesia di dalam kelas masih perlu diperbaiki.
Lain lagi halnya dengan perilaku berbahasa Indonesia
yang terjadi di daerah (kota penulis). Penulis pernah bertanya kepada mahasiswa
bagaimana gurunya dulu mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah menengah,
“Apakah guru di dalam kelas mereka sudah berbahasa Indonesia untuk semua
aktivitasnya”. Mahasiswa yang saya tanyakan hampir serentak mengatakan, “Sudah
Bapak”. Kemudian saya menanyakan lagi
untuk mendapatkan informasi yang lebih spesifik dan saya tanyakan, “Bagaimana
kalau gurumu marah di kelas, apakah dia juga menggunakan bahasa Indonesia?”. “Bagaimana
kalau guru bahasa Indonesia menyapamu di luar kelas apakah dia berbahasa
Indonesia?” Mereka juga menjawab serentak, “Tidak Bapak, guru menggunakan
bahasa daerah.” Lalu saya katakan,
“Kenapa? Apakah bahasa Indonesia tidak
bisa digunakan untuk marah dan untuk menyapa di luar kelas?”. Jawaban mereka, “Bisa Pak, tapi … ya
bagaimana ya?”
Dari dua kasus di atas, baik di kota besar maupun di
daerah nampaknya perilaku berbahasa Indonesia di kelas belum menunjukkan
semangat yang meng-Indonesia. Meskipun penulis ini menyebutkan kasus berbahasa
daerah di kota penulis, di kota lain dan daerah lainnya di Indonesia mungkin
juga sama. Bahasa Indonesia hanya
dipakai dalam situasi berbahasa yang formal sedangkan ketika pendidik dan pembelajar
memasuki siatuasi yang nonformal dan akrab meskipun masih dalam kelas, mereka
tidak menyadari kalau mereka telah keluar dari aturan bahasa dalam
penyelenggaraan pendidikan yang harus berbahasa Indonesia. Kekeliruan
berperilaku berbahasa daerah dalam beriteraksi di kelas sudah dianggap suatu
yang biasa. Meskipun itu salah tetapi
apa daya jika kesalahan sudah dianggap suatu yang biasa. Tentu hal itu tidak
menjadi masalah lagi bagi pembelajar meskipun dalam undang-undang, pendidikan yang demikian
dilarang.
Kenyataan perilaku berbahasa Indonesia pendidik dan
pembelajar yang tidak konsisten tentu tidak menguntungkan ke dua belah pihak dalam
pembinaan dan pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia. Pendidik bisa jadi
tidak terbiasa dengan bahasa Indonesia ragam santai dan lebih mahir hanya dalam
ragam resmi bahasa Indonesia. Sebaliknya pembelajar bahasa hanya dapat
mencontoh bagaimana menggunakan bahasa Indonesia ragam resmi dalam situasi
formal sedangkan bagaimana ragam yang tidak resmi digunakan mereka tidak pernah
mendapatkan bagaimana cara mengaktualkannya dalam kenyataan yang sebenarnya
sebagai performansi berbahasa yang baik dari pendidik. Dengan demikian, tentulah tidak dapat
dipungkiri kalau bahasa Indonesia yang tidak standar itu menjadi tantangan tersendiri bagi pembelajar untuk
mewujudkannya sehingga bentuk bahasa yang diaktualkan menjadi sangat bervariasi
meskipun mereka masih di kelas bahasa.
Sehuhungan
dengan itu, untuk melakukan perbaikan di kelas ke arah pembelajaran bahasa yang
baik untuk menghasilkan perilaku berbahasa yang benar tentu banyak hal bisa
dikemukakan karena persoalan tersebut berhubungan dengan banyak variabel
pembelajaran bahasa. Dari sekian banyak hal yang mempengaruhi yang penulis
nilai amat penting dalam menghadapi globalisasi adalah harkat berbahasa
Indonesia karena harkat merupakan aspek penting berperilaku.
C. Perilaku Berbahasa yang Diperlukan
Untuk menjawab tantangan globalisasi yang mungkin akan membawa dampak negatif
terhadap bahasa Indonesia maka perlulah kita menetapkan perilaku berbahasa yang
akan memberikan dampak positif terhadap bahasa Indonesia, bangsa, dan kehidupan
kita. Berikut yang beberapa perilaku berbahasa yang perlu dikemukakan.
1. Perilaku
pendidik dan pembelajar mesti berbahasa Indonesia
Dalam
pembelajaran di sekolah atau di seluruh kawasan sekolah semua unsur sekolah,
mulai dari kepala sekolah sampai kepada pesuruh sekolah harus berbahasa Indonesia sehingga sekolah
adalah kawasan berbahasa Indonesia. Dengan demikian, praktik berbahasa
Indonesia benar-benar akan dirasakan oleh pembelajar dalam semua aspeknya
sehingga akan terwujud pembelajar dan pendidik yang berpikir dan merasa dengan
bahasa Indonesia. Mereka akan
mengaktualkan kompetensi berbahasa mereka dalam empat keterampilan berbahasa,
mendengar, berbicara, membaca, dan menulis dalam masa yang lebih memadai
dibandingkan kalau guru hanya berbahasa Indonesia di kelas saja. Sekolah
merupakan sebuah tempat berbudaya Indonesia dengan bahasa Indonesia yang berbeda
dengan bahasa di lingkungan sekolah yang masih didominasi berbahasa daerah.
Untuk itu, perlu dibuat komitmen antara
pelaksana pendidikan di sekolah dengan siswa untuk selalu berbahasa Indonesia
di sekolah. Semua guru mesti diajak untuk mewujudkan hal itu sebab selama ini
tidak semua guru mau berbahasa di sepanjang waktunya di sekolah. Untuk
mewujudkan hal itu, perlu dibuatkan sanksi yang mendidik supaya perilaku tidak
berbahasa Indonesia bisa ditertibkan. Sanksi
yang mungkin jika ada siswa yang tidak berbahasa Indonesia bisa
dilaporkan kepada guru bahasa Indonesia dan guru bahasa Indonesia mencatat
pengaduan itu untuk membuat teguran dan poin pengurangan nilai keterampilan
berbahasa Indonesia. Saya juga menghimbau kepada instansi terkait untuk menerapkan aturan yang lebih tegas untuk menggunakan
bahasa Indonesia di sekolah dan jika
perlu dijadikan indikator yang menentukan tingkat sekolah yang terbaik.
2. Perilaku
Meningkatkan Keterampilan Berbahasa
Keluhan pengelola pendidikan di sekolah diakhir
setiap tahun pembelajaran adalah nilai hasil UN bahasa Indonesia rendah.
Sementara di perguruan tinggi keluhan berbahasa Indonesia yang sering terdengar
adalah kurang publikasi ilmiah oleh civitas akademika. Hal itu, menunjukkan
adanya mata rantai kelemahan berketerampilan berbahasa Indonesia dari sekolah
dasar, sekolah menengah, dan perguruan
tinggi. Penyebab hal itu sudah sering
pula dibahas oleh banyak pemerhati bahasa Indonesia dan sudah banyak tulisan
yang dihasilkan.
Ada dua hal yang penulis simpulkan dari tulisan yang
banyak itu. Pertama pembelajaran bahasa masih didominasi oleh pengajaran tata
bahasa dan meninggalkan aspek berbahasa secara kontekstual yang menekankan
pelatihan keterampilan untuk komunikasi.
Kedua, jika pembelajaran didasarkan pada aspek komunikatif maka tidak jarang pula mengabaikan aspek
tatabahasa. Seharusnya, aspek kompetensi dan performansi berbahasa sudah dibentuk sejak sekolah dasar sehingga
bahasa Indonesia yang dipelajari adalah bahasa Indonesia yang diperlukan dalam
kebutuhan hidup bukan bahasa yang artifisial.
Seorang teman saya yang sudah pulang dari luar
negeri setelah lama tinggal di sana,
mengeluhkan pembelajaran bahasa Indonesia
anaknya di sekolah dasar di dekat rumahnya. Katanya anaknya diajarkan
guru bahasa Indonesia tentang SPOK dan itu berbeda sekali ketika ia di luar
negeri belajar bahasa. Katanya, “Kalau di sekolah di luar negeri pembelajaran
bahasa anaknya tidak mengarah ke gramatika. Satu cara yang dilakukan guru
adalah menugasi murid mengamati lingkungan rumahnya. Murid mengamati dan
mencatat data-data lalu si anak membuat
laporan singkat dalam bentuk deskripsi. Laporan itu lalu didiskusikan bersama
temannya dan gurunya di sekolah.
Jika pembelajaran dalam bahasa
Indonesia sudah melatihkan keterampilan berbahasa seperti contoh di atas sejak
dini, saya yakin anak-anak kita akan banyak yang mau menulis dan perilaku baca
tulis akan meningkat. Selanjutnya,
kesenangan baca tulis makin terlatih sampai dewasa dan menjadi kebiasaan
yang utama. Jika tidak demikian, maka pembelajaran bahasa Indonesia dan bangsa
Indonesia tentulah dalam bahaya karena orang sudah bisa membaca tetapi tidak membaca dan sudah bisa menulis tetapi tidak menulis akan digilas globalisasi.
3. Perilaku
menghargai (mensyukuri) bahasa Indonesia
Kita
sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya mensyukuri kemerdekaan yang sudah
diperjuangkan oleh para pejuang Indonesia dalam arti mengisi kemerdekaan dengan
pemikiran, sikap, dan tindakan yang bermanfaat bagi kemanusiaan manusia. Hal yang serupa berlaku pula pada bahasa
Indonesia yang menjadi alat untuk menyatakan kemerdekaan itu sekaligus sebagai
bahasa resmi Negara Indonesia. Perilaku bersyukur yang dimaksud adalah
menggunakan bahasa Indonesia untuk kemuliaan manusia. Apakah yang akan
dilakukan sehubungan dengan itu? Penulis menawarkan beberapa solusi dengan
mencermati kutipan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di bawah ini yang telah penulis
nomori untuk dapat ditangkap pesan bagaimana perilaku mensyukuri itu dapat dilakukan
dalam kegiatan berbahasa Indonesia
D. Simpulan
Menjawab tantangan globalisasi ke depan perlu pembentukan perilaku berbahasa Indonesia yang baik, yaitu perilaku bahasa yang
berhubungan dengan kompetensi dan kinerja seseorang dengan bahasa yang
dipakainya di dunia nyata. Banyak fakta yang ditemui dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, bahwa perilaku bahasa Indonesia belum menunjukkan pentingnya
berbahasa Indonesia seperti yang digambarkan pada bagian kelas dan perilaku berbahasa, harkat
berbahasa Indonesia yang masih lemah, dan tidak terbiasa dengan keterampilan
baca tulis dalam bahasa Indonesia. Dalam mengatasi hal tersebut perlunya
kebijakan sekolah harus berbahasa Indonesia, belajar berbahasa bukan tentang bahasa, dan
memberikan penghargaan dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk memuliakan kemanusiaan. Dampak negatif globalisasi
terhadap bahasa Indonesia dapat ditapis dengan perilaku berbahasa yang benar
dan memajukan bahasa Indonesia.
Catatan: makalah lengkap dimuat dalam jurnal bahasa dan seni FBS UNP
Catatan: makalah lengkap dimuat dalam jurnal bahasa dan seni FBS UNP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar