Suatu pagi penulis menuju kelas yang
akan diajar. Ketika hendak masuk penulis
tertegun sejenak dan teringat kembali cerita-cerita tentang mahasiswa yang
terlambat datang dan komitmen untuk disiplin. Namun karena merasa diperhatikan mahasiswa dari dalam
kelas, penulis mengangkat tangan kiri melihat jam tangan dan ternyata jarumnya
menunjukkan tepat jam tujuh. Penulis mengucapkan assalamualaikum di depan
pintu. Seperti biasa hampir semua mahasiswa menjawab salam, alhamdulillah.
Ketika sudah mengajar di kelas, aktivitas belajar sering terganggu oleh
mahasiswa yang terlambat. Apalagi pada musim penghujan maka banyak yang datang tidak tepat waktu. Dalam
menangani kasus yang demikian berbagai macam cara telah dilakukan dosen. Meskipun
demikian banyak cerita tentang mahasiswa yang terlambat itu dan penulis menyadari bahwa cerita-cerita itu
berkaitan dengan pengungkapan tertentu yang
digunakan pendidik sebagai ekspresi untuk menentukan apakah mahasiswa boleh
atau tidak mengikuti pembelajaran.
Seorang alumnuswan yang sudah
purnabakti dari pegawai negeri bercerita. Ketika itu penulis bertemu beliau, kami
saling mengucap salam dan bertegur sapa dengan hangat dan akrab. Lalu beliau tidak
membuang kesempatan untuk bertanya-tanya
kepada penulis tentang kehidupan kampus. Lama kami berbincang dan di ujung
percakapan, beliau saja yang bercerita dan penulis mendengarkan saja dengan
mahfum.
Ceritanya, “Waktu kuliah dulu ada pengalaman saya yang unik dan
menggelikan. Begini Pak, saat itu perkuliahan dimulai pukul tujuh tepat dan
semua pembelajar sudah harus melewati pintu masuk dan tidak boleh telat semenit
pun. Pagi itu saya datang beberapa menit sebelum jam tujuh supaya tidak
terlambat. Ternyata ketika saya hendak masuk kelas, dosen yang akan mengajar sudah berdiri di
depan pintu. Saya menyapa Beliau serta memberi salam dengan hormat dan beliau
pun menjawab salam saya dengan suara kebapakan. Sebelum saya masuk, Beliau
bertanya di mana saya tinggal dan saya jawab “di tepi pantai”. Lalu saya lihat Beliau
mengamati saya sekilas dari atas hingga
ke kaki sembari senyum-senyum ringan.
Lalu Beliau bertanya dengan serius.
“Mana pistol Saudara?”
Terus terang saya kaget dengan
pertanyaan Beliau itu dan dengan terbata-bata saya menyangkal.
“Saya tidak pernah membawa pistol Bapak,
sungguh Bapak!
Melihat saya kikuk Beliau segera menimpali jawaban saya.
“O… begitu ya! Saudara pura-pura kali…? “
“Sungguh Bapak seumur-umur saya belum
pernah memegang pistol.”
“Ah … masak iya, jangan pura-pura melulu
Saudara!”
“Iya… Bapak, kalau Bapak tidak percaya…
saya bersumpah….”
“O…o…tidak perlu. Saudara tidak perlu bersumpah.
Maksud saya… saya perhatikan Saudara mirip koboy: bercelana jeans, berbaju
kaos oblong, berjaket, bertopi, dan sepatunya
juga. Nah…karena pistolnya saja yang tidak tampak makanya saya tanyakan, “pistol
Saudara mana?”
“O…iya Bapak, maaf… maaf… Bapak.” Saya
malu dan terdiam. Di dalam hati terasa
gundah dan ciut disindir oleh Beliau.
Di saat saya bingung begitu, lalu Beliau
berkata “Sekarang sudah tepat jam tujuh
sedangkan Saudara masih di luar pintu. Jadi, Saudara tidak boleh masuk.” Sembari
Beliau menunjukkan jam tagannya tanpa marah. Saya kembali tersadar bahwa kami memang
sudah membuat kesepatakan dengan Beliau di
awal perkulihan. Meskipun demikian saya berpikir dan bertanya-tanya sendiri dan
jawab sendiri, saya tidak bisa masuk karena terlambat atau terlalu ngoboy? Kok
bisa begitu ya? Untungnya, sejak kejadian itu, saya selalu berpakaian rapi dan lebih
dulu daripada beliau masuk kelas dan tidak pernah terlambat.
Di samping itu ada cerita teman saya.
Katanya seorang mahasiswa bernama Pandut terlambat datang kuliah dan dengan
sedikit malu-malu dan cemas ia menyelonong saja masuk pintu yang terbuka tanpa salam agar tidak diperhatikan
dosen. Meskipun demikian dosennya saat itu tetap mengawasi walaupun beliau sedang
menghadap papan tulis menyelesaikan soal. Lalu dosennya berkata, “Pandut … tolong tutup pintu buat ibu dari luar!” Pandut kaget dan dengan
langkah yang enggan serta pandangan yang tunduk ia menutup
pintu dari luar. Dengan menutup pintu dari luar tertutup pulalah kesempatan baginya untuk menimba ilmu
hari itu begitu juga dengan teman-temannya yang menyusul terlambat datang
karena pintu sudah tertutup. Dalam hati Pandut bergumam, “Ibu guruku ini boleh
juga menegakkan disiplin tetapi tindakan beliau merugikan mahasiswa. Sayaterlambat
karena macet dan becek, mestikah ini diterima
apa adanya atau haruskah diprotes? Sampai
kini, ya didiamkan saja.
Ada lagi cerita lain mahasiswa yang bernama Alam. Ia terlambat
masuk kelas kuliah 30 menit dan itu sudah beberapa kali. Meskipun demikian ia tetap
mengetuk pintu dan pintu terbuka buat dirinya. Ia dipersilakan oleh dosennya masuk
dan ia dapat mengikuti perkuliahan hingga akhir. Dosen Alam terkenal agak lunak
dalam menyikapi keterlambatan mahasiswa sehingga baginya kedatangan mahasiswa itu
sangat berharga daripada tidak datang dan tidak belajar sama sekali. Bagi dosen
Alam semboyan yang diaplikasikannya juga terkait dengan kata pintu, yaitu “Pintu selalu terbuka untuk mahasiswaku.” Jadi, meskipun Alam terlambat namun kegiatan
belajar tetap dapat diikuti oleh Alam sampai akhir perkuliahan. Di akhir
perkuliahan Alam dipanggil dan dinasehati dosennya untuk tidak terlambat datang
ke kampus terutama dalam
perkuliahan. Sejak itu Alam masih
pernah datang terlambat dan tetap masuk.
Cerita keempat, baru-bari ini penulis
dengar dari seorang mahasiswa. Katanya kami kalau belajar di kelas kami harus masuk lebih
dahulu dari dosen dan dikatakan Beliau adalah
memalukan kalau mahasiswa masuk kelas belakangan dari kedatangan dosen di
kelas. Dosen pun menegaskan bahwa mahasiswa
harus lebih dahulu melalui pintu masuk daripada dirinya dan siapa yang
sudah terlambat setelah dosen melewati pintu maka mahasiswa itu tidak usah
masuk. Lalu saya tanyakan jam berapa
dosen datang, apakah tepat waktu? Jawab mereka iya… (sambil menepis senyum) tapi
yang penting itu mahasiswa harus dulu dari dosen. O…begitu ya, balas saya. Pada pengalaman mahasiswa itu, ada juga ungkapan
yang dijadikan sebagai alat untuk menentukan siswa tidak boleh masuk kelas.
Setelah sepuluh menit saya di kelas
salah seorang mahasiswa saya masuk dan langsung duduk ke bangku yang kosong.
Lalu saya katakan, “Saudara kembali ke luar dan masuklah dengan cara yang
benar. Pertama ketuk pintu tiga kali dan saya akan bilang “masuk”, lalu buka pintu dan ucapkan salam, setelah itu
Saudara bertanya pada Bapak, apakah boleh masuk ikut belajar atau tidak. Ayo,
Nanda lakukan!” Dia bergegas ke luar
lalu menutup pintu. Pintu diketuk tiga kali, lalu saya katakan “silakan masuk”.
Lalu ia mengucapkan salam dan seluruh isi kelas menjawab salamnya. Kemudian ia
bertanya, “Bapak, apakah saya boleh masuk dan belajar hari ini?” Lalu saya bertanya,
“Ananda terlambat karena apa? Lalu ia menjawab, “Semalaman saya menjaga orang
tua yang sakit Bapak dan paginya sedikit ketiduran”. Kamu benar dan tidak dusta? “Benar Bapak.” “Ya,
kalau begitu silakan masuk.” Lalu saya
katakan kepada semua anggota kelas “masuk
pintu kelas ada adabnya dan pintu terbuka bagi yang mempunyai alasan yang benar”.
Yang menarik cerita terakhir ini. Saya bertemu dengan seorang kepala sekolah dalam
sebuah seminar dengan tema pendidikan
karakter. Sekolah yang dipimpinnya
termasuk sekolah yang menonjol dalam pembinaan karakter murid. Ketika itu, beliau bercerita tentang
bagaimana membentuk karakter anak dengan
cara dibiasakan dengan kantin jujur dan
hadiah untuk yang jujur. Lalu tentang kebersihan dan aktivitas anak-anak bersih-bersih
di sekolah tentang pembinaan karakter
bersih. Kemudian beliau juga menceritakan tentang pembentukan disiplin dan
menangani anak yang terlambat.
Katanya, kami membiasakan disiplin
untuk membentuk karakter disiplin. Oleh karena itu, pintu gerbang masuk sekolah sudah ditutup oleh bapak satpam tepat jam belajar dimulai. Nah,
anak-anak dan guru yang terlambat harus berdiri di luar sekolah lalu untuk bisa
masuk mereka harus minta izin kepada pimpinan sekolah dan pimpinan sekolah
mencatat pada buku catatan pelanggaran disiplin dan mereka dikasih poin
pelanggaran. Setelah dizinkan barulah
mereka boleh masuk ke sekolah.
Nah itu baru masuk sekolah, sedangkan
untuk masuk kelas murid harus minta izin kepada murid-murid yang ada dalam
kelas dan kepada gurunya. Anak yang terlambat diharuskan minta izin pada
teman-temannya karena dia telah mengganggu proses belajar. Maka anak yang telambat mengatakan, “Maaf
teman-teman saya mengganggu kalian, saya terlambat, saya berjanji besok tidak
akan terlambat lagi. Bolehkan saya belajar bersama kalian? Lalu semua murid
menjawab, “Ya boleh, asal kamu menepati janji
tidak akan terlambat lagi”. Lalu si anak yang terlambat mengucapkan permintaan maaf dan berjanji kepada sesama dan
kepada gurunya. Setelah itu gurunya mengizinkan duduk dan barulah sang murid boleh duduk. Ini lah cara kami
menggugah kesadaran murid untuk berdisiplin. Ternyata setelah cara yang
demikian diterapkan dan berlangsung beberapa minggu hampir tidak ada lagi murid
dan guru yang terlambat semua menjadi disiplin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar