Memindai dan Menginterpretasi
Karakter Tokoh Cerita Kaba
dalam Pembelajaran Bahasa dan
Budaya di Sekolah
Oleh: Abdurahman
Universitas
Negeri Padang
Abstrak
Tulisan ini
bertujuan menjelaskan pemberdayaan cerita rakyat kaba Minangkabau sebagai bahan
dalam pembelajaran bahasa dan sastra berlandasan pendidikan karakter di
sekolah. Cara yang ditampilkan adalah dengan memindai dan menginterpretasi
bagian cerita yang menggambarkan watak tokoh cerita sebagai bahan perbandingan
dalam memaknai karakter yang baik dalam kehidupan. Contoh kaba yang digunakan
adalah kaba Rancak Di Labuah yang sarat dengan nilai budaya Minangkabau.
Key word:
pembelajaran bahasa dan budaya, pendidikan karakter, dan kaba
A. Pendahuluan
Menumbuhkembangkan
pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa dan budaya kepada siswa
merupakan suatu usaha yang perlu
dilakukan dengan berbagai strategi pembelajaran
agar tujuannya tercapai dan aplikasikanya dapat secara konkrit diterapkan pembelajar. Banyak cara yang dapat
dilakukan untuk itu, salah satu yang dapat dikemukakan pada kesempatan ini adalah
mendayagunakan cerita rakyat yang menjadi basis budaya peserta didik sebagai
materi pembelajaran yang kemudian dapat dikonstruksinya menjadi pengetahuan dan
karakter hidup yang selaras dengan tuntutan masyarakat lokal yang masih
menghargai adat dan budaya.
Bila
dicermati secara historis dan kultural, pendayagunaan cerita rakyat amat
relevan untuk dilakukan karena kelompok
etnis Minangkabau dalam kebudayaannya memiliki banyak cerita rakyat yang kepopulerannya
–termasuk di dunia internasional-- sudah dikenal sejak lama. Secara historis
diketahui bahwa kaba
tertulis berupa buku sudah diterbitkan oleh pemerintah Belanda sejak akhir abad
ke-19 di antaranya, Chabar Mama Si Hetong
tahun 1892, Kaba Si Ali Amat tahun 1895, Kaba Si Umbuik Mudo tahun 1896, Kaba
Si Manjau Ari tahun 1891, dan Kaba Cindur Mata tahun 1891 (Djamaris,
1991). Di samping itu, dalam kultur masyarakat Minangkabau penceritaan kaba
lisan yang merupakan pelopor kaba tulis telah
pula eksis jauh sebelum itu --literatur ilmiah belum ada yang mengungkap secara
pasti— baik sebagai alat pendidikan maupun sebagai seni yang menghibur anggota masyarakat.
Mencermati eksistensi
kaba dalam budaya kelompok etnis Minangkabau dalam rentang waktu yang lama,
jelas menunjukkan bahwa ada suatu yang sangat berharga di dalam cerita kaba
itu. Artinya, kaba-kaba itu tidak akan
dijaga dan diwariskan oleh masyarakatnya kalau kaba itu tidak memberi manfaat
kepada kehidupan bersama. Di antara konten budaya yang penting dan berharga dalam
kaba itu adalah: 1) kaba memberi pesan pentingnya bertakwa kepada Allah sebagai
pencipta yang menentukan takdir kehidupan, 2) kaba memberikan muatan nilai
pentingnya ilmu pengetahuan dalam menjalani kehidupan, dan 3) kaba menekankan
pentingnya menjadi orang yang memiliki materi dalam hidup (Abdurahman,
2011:43). Jadi, kehadiran kaba menuntunkan karakter bertakwa, berilmu, dan
berharta dalam kehidupan. Digambarkan dalam beberapa kaba bahwa dengan bertakwa
kehidupan tokoh dapat diisi dengan perjuangan di jalan Allah sehingga menekan sifat
hedonis. Dengan berilmu pengetahuan, kebodohan tokoh dapat dihilangkan
sehingga menjadi orang cendikia.
Seterusnya, dengan penguasaan materi, orang dapat berbuat lebih banyak untuk
lingkungannya dalam arti lebih berguna bagi bangsa dan negara.
Menimbang pesan-pesan yang
dimuat kaba itu amat penting dan universal maka bila pesan-pesan itu dihadirkan
kembali dalam pembelajaran bahasa dan budaya tentu akan menghasilkan wawasan
kultural dalam kehidupan siswa. Sejalan
dengan itu, Sugono (2004) menyatakan
bahwa nilai-nilai karya sastra lama perlu dihadirkan kembali dalam kehidupan
masa kini karena karya sastra lama banyak menyimpan wawasan pengetahuan masa
lampau yang tidak kecil peranannya dalam menata hidup masa kini dan masa depan.
Penegasan itu senada dengan pendapat Hasanuddin (2009) bahwa sastra pada zaman
lampau berperan sebagai suatu pelajaran pada zaman sekarang terutama kandungan
nilai budi pekertinya yang disikapi secara positif.
Selain itu, penggunaan kaba
sebagai sumber pembelajaran dapat memberi keuntungan berganda yaitu,
mempelajarinya dan menikmatinya sebagai karya sastra, mengeksplorasi sumber
nilai-nilai budayanya, dan membantu pelestarian bahasa Minangkabau dan
pembinaan pengusaannya bagi anak didik di samping memantapkan aplikasi bahasa
Indonesia. Disadari bahwa bahasa Minangkabau sehari-hari tidak sulit bagi siswa
berlatar budaya Minangkabau tetapi dalam memahami bahasa kaba lama sudah banyak
kosa katanya yang tidak dipahami siswa sekarang. Sejalan dengan hal itu ,berkaitan
dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang telah mulai diterapkan pemerintah, pengkajian dan pemanfaatan nilai budaya dalam sastra kaba jelas sangat diperlukan siswa.
Berdasarkan argumentasi di atas maka strategi
belajar yang diusulkan dalam tulisan ini adalah dengan memindai dan
mengiterpretasi bagian cerita yang berhubungan dengan pendidikan karakter yang
relevan dengan karakter tokoh kaba. Memindai secara harfiah berarti melihat
dengan cermat untuk mendapatkan informasi (KBBI, 2002:875). Dalam makalah ini konsep
memindai diartikan secara operasional yaitu,
usaha memfokuskan perhatian dan kegiatan siswa secara cermat untuk
mencari dan mengapresiasi bagian cerita yang dapat dinukil sebagai bahan
pembelajaran bahasa dan sastra dalam
kerangka pembentukan karakter. Interpretasi
berarti menggunakan prinsip-prinsip pemaknaan untuk mendapatkan makna atau
tafsiran dari bagian cerita yang dipindai. Memindai naskah kaba dilakukan
supaya siswa dengan cepat dapat menemukan bagian cerita yang bermuatan karakter
dan problemanya. Salah satu teknik interpretasi yang bisa dilakukan adalah
dengan analisis semiotik.
B. Mempertimbangkan
Kaba Rancak Di Labuah
Salah satu naskah cerita kaba yang menarik untuk
dijadikan bahan belajar yang menunjukkan problema karakter tokoh cerita adalah “Kaba Rancak Di Labuah” (KRL). KRl merupakan kaba yang mudah diakses karena masih
banyak dijual di toko buku di Sumatera Barat. Kaba edisi ada yang edisi baru,
versi pengarang Dt. Panduko Alam, produksi
penerbit Kristal Multi Media kota Bukittinggi
tahun 2008. Kaba tersebut
diterbitkan pertama kalinya oleh Pustaka Indonesia kota Bukittinggi tahun 1960. Terdiri dari
86 halaman. Pada halaman kulit belakangnya penerbit memberi komentar,
“Banyak nasehat dan pengajaran yang dapat dipetik dari kaba ini, khususnya
sikap dan perilaku yang diharapkan oleh adat Minang untuk kehidupan
bermasyarakat”. Dengan demikian apa yang dituliskan penerbit tidaklah
berlebihan karena sudah banyak pula komentar yang selaras dengan itu dari orang
ternama tentang KRL dan nilai yang dikandungnya.
Menilik
daftar isinya, kaba KRL terdiri dari sebelas bagian, yaitu: 1) Mampaturuikkan hati gadang, 2) Maaliah gala, 3) Urang sumando,
4) Adat barumah tanggo, 5) Manjapuik urang sumando, 6) Batimbang tando, 7) Tangguang jawab suami, 8) Adat
manjapuik pangulu, 9) Baralek gadang,
10) Manjadi pangulu, dan 11) Cilako mudo cilako tuo.
Secara ringkas sinopsis kaba
Rancak Di Labuah sebagai berikut. Di dusun Taluak Kiro-kiro di dalam kampung
Medan Budi tinggal Siti Jauhari dengan
dua orang anaknya, yang laki-laki bernama si Buyung Geleang, dan yang perempuan
bernama Siti Budiman. Siti Jauhari merupakan orang yang rajin berguru dan
sering bertanya dan karena itu, ia menjadi cendekia yang tahu sifat hina dan
mulia dalam adat. Buyung Geleng digelari Rancak Di Labuah karena perangainya
yang suka menampakkan penampilan yang hanya gagah di jalanan tetapi yang
sebenarnya ia miskin dan tidak peduli dengan kesukaran hidup ibunya. Sepanjang
hari ia memperturutkan keinginan nafsunya saja. Kalau orang lain pergi bekerja
ke ladang, ia hanya asyik bermain tanpa menghasilkan apa-apa. Pada suatu ketika
menjelang lebaran, Buyung Geleang
meminjam uang kepada orang kaya di kampungnya untuk membeli pakaian yang
indah dengan jaminan sawah ibunya. Ketika saat untuk membayar pinjaman, ia
tidak dapat memenuhi janjinya karena tidak mempunyai uang. Ia panik dan datang kepada ibunya menceritakan
keadaannya. Ibunya marah bukan main sehingga terlontarlah kata-kata kasar
ibunya kepadanya. Namun, kemudian ibunya menyadari bahwa anaknya mesti dididik
lalu ia menasehati anaknya itu. Rancak
Di Labuah menuruti semua nasehat ibunya dan bertaubat kepada Allah serta
berjanji akan rnengubah perangainya.
Rancak Di Labuah mulai mempraktikkan nasihat
ibunya. Ia rajin bekerja di sawah dan di
ladang sehingga Rancak Di Labuah berhasil bertani sehingga dengan hasil
kerjanya adik dan ibunya hidup berkecukupan. Dengan uang hasil pertaniannya, ia
memperbaiki rumah ibunya yang sudah tua
dan menyuruh ibunya membeli kain baju dan perkakas rumah tangga. Di samping itu, ia juga taat menjalankan
ibadah dan berzakat kepada yang berhak menerimanya. Ibunya setiap hari menambah
lagi nasihat-nasihat untuk Rancak di Labuah sehingga ia menjadi seorang yang
berbudi baik. Setelah menjadi orang baik, ibunya mengubah gelar Rancak Di
Labuah dengan Sutan Samparono dengan
pesta yang dihadiri oleh penghulu-penghulu kampung.
Suatu
waktu adik Sutan Samparono yang bernama Siti Budiman sudah patut dicarikan
suami. Sutan Samparono disuruh ibunya mencarikan dan mengajukan nama calon
iparnya itu. Menurut Sutan Samparono, calon yang tepat untuk menjadi suami
adiknya itu ialah Sutan Malabihi, anak Tuanku Kareh Hati. Ibunya tidak menerima
calon yang diajukan Sutan Samparono itu karena Sutan Malabihi itu tidak
mengindahkan orang tua, jarang sekali memberi salam, dan kalau ia berjalan
bagai ayam panjang ekor, yang mematut diri berkepanjangan. Sutan Samparono berusaha lagi untuk mengajukan nama calon
suami adiknya. Kali ini ia mengajukan Ampang Limo Garang. Orang ini pun tidak
berkenan di hati ibunya sebab Ampang Limo Garang itu kelakuannya seperti musang
jantan, siang tidur dan malam berjaga.
Setelah itu Sutan Samparono mengajukan lagi calon yang ketiga. Calon itu ialah
calon yang terakhir, dan bernama Bagindo
Capek Lago. Calon yang ketiga ini pun ditolak oleh ibunya. Menurut ibunya,
Bagindo Capek Lago ini tinggi lonjak saja tetapi aksinya di bawah-bawah saja.
Karena calon-calon yang diajukannya semua ditolak, Sutan Samparono menyerahkan
pencarian calon suami Siti Budiman kepada ibunya. Ibunya mengatakan yang patut
menjadi menantunya ialah Buyung
Sidik yang bergelar Pakiah Candokio,
kemenakan Datuk Rajo Adil, orangnya
lurus dan cocok akan ganti ninik mamak kita. Di samping itu, secara
berangsur-angsur Siti Jauhari menasihati Siti Budiman tentang bagaimana tingkah
laku bersuami.
Pada
suatu ketika datanglah seseorang hendak melamar Sutan Samparono. Yang melamar
itu ialah seorang yang baik hatinya bernama Upik Cinto Dunia, anak Malin Sabar
Pelita Hati, kemenakan Datuk Timbangan Halus Paham, anak orang Teluk Balunan
Ombak, kampung Dalam Telaga Manis. Lamaran itu diterima oleh Siti Jauhari , dan
kawinlah Sutan Samparono dengan Upik Cinto Dunia. Sementara itu Sutan Samparono
teringat pesan ibunya yang hendak mengawinkan adiknya dengan Buyung Sidik, yang
bergelar Pakiah Condokio. Dikatakannya kepada ibunya bahwa sekarang saatnya
sudah datang untuk mengawinkan adiknya itu. Lalu berangkatlah ibunya ke rumah
orang tua Pakiah Condokio untuk meminang Pakiah Condokio tersebut dan pinangan
ini diterima pula oleh keluarga Pakiah Condokio.
Kemudian Siti Jauhari menambah
pelajaran-pelajaran atau nasihat-nasihat untuk Siti Budiman. Siti Budiman dan
Sutan Samparono mendengarkan petunjuk dan nasihat ibunya yang berguna untuk
hidup di negeri Minangkabau. Di antara pelajarannya yaitu adab bersemenda dan
jenis orang semenda. Banyak macamnya orang semenda itu. Pertama, orang
semenda kacang miang; kedua, orang semenda langau hijau; ketiga, orang semenda kutu dapur; keempat, orang semenda tikar buruk; kelima, orang semenda bapak anak, dan keenam, orang semenda ninik mamak. Pelajaran tentang
penghulu juga diajarkan, ada banyak juga macamnya penghulu. Pertama, penghulu
yang di tanjung; kedua, penghulu ayam jago; ketiga, penghulu buIuh bambu;
keempat, penghulu katuk-katuk; kelima, penghulu tupai tua; dan keenam, penghulu
selangkang (pisak) celana. Tidak dapat diingkari lagi, bahwa elok negeri karena
penghulu, elok kampung karena yang tua, penghulu seundang-undang, orang tua
mempunyai kesatuan hukum. Kewajiban utama penghulu ialah mengaji undang-undang
yang dua puluh.
Setelah
pelajaran penghulu itu, di dalam suatu kerapatan adat atas usul Siti Jauhari,
gelar Sutan Samparono diganti menjadi Datuk Naraco Laut Budi. Kerapatan adat semua menyetujui dan setelah
beberapa masa berlalu, dinasihatilah Datuk Naraco Laut Budi oleh ibunya tentang
akhlak seorang penghulu, pendidikan anak-anak dan orang muda, serta tentang
sifat-sifat manusia. Dengan demikian, sempurnalah nasihat-nasihat yang
diberikan Siti Jauhari kepada anak-anaknya Datuk Naraco Laut Budi dan Siti
Budiman.
Berdasarkan
identitas dan sinopsis KRL di atas dapat dipertimbangkan bahwa kaba KRL
merupakan cerita rakyat yang sarat dengan nilai-nilai, terutama nilai adat
budaya di samping nilai pendidikan dan sosial.
Karena memuat banyak nilai sebagian nilai itu dijadikan karakter tokoh
cerita seperti yang tergambar pada tokoh Rancak Di Labuah, Siti Jauhari, dan
Siti Budiman. Karakter yang mereka miliki menggambar karakter yang berlandaskan
nilai budaya Minangkabau selaras dengan latar soial dan budaya kaba KRL yaitu
masyarakat Minangkabau. Realitas yang demikian merupakan suatu alasan yang
menarik mengapa kita memilih KRL dalam pembejalaran bahasa dan sastra
berlandaskan pendidikan karakter.
C. Memindai
dan Menginterpretasi Kaba Rancak Di Labuah
Berdasar
pengenalan terhadap KRL di atas maka dibuat ancangan belajar dengan menunjukkan
bagian KRL yang perlu dibahas karakternya. Salah satu yang dapat dicontohkan pada
makalah ini adalah pemindaian karakter tokoh Rancak Di Labuah. Dalam KRL yang
terdiri atas sebelas bagian, cerita KRL yang
mengacu pada nama atau gelar Rancak Di Labuah dan karakternya
terletak pada bagian 1) Mampaturikan hati
gadang. Dengan demikian, kita akan memindai bagian yang menunjukkan
karakter tokoh dengan nama Rancak Di Labuah sebagai berikut.
“Pi’i lakunyo paja nantun, susah bana manyabuiknyo, nan indak tahu
diuntung, bahati gadang tiok hari, indak takana labo jo rugi, urang ka ladang
inyo bamain, ka sawah lai adang-adang, nan labiah baambuang sipak rago jo
malapeh layang-layang. Adang takana dinan bana, pai mangaleh ilia mudiak, adang
balabo adang indak, kalau balabo galeh- rokok nan babali, baralah kalatiak
jari. Kalau mangecek samo gadang, ruok lah batambah-tambah, galak lah
balabiah-labiah, muluik kalua tak
bakunci, batabuah di ujuang lidah, bagandang diujung bibia, kato gadang
timbangan kurang, gunuang bak raso ka dilongkahi, bukik bak raso tapasuntiang,
ka Aceh babaliak hari, ka Jawa barulang makan, indak dulang di bliak bawak,
haramlah urang nan bak awak.
Sudah magecek harilah patang, pulang ka
rumah mandeh kanduang, dimintak nasi jo kopi, lah sudah pulo makan jo minum,
lalu ka rumah induak samang, itu karajo siang malam. Pai ka rumah urang nan kayo, disabuik pitih sasadangnyo, dibuek janji
jo padan, lalu bajanji anam bulan, pitih nan duo manjadi tigo, sapuluah manjadi
limo baleh. Dibali pakaian sapatagak, dapek sipatu indak bakauih, gadanglah
hati bagai kambuik, kabau tataruang indak dikana”(KRL:10).
Setelah bagian cerita itu dipindai maka selanjutnya
guru menyediakan tabel untuk kegiatan siswa dengan kolom untuk menjelaskan dan
mengiterpretasi karakter tokoh Rancak Di Labuah sebagai berikut.
Nama Tokoh
|
Karakter Tokoh
|
Perilaku Tokoh
|
Terjemahan
|
?
|
?
|
?
|
?
|
Untuk
mengisi tabel di atas siswa dapat bekerja dalam kelompok untuk menentukan
karakter tokoh Rancak Di Labuah, mengidentifikasi perilakunya, dan membuat
terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya sebagai berikut:
Nama Tokoh
|
Karakter Tokoh
|
Perilaku Tokoh
|
Terjemahan
|
Rancak Di Labuah
|
Hedonis atau memeprturutkan nafsu
|
nan indak tahu diuntung,
bahati gadang tiok hari,
indak takana labo jo rugi,
urang ka ladang inyo bamain
|
Tidak tahu
diuntung
Berhati besar
tak menentu
Tidak ingat
untung-rugi
Suka
bermain-main dan malas bekerja dst.
|
Selanjutnya, berdasarkan identifikasi yang sudah
didapatkan pada tabel di atas kegiatan siswa dapat dilanjutkan dengan meminta
interpretasi siswa terhadap perilaku Rancak Di Labuah yang sudah
diidentifikasi. Hal itu dapat dilakukan secara terbimbing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
penuntun oleh guru dan bisa diminta secara langsung untuk mengiterpretasi tanpa pertanyaan sesuai
dengan tingkat kelas yang memungkinkan. Maksudnya semakin tinggi kelas yang
diajar semakin tinggi tingkat interpretasi yang diminta. Interpretasi dapat
dibuat secara individu atau kelompok setelah siswa melakukan diskusi dalam
kelompok. Sebagai contoh bentuk interpretasi dapat ditampilkan seperti dalam tabel
berikut.
No.
|
Perilaku Tokoh
|
Interpretasi
|
Penilaian
|
1.
|
Tidak tahu diuntung
|
Tidak tahu diuntung merupakan sifat
tercela dalam hidup sehingga seseorang tidak memikirkan manfaat hidupnya bagi
dirinya sendiri dan bagi keluarganya. Orang tidak tahu diuntung malah lebih
cenderung merugikan berbagai pihak karena kebodohannya
|
Sifat tidak tahu diuntung harus
dijahui dalam hidup
|
2
|
Berhati besar tak menentu
|
dst
|
|
dst.
|
Tidak ingat untung rugi
|
dst
|
|
Dalam membuat interpretasi seperti di atas siswa
dituntut mengembangkan berpikir kreatifnya yang mungkin berbeda dengan temannya.
Setelah kegiatan interpretasi dilakukan
maka kelas dapat meneruskan kegiatan belajar dengan tanya jawab yang dipandu
oleh guru. Dalam kegiatan itu dapat disepakati penilaian secara bersama terhadap
karakter Rancak Di Labuah dengan alasan-alasan komprehensif.
Kegiatan belajar masih dapat
dilanjutkan dengan berbagai aktivitas yang terkait dengan hasil interpretasi di
atas, di antaranya, menuliskan opini tentang tokoh Rancak Di Labuah atau
menulis penilaian tentang karakter tokoh Rancak Di Labuah. Pada tingkat sekolah
yang lebih tinggi dalam satu kaba dapat dianalisis karakter beberapa tokoh dan
interpretasi yang lebih banyak. Dengan kegiatan seperti di atas maka diharapkan
siswa mengkontruksikan karakter tokoh ke dalam kehidupan nyata sebagai
pengetahuan yang bermanfaat dan siswa dapat mengeksplorasi pikiran dan wawasan
budayanya dalam menyikapi persoalan dalam realitas kehidupan yang makin multikultural.
D. Penutup
Menggunakan
cerita rakyat kaba Minangkabau dalam pembelajaran bahasa dan sastra dapat
memperkenalkan siswa dengan kearifan budaya lokal. Hal itu perlu
dipertimbangkan dan diusahakan karena banyak kalangan yang mensinyalir bahwa
generasi muda kita telah bergeser jauh dalam memahami nilai-nilai budaya yang
dijadikan pegangan dalam kehidupan sekarang. Untuk itu, salah satu usaha adalah
dengan membuat strategi pembelajaran dengan menggunakan kaba sebagai bahan
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Contoh yang ditampilkan dalam makalah
ini lebih kepada sebuah contoh untuk memicu munculnya kreatifitas pengajar
dalam menciptakan berbagai bentuk model pembelajaran. Dengan demikian diharapkan
ke depan akan lebih banyak variasi kegiatan
pembelajaran bahasa dan sastra yang memperkuat pembelajaran bahasa dan sastra
serta dunia pendidikan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar